Saya
menyebut teman saya itu Laura. Tentu bukan nama aslinya. Dia teman sekelas saya
waktu SD.
Laura
berbadan bongsor dan berwajah sangat cantik. Kecantikannya bahkan sudah nampak
sejak kelas satu. Bundanya yang mewarisi kecantikan itu.
Keluarga
Laura sangat berkecukupan. Bahkan di tahun 2000an, mereka sudah punya pesawat
telepon sendiri. Beda dengan saya yang kenyang menggunakan telepon umum bila
ingin menelepon seorang kawan.
Laura
tidak pernah akrab dengan saya hingga kelas dua, sekadar menyapa saya saja
mustahil hehee. Baru ketika kelas tiga, dia begitu getol mengakrabi saya. Entah
mengapa, saya tidak pernah tertarik dengan sikapnya yang menurut saya ganjil.
Belakangan ketika saling bercerita dengan mama di usia saya yang sudah dua
puluhan, mama juga mengatakan bahwa bunda Laura juga melakukan pendekatan
padanya. Sama seperti saya, mama tidak pernah tertarik dan menganggap
pendekatan itu ganjil.
Keluarga
Laura yang masuk kalangan menengah, tentu beda jauh dengan keluarga saya pada
saat itu. Setahu saya, keluarga Laura cukup selektif dalam pertemanannya dengan
sesama wali murid dan juga pertemanan putri mereka. Keluarga saya barangkali
tidak masuk klasifikasi setara soal ekonomi, akan tetapi rupanya prestasi saya
yang makin menonjol dianggap menjadi ganti kesetaraan itu bagi keluarga Laura.
Bahkan, waktu kelas tiga saya sampai diundangnya menghadiri ulang tahun, di
salah satu restoran cepat saji. Di tahun 2000an, hal macam ini masuk kategori
sangat mewah.
Lucunya,
tidak semua anak di kelas diundang. Laura sendiri memberikan undangan itu pada
saya dengan sembunyi-bunyi. Saya sama sekali tidak merasa istimewa saat itu,
malah saya berpikir,”Kenapa Laura tidak mengundang semua teman? Apa uang orang
tuanya tidak cukup buat mengundang semua teman?”
Sebelum
muncul istilah kepo. Bunda Laura
sudah melakukannya pada mama saya. Menurut mama, dia sering menanyakan,”Poppy
les di mana sih?”
Agaknya,
selain mewariskan kecantikannya, bunda Laura juga mewariskan sikap ambisius dan
prestatif pada Laura. Wah… jangankan buat les. Diundang ke ulang tahun Laura
yang diadakan di restoran cepat saji saja pada waktu itu saya
terbengong-bengong. Makin bengong ketika ternyata semua undangan mendapat es
krim gratis waktu masuk pintu restoran.
Oh…
jangan lupa ketika mama saya menggerutu jauh sebelum hari ulang tahun tiba. “Orang
kaya mau dikasih kado apa sih ini yang pantas?” gerutu mama. Kado yang pantas
dengan budget sangat terbatas pada
saat itu tentu saja. Saya sendiri sebenarnya berniat tidak hadir di pestanya
Laura. Selain tidak srek berteman
dengannya, saya juga merasa tidak punya baju yang cukup pantas untuk hadir di
pesta macam demikian. Belakangan ketika dewasa, saya baru menyadari bahwa
alasan saya yang nomor dua itu tidak masuk akal.
Laura
sendiri belum menunjukkan prestasi yang menonjol selama kelas satu hingga tiga.
Beda dengan saya yang dianggap makin menonjol setiap harinya. Ah… ini cuma soal
metode belajar yang tepat saja kok. Saya tidak pernah tahan membaca buku
pelajaran seperti membaca buku cerita atau majalah anak. Mama selalu membacakan
buku-buku pelajaran dengan rangkuman versinya sendiri. Jadi, jika kamu bertanya
pada saya soal letak bacaan pada buku pelajaran ada di halaman berapa, saya
pasti tidak bakal tahu. Semua ada di kepala dan telinga. Agaknya, bunda Laura
kurang ngerti ada hal sederhana macam
ini soal kecerdasan anak.
Tidak
seperti Laura yang sudah dibayangi sikap ambisius dan prestatif dari bundanya.
Saya tidak pernah dikejar target apa pun oleh mama. Saya tidak berpikir apa-apa
ketika mengerjakan soal. Saya merasa mengetahui jawabannya, maka saya pun
menjawabnya. Bahkan, saya tidak pernah paham arti tepuk tangan ketika saya
menang kuis atau bingkisan dari guru waktu saya dapat nilai terbaik.
Lucunya,
ketika prestasi saya mulai menurun di kelas empat hingga lulus, Laura tidak
lagi melakukan pendekatan pada saya. Bundanya juga tidak lagi mengakrabi mama
saya. Ah… barangkali menurut mereka, tidak ada lagi hal yang dianggap setara
bagi mereka. Sikap Laura mirip dengan guru saya, Mr. A (Baca juga; Patah Hati)
yang melakukan klaim untuk prestasi yang saya miliki kemudian melupakan saya
ketika prestasi saya dianggap merosot.
Saya
dan Laura bertemu kembali dua tahun lalu saat buka bersama alumni. Kecantikan
Laura makin nampak dengan caranya yang sederhana dalam berjilbab. Saya bahkan
baru menyadari bahwa dia punya bola mata yang sangat cantik.
Ketika
obrolan kami semua yang hadir mulai menyangkut soal kenangan masa SD, Laura
yang duduk dua kursi dari tempat saya menatap saya dengan tatapan khawatir. Dia
bertanya pada saya,”Kamu mengenang apa soal saya, Pop?”
Saya
cuma menggeleng sambil tersenyum geli. Muka Laura kelihatan makin khawatir. Dia
bahkan sampai mengulang pertanyaannya beberapa kali. Namun saya tetap
menggeleng sambil tersenyum geli.
Agaknya,
Laura punya ketakutan kalau-kalau saya mengenang hal buruk soal dia. Meski itu
memang benar, namun bagi saya itu sudah tidak mengganggu seperti ketika kami
masih SD. Kenangan soal Laura sudah jadi hal menggelikan buat saya. Bahkan
sesekali saya mengasihaninya yang selalu berjalan dalam bayangan bundanya.
Enak bacanya, bahasanya mudah dimengerti. . Ajarin nulisnya dong mbak Poppy
ReplyDelete:)
Wah... seneng kalau ada yang komen enak dibaca. Tujuannya memang itu, Mas... ehehehe...
ReplyDeleteAda yang lebih enak dibaca dari punyaku kok, Mas (: