Lendu
dan Uban di Kepala Emak, jadi cerpen yang paling memantik minat saya dalam
kumpulan cerpen Pemilin Kematian. Cerpen tersebut pernah juga dimuat di Radar Malang, 18 Januari 2015 sebelum
terkumpul dalam Pemilin Kematian, UM
Press (2015).
Jangan
abaikan pertemanan saya dengan Ratih secara pribadi. Dia saya anggap sebagai
kakak yang begitu telaten mengoreksi EYD dalam tulisan saya, bahkan hingga
memberi contoh kongkrit. Jangan abaikan juga ulasan saya yang begitu jujur
dalam sudut pandang pembaca polos lagi lugu di Goodreads (Baca juga; rivew Pemilin Kematian)
soal kumpulan cerpen penulis yang gaya menulisnya pernah diulas di Jawa Pos,
dalam esai Tengsoe Tjahjono berjudul Realisme-Magis Cerpen Dwi Ratih Ramadhany pada
2015 lalu ini.
Setahun
lewat setelah hangatnya peluncuran kumpulan cerpen Ratih, barulah saya
memutuskan menerbitkan tulisan ini. Pemilin Kematian dalam bentuk resensi
nyatanya tidak hanya satu. Cukup banyak orang tertarik membikin resensi atau
tulisan soal Pemilin Kematian, apalagi pada
masa hangatnya tahun lalu. Ah… saya
cuma ingin tulisan ini kamu perhatikan saja kok. Makanya, saya membikinnya saat
Pemilin Kematian sudah setahun lewat peluncurannya.
Sampul depan Pemilin Kematian. Sumber: Dokumentasi pribadi |
Banyaknya
orang yang berebut mengulas Pemilin Kematian, cukup membuat saya patah hati.
Maka saya putuskan untuk mengintai sudut pandang mana saja yang dipergunakan
para penulis resensi, esai atau tulisan jenis lainnya buat mengulik Pemilin
Kematiannya Ratih.
Lepas
dari pandangan subjektif, saya paling tertarik dengan Lendu dan sungguh ingin
membahasnya dengan cara yang beda. Dalam pengintaian, saya menanti adakah yang
membahas Lendu? Dengan sudut pandang seperti apa Lendu dibahas? Sudahkah mereka
membahas Lendu seputar trauma yang dialaminya?
Cukup
melegakan, ketika resensi Royyan Julian berjudul Ekofeminisme dan Demonisasi Perempuan, yang dimuat Jawa Pos, Minggu,
2 Agustus 2015, sesuai judulnya memuat cerpen-cerpen Ratih yang menggambarkan
demonisasi perempuan, bahkan juga cerpen-cerpen lain dalam Pemilin Kematian
yang hijau dan berbau isu lingkungan.
Barulah pembahasan Ifan Aqib dalam bedah
kumpulan cerpen Pemilin Kematian yang berlangsung di Kafe Pustaka, Jumat, 28
Agustus 2015, membikin saya lebih patah hati. Ifan Aqib membahas soal trauma
Lendu dalam Lendu dan Uban di Kepala Emak. Nyaris serupa dengan yang saya
pikirkan. Saya berani sumpah, pikiran saya soal trauma Lendu ini tidak asal saya
catut dari pikiran Ifan Aqib sebagai pembedah pada saat itu. Namun, saya pada
akhirnya merasa tidak perlu memakai sumpah buat hal macam begini. Meski cuma dalam
bayangan, saya jengah lihat kamu pikir saya ini gila hak cipta, yang katanya
cuma milik Tuhan itu. Barangkali, yang berpikir serupa Ifan Aqib juga bukan
saya saja. Hanya saja, dirinya yang kebetulan berbicara pertama lewat kursi
pembedah.
Namun saya pada akhirnya cukup bersyukur,
karena Ifan Aqib tidak membandingkan cerpen Ratih dengan salah satu cerpen
Djenar Maesa Ayu berjudul Jemari Kiri yang sama-sama mengangkat sudut pandang
trauma pada seorang anak. Jadilah saya masih berkesempatan membahas kedua cerpen
yang menjadikan anak sebagai pusat ceritanya ini.
Sedikit spoiler,
Lendu sendiri merupakan seorang anak usia sembilan tahun yang jadi korban letusan
Kelud. Trauma Lendu dimulai ketika kambing kesayangannya terpaksa disembelih akibat
terdampak debu vulkanik Kelud. Semenjak saat itu, Lendu jadi terobsesi dengan
warna rambut putih keabu-abuan yang mirip debu vulkanik pada bulu-bulu
kambingnya, sebelum kambing itu terpaksa disembelih. Dan warna rambut seperti
itu ada pada rambut emak dan orang-orang sepuh
di sekelilingnya.
Membaca Lendu, akhirnya mengingatkan saya
pada salah satu cerpen Djenar yang berjudul Jemari Kiri. Cerpen yang pernah
dimuat di Kompas 2015 lalu ini, seperti biasa menempatkan Nayla
sebagai pusat cerita.
Lagi-lagi spoiler,
Nayla di awal cerita digambarkan berkonflik dengan suaminya karena
pengakuan soal dirinya yang tidak lagi perawan. Ternyata, konflik yang
dialaminya itu hanya mimpi dan Nayla pada nyatanya hanyalah seorang gadis kecil
yang tidak beruntung karena mengalami pelecehan seksual.
Menurut netizen yang berkomentar di halaman facebook Cerpen Kompas, karya Djenar dimuat
hanya karena nama besar meski jalan cerita yang ditulisnya sangat biasa.
Sesungguhnya, sudah sangat terang bila Jemari Kiri tidak digarap secara
sederhana meski dalam penyampaiannya nampak begitu sederhana.
Di akhir cerita, terjadi percakapan antara
Nayla dan ibunya di mana ibu Nayla mengingatkannya untuk pergi ke dokter. Dari
situ, tergambar jelas bila keperluan Nayla ke dokter masih terkait dengan pelecehan
seksual yang dialaminya. Para netizen yang mengomentari cerpen
Djenar agaknya
keburu menghakimi atau barangkali memang perlu dimaklumi ketidaktahuannya,
bahwa seorang anak yang menjadi korban pelecehan seksual akan mengalami trauma
hebat hingga berpengaruh pada alam bawah sadar juga fisiknya. Korban bisa jadi
terbayang trauma tersebut hingga dalam mimpi, bisa juga secara fisik dia tidak
bisa mengendalikan organ tubuhnya sendiri hingga terus menerus mengompol. Hal
inilah yang agaknya hendak diungkap Djenar melalui Jemari Kirinya yang nampak
sederhana.
Tanda tangan, cap bibir dan ucapan penyemangat dari Ratih untuk saya. Sumber: Dokumentasi pribadi. |
Begitu pula dengan Lendu. Ratih dengan apik
menggambarkan betapa logika seorang anak masih begitu sederhana dalam menyikapi
kejadian-kejadian traumatis di sekelilingnya. Seorang anak juga tidak bisa
mendiagnosa apa sebenarnya yang terjadi dalam dirinya. Seperti Lendu yang
tiba-tiba berperilaku aneh juga obsesius dan Nayla yang selalu mendapat mimpi
buruk.
Bedanya, ibu Nayla lebih gegas membawa
putrinya pada seorang profesional, dokter. Mengingat latar tempat yang
dipergunakan memang di sebuah perkotaan. Beda dengan ibu Lendu yang berusaha
mencerna sendiri apa yang dialami Lendu berikut dengan penghakiman dari warga
sekitar yang memertanyakan kewarasan Lendu. Tentu hal ini juga relevan
mengingat latar tempat di mana Lendu tinggal adalah di sebuah desa yang
terdampak Kelud.
Stigma soal Lendu yang sudah tidak waras,
agaknya sengaja digambarkan Ratih sebagai cara pandang yang masih dijunjung sebagian
masyarakat hingga saat ini. Trauma yang berimbas pada perilaku aneh,
sesungguhnya semua orang pasti pernah melihat bahkan mengalami, baik dirasa
maupun tidak. Sayangnya, semua ini buru-buru digarisbawahi sebagai sesuatu yang anomali, gendeng alias tidak waras. Keanehan-keanehan yang
seharusnya mendapat penanganan profesional seperti dokter, psikolog bahkan
psikiater ini, jadi terhenti dengan pungkasan stigma gendeng.
Sebaliknya, Djenar melalui Naylanya. Menggambarkan
ibu Nayla sebagai sebagian lain masyarakat yang menyadari bahwa pelecehan
seksual hingga berujung trauma, yang dialami orang terdekat bukan untuk
ditutupi, akan tetapi malah merupakan sesuatu yang mesti gegas ditangani
profesional.
Semoga cerpen-cerpen yang mengangkat sudut
pandang anak, seperti halnya ditulis oleh Ratih dan Djenar semakin menjamur. Anak-anak
yang hidupnya bukan melulu dipenuhi lelehan gelembung sabun atau permainan
petak umpet. Namun juga anak-anak dengan segala permasalahan, yang secara apik
bisa diolah dalam cerpen dan menggugah pembaca.
Ummu Rahayu (FLP Malang), saya (tidak jelas dari komunitas mana) dan Dwi Ratih Ramadhany (UKMP UM, Pelangi Sastra Malang) di Kafe Pustaka. Sumber: Dokumentasi pribadi. |
Keliling gugel buat nyari refrensi penulisan cerpen malah dibawa kesini... Akhirnya baru kali ini bisa ninggalin jejak... Setelah bertahun-tahun jadi silent reader... Apa pun niatnya.. Thank's sudah ngeshare
ReplyDelete