Mamalogue
Ingatanku
belum remang-remang, soal cerpen SGA yang berjudul Travelogue itu. Diceritakan
seseorang yang mengobrol dengan perjalanannya sendiri dalam Travelogue.
Kemudian, aku menamai obrolanku dengan mama sebagai Mamalogue. Halal saja, kan?
Ini semua trik pasar saja kok. Biar orang-orang tertarik mendengar aku
bertutur. Kamu pasti sudah tahu kalau sekarang ini, musimnya pengguna fesbuk
berbagi berita di kronologi masing-masing hanya berdasar hotnya sebuat judul berita, misal; Menteri X Luncurkan Minyak Babi
Cap Onta[1].
Berita-berita tersebut juga disertai kutipan tambahan dari pembagi berita
seperti,”Masyaalloh! Minyak babi halal!” atau “Puji Tuhan! Sebuah inovasi
jempolan!”
Mamalogue
antara aku dengan mama sering berakhir dengan mama yang menjerit, mengumpat
sambil pipinya mendadak basah. Itu tanda bahwa mama sedang tersinggung berat
atas ocehanku sepanjang percakapan dengannya. Ocehan yang sering menyoal mamaku
yang ingin aku jadi guru, seorang PNS yang terjamin makan tiap bulan, dia tidak
ingin aku mencuri atau mati karena serangan lapar. Sedang aku ingin mendongeng
bersama anak-anak di sebuah kali sambil bertani. Sekolah yang menjadikanku guru
dan PNS itu tidak bakal mau membagi bangkunya buat anak-anak yang mendengar
dongengku di kali.
Ocehan
macam ini yang bikin mama selama 48 jam, tidak bakal mau melihat mukaku. Ajaibnya,
setelah lewat jam tersebut, soto hangat pasti terhidang di meja. Aku mulai
menyendokinya dan mama tersenyum lagi, sambil memandang mukaku.
Tapi,
hari itu sungguh beda. Kamu pasti sudah bisa menebak kemana alur ceritaku.
Aku
dan mama duduk semeja sambil menyendoki soto di mangkuk kami masing-masing.
Soto itu terhidang tepat setelah 48 jam mama tidak mau melihat mukaku.
“Ma,
mungkin besok aku bakal memiliki tiga orang anak,” Ucapku tiba-tiba.
Mama
mencureng. Tidak menanggapi.
“Anak
keduaku bernama Yellow. Seorang anak perempuan yang tidak berbakat di bidang
akademis seperti kakak dan adiknya, Cyan dan Magenta,”
Mama
mengaduki soto di mangkuknya. Lagi-lagi tidak menanggapi.
“Dia
akan masuk home schooling, ikut
kurikulum luar negeri biar tidak perlu ikut UN. UN itu menyeragamkan kemampuan
anak. Padahal, tiap anak nyatanya tidak memiliki kemampuan yang seragam,”
Bibir
mama hampir terbuka, namun kembali terkatup.
“Waktu-waktu
luangnya akan di isi untuk bermain teater bersama mas Bedjo, yang anggota
Teater Komunitas itu. Dia akan belajar berkata jancok lebih dini dalam
dialog-dialog teaternya dari mas Bedjo. [2]Nanti
dia juga bakal belajar mencium bibir kucing, menguliti kemudian mencongkel
matanya dari mas Udin a.k.a Dean Al-Fataa.[3]
Selanjutnya, Yellowku juga bakal belajar masuk surga lewat jalur nonformal dari
M. Asrofi Al-Kindi, anak Geografi yang anggota UKM Penulis dan setia mengetik
puisi-puisinya menggunakan bolpoin dan kertas itu.”[4]
Taplak
di meja makan mulai diremas oleh mama. Mama menjerit, mengumpat sambil pipinya
mendadak basah. Telunjuknya menunjuk mukaku. Ini belum pernah dia lakukan
sepanjang Mamalogue yang pernah terjadi.
Mama
menarik lenganku. Aku diseret, kemudian lemparnya ke teras rumah. Ransel merah
jambu milikku juga dia lempar tepat di mukaku. Mama terus menuding sampai
pinggulnya hilang dari balik kusen pintu.
Aku
merogoh benda-benda yang ada dalam ransel. Baju dan semua bukuku yang soal
isme-isme itu ada di sana, kecuali dompetku. Bagaimana aku bisa hidup di
jalanan tanpa dompet itu? Kartu ATM dan semua uangku ada disana! Semua isinya
berasal dari gaji mama. Aku ingat tiga tawaran untuk menjadi guru dan PNS yang
semuanya aku ludahi tiga minggu lalu. Alasanku? Aku merasa lebih terhormat
mendongeng bersama anak-anak di sebuah kali sambil bertani.
Pipiku
mulai basah. Bagaimana aku bisa hidup? Ini semua karena obrolan menyoal masa
depan putriku, Yellow. Aku masih merasa berhak buat mengarahkan masa depannya
Yellow. Dia putriku.
Langkah
kaki mama tiba-tiba kedengaran kembali mendekati pintu. Tangan kirinya
menjinjing dompet beludru warna biru. Di mukaku, dia melemparkannya. Itu memang
dompetku. Setelahnya, mama masuk kembali ke dalam rumah sambil membanting
pintu.
Ah, mama pasti tidak tega jika aku
mesti hidup di jalanan tanpa isi dompet, pikirku.
Aku
membuka resleting dompet beludru itu. Kudapati tidak ada uang selembar pun di sana,
pun kartu ATM. Cuma ada selembar KTP dengan foto dan statusku yang bertulis;
lajang. Dadaku mendadak seperti dicubit belasan tangan mama. Aku ingat bahwa
aku belum pernah menikah dan Yellow belum pernah ada…
Kantung
mataku makin terasa pekat, bengkak dan berair. Bayangan kusen pintu kelihatan
bergoyang, makin hitam dan hilang berbarengan dengan air mataku yang merembes.
Dua tinju mengenai tulang pipi bagian atasku. Semuanya bikin jelas, bahwa aku
menangis bukan karena sedih mesti berpisah dengan mama. Mataku mengerjap dengan
posisi punggung terlentang. Banyak kaki berebut menginjak tubuhku.
“Iya!
Memang dia! Dia yang nyolong nasi bungkus di warung saya selama ini!” Jerit
suara asing.
[1] Di
catut dari biodata Edi Akhiles, CEO Divapress.
[2] Launching
Omah Komunitas, 2015. Mas Bedjo pegiat Teater Komunitas menampilkan sebuah
teater yang disajikan murid-murid SMPnya. Jancok adalah kata yang sering diucap
dalam dialog teater tersebut.
[3]
Launching Omah Komunitas, 2015. Mas Udin membacakan cerpennya yang seperti
biasa punya narasi kelam.
[4]
Launching Omah Komunitas, 2015. Pergiat
Pelangi Sastra Malang, Muhammad Asyrofi Al-Kindy membacakan puisinya,
MasukSurga Jalur Nonformal.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah merekam jejakmu!