Wednesday, June 15, 2016

Agni dan Penulis dalam Kepalanya



Dalam kepala Agni ada penulis dan penulis itu adalah dirinya sendiri. Pujian dan pengakuan guru dan teman-temannya di masa SMP soal kemampuannya menulis, jadi modalnya meyakini bahwa  dalam kepalanya ada penulis dan penulis itu adalah dirinya sendiri.
“Kamu punya diksi-diksi yang melebihi seharusnya sebayamu, Agni…” ucap bu Ningsih, guru bahasa Indonesianya di masa SMP dulu.
“Tulisan kamu ngena hati banget. Kenapa kamu engak coba kirim ke majalah sih?” ucap beberapa teman SMP yang mentasbihkan diri sebagai penggemar tulisan Agni.
Di masa SMP, Agni menulis tulisan-tulisannya menggunakan bolpoin dan buku tulis. Pada masa itu, Agni dan teman-teman seangkatannya baru saja mengenal google. Warung internet baru saja menjamur dan tugas-tugas di sekolah masih jarang sekali bersinggungan dengan internet atau mencetak tulisan dengan komputer. Hanya beberapa teman Agni yang masuk kalangan menengah ke atas yang memiliki komputer PC.
Agni terus menulis hingga masuk SMA. Teman-teman barunya di SMA tetap menggemari tulisannya. Facebook mulai populer dan Agni rajin pergi ke warung internet untuk membuat tulisan di catatan, kemudian membagikan pada teman-temannya. Beberapa dari teman-temannya meminta ijin buat mengutip tulisan Agni buat dijadikan status facebook. Sebagian lainnya mengutip tanpa ijin buat dijadikan status facebook. Pujian demi pujian terus dipanen Agni. Agni makin yakin, penulis dalam kepalanya itu adalah dirinya sendiri.
Pernah juga Agni mengikuti lomba yang diadakan salah satu komunitas di Malang. Lomba itu ditujukan bagi anak-anak SMA se-Malang raya. Dia percaya bahwa meski tidak membawa kememangan, setidaknya dia bakal masuk nominasi. Semua pasti selaras dengan pujian banyak orang soal tulisannya.
Pada nyatanya, tulisan Agni tidak masuk nominasi apalagi membawa kemenangan. Agni terus bertanya-tanya, apa yang salah dengan tulisannya? Sedangkan pujian selalu banyak dia dapat.
Facebook makin populer dan Agni mulai masuk pada grup-grup menulis. Salah satunya, Grup Penulis Masa Depan Indonesia. Di sana, dia menemukan banyak tulisan tidak berisi yang jauh kualitas dari miliknya mendapat banyak respon dari sesama anggota grup. Respon itu berupa pujian dan ajakan mampir pada tulisan si pemberi komentar.
Ada yang Agni cari, lebih dari pujian dan pujian. Agni ingin tahu di mana letak kesalahan tulisannya. Agni akhirnya mencoba bergabung dalam komentar tulisan-tulisan yang ada di grup. Dia mencoba mengomentari kelebihan dan kekurangan tulisan yang ada dalam grup. Agni mendadak tenar, banyak komentar balasan lain juga chat pribadi pada akun facebooknya. Komentar dan chat pribadi itu melulu berisi,”Mampir tulisanku mbak Agni (sambil menyebutkan link). Mohon kritik dan sarannya.”
Agni kemudian mampir pada link-link tulisan yang sudah disodorkan padanya. Dia tetap semaksimal mungkin memberi komentar soal kelebihan dan kekurangan tulisan yang ada di hadapannya. Banyak ucapan terimakasih dia dapat, dirinya pun makin tenar dalam grup.
Hingga satu waktu, dia memutuskan untuk membagikan tulisannya dalam grup. Agni mulai senyum-senyum sendiri ketika likes mulai memenuhi notifikasi faceboknya. Pujian demi pujian juga mulai memenuhi notifikasi akun milik Agni.
“Bagus, Kak. Mampir ke tulisanku juga (sambil menyebutkan link).” Komentar-komentar serupa muncul pada tulisan Agni.
Tidak ada komentar yang bisa membuat Agni tahu di mana letak baik dan buruk tulisannya. Agni kemudian meninggalkan grup. Chat terus berdatangan penuh dengan pertanyaan mengapa dia meninggalkan grup tidak lupa dengan permintaan agar Agni mengunjungi link tulisannya.
Agni terus bertanya-tanya, apa tulisannya memang sebagus itu? Atau memang tulisannya buruk tapi dia tidak mengerti di mana letak keburukannya?
Kemudian, Agni berpindah grup. Grup Revolusi Penulis, nama grup itu. Di sana, Agni melihat postingan-postingan kompetisi menulis. Semua kompetisi memiliki tema tertentu. Pikir Agni, kompetisi akan membuktikan tulisannya baik atau buruk.
Agni tidak memliki stok tulisan menurut tema-tema itu. Dia mencoba menulis sesuai tema lomba, kemudian dia coba mengirimkannya. Dia tidak masuk nominasi apalagi membawa kemenangan. Namun Agni mengerti, semua itu memang akibat dari dirinya yang kurang matang dalam menulis tema yang tidak ingin dia tulis. Agni mulai mengenali dirinya yang tidak bisa menulis dipatok tema yang bukan dari keinginannya. Dia pun beralih mencoba mencari kompetisi bertema bebas.
Dirinya pun mengikuti sebuah lomba dengan iming-iming antologi bagi nominator. Tentu saja lomba tersebut bertema bebas. Agni ternyata masuk nominasi, namun kesenangannya mumur ketika pihak penyelenggara malah menyuruh dirinya membeli buku antologi. Padahal dirinya mulai percaya bahwa penulis yang ada dalam kepalanya itu memanglah dirinya. Dia juga percaya bahwa tulisannya tidak buruk hingga bisa masuk nominasi. Agni menolak membeli antologi itu dan hanya mendapat e-sertifikat kosong tanpa namanya. Antologi yang memuat karyanya, dijual secara umum melalui pasar online dengan alasan semua peserta telah setuju dengan persyaratan kompetisi,”…seluruh naskah yang masuk menjadi hak milik penyelenggara.”.
Agni memutuskan keluar dari grup tersebut. Namun dirinya tetap mendapat tag berisi info lomba dari para penghuni grup. Agni sendiri terus berpikir-pikir, mengapa dia menulis? Apa benar tulisannya buruk? Jika ternyata tulisannya baik, di mana letak baik tulisannya?
Kemudian Agni masuk dalam Grup Mari Menulis Untuk Indonesia. Dalam grup tersebut banyak postingan foto-foto tulisan para anggota grup yang dimuat di majalah, koran dan media massa lainnya. Banyak pula yang mengirim cukilan-cukilan tulisan masing-masing di grup. Agni mencoba mengirim cukilan tulisannya dalam grup. Sebagai anggota baru, dia hanya mendapat beberapa likes. Namun sebuah chat masuk dalam akunnya.
“Tulisan kamu bagus, kenapa tidak kirim ke majalah atau koran?” tulis orang asing yang mengiriminya chat.
Agni mulai mencari informasi cara mengirim tulisan di media massa. Tidak ada tema khusus seperti kompetisi di sana. Kemudian, Agni coba mengirim cerita pendeknya yang bercerita soal pembunuhan ke sebuah koran yang biasa menerima tulisan berbau religi. Tentu saja dalam persyaratan yang Agni baca, tidak tercantum bahwa koran tersebut hanya menerima tema religi. Agni baru mengetahuinya ketika karya yang dia kirim tidak kunjung mendapat respon dari redaktur. Dan dia mulai membaca karya-karya anggota grup yang sudah dimuat di koran tersebut dan kebetulan dapat diakses via online.
Gadis berambut ikal sebahu itu kembali bingung. Dia beralih mengirim tulisannya soal perempaun ke majalah Wadon. Majalah tersebut dari cerpen-cerpen yang biasa Agni baca, memang memuat soal perempuan, seperti tulisan yang hendak dia kirim. Agni nekat mengirim tulisannya yang 10.000 karakter meski syarat tulisan dapat dimuat pada majalah itu 8.000 karakter. Tulisan Agni menghilang tanpa kabar setelah dikirim.
Pada titik itu, Agni memutuskan untuk berhenti menulis dan membaca buku-buku di luar pelajaran di sekolahnya. Dia berhasil menjadi juara kelas dan lancar masuk universitas.
***
Satu siang, di akhir masa kuliahnya, Agni memandangi beranda facebooknya. Banyak teman membagikan link tulisan dari hayukkitanulis.com. Website tersebut akhir-akhir ini menjadi viral di sosial media karena sudut pandang unik soal isu-isu terkini. Dia mencoba membaca tulisan-tulisan yang ada di website tersebut. Esai-esai berat yang penuh dengan kutipan hingga tulisan-tulisan pendek sederhana yang entah masuk kaidah cerpen atau puisi atau lainnya, memenuhi website tersebut. Agni tidak menangkap pakem yang jelas terkait tema dalam website tersebut. Tidak ada tema khusus, gaya menulis khusus apalagi permintaan tulisan yang mesti sekian-sekian karakter. Iklan juga tidak ditemukan dalam website yang agaknya nonprofit tersebut. Dia hanya menangkap tulisan-tulisan dari berbagai kalangan dengan konten unik dan isu-isu terkini.
Agni iseng mengirim tulisan pada website tersebut. Salah satu cerpen lawas miliknya, yang dulunya gagal masuk media massa dan juga kompetisi. Dia mengerti bahwa menulis di sana tidak mendapat bayaran seperti deskripsi website yang sudah dia baca.
Tulisan Agni kemudian dimuat dan dirinya mendapat surel khusus dari tim editor website,”Hai, Mbak Agni. Kami nunggu tulisan-tulisan unik mbak selanjutnya. Kapan-kapan mari mampir ke basecamp. Salam.”
Tulisan Agni mendapat banyak respon dari pembaca. Bahkan juga dibagikan teman-teman di beranda facebooknya.
Agni menelan ludahnya. Dia sudah begitu lama tidak menulis pun membaca. Hanya ada kopian makalah ekonomi management dalam kepalanya hasil selama empat tahun kuliah. Dirinya kemudian kembali melihat ada penulis dalam kepalanya, dan penulis itu bukan dirinya…

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!