Friday, June 10, 2016

Laura dan Ambisi Bundanya


Saya menyebut teman saya itu Laura. Tentu bukan nama aslinya. Dia teman sekelas saya waktu SD.
Laura berbadan bongsor dan berwajah sangat cantik. Kecantikannya bahkan sudah nampak sejak kelas satu. Bundanya yang mewarisi kecantikan itu.
Keluarga Laura sangat berkecukupan. Bahkan di tahun 2000an, mereka sudah punya pesawat telepon sendiri. Beda dengan saya yang kenyang menggunakan telepon umum bila ingin menelepon seorang kawan.
Laura tidak pernah akrab dengan saya hingga kelas dua, sekadar menyapa saya saja mustahil hehee. Baru ketika kelas tiga, dia begitu getol mengakrabi saya. Entah mengapa, saya tidak pernah tertarik dengan sikapnya yang menurut saya ganjil. Belakangan ketika saling bercerita dengan mama di usia saya yang sudah dua puluhan, mama juga mengatakan bahwa bunda Laura juga melakukan pendekatan padanya. Sama seperti saya, mama tidak pernah tertarik dan menganggap pendekatan itu ganjil.
Keluarga Laura yang masuk kalangan menengah, tentu beda jauh dengan keluarga saya pada saat itu. Setahu saya, keluarga Laura cukup selektif dalam pertemanannya dengan sesama wali murid dan juga pertemanan putri mereka. Keluarga saya barangkali tidak masuk klasifikasi setara soal ekonomi, akan tetapi rupanya prestasi saya yang makin menonjol dianggap menjadi ganti kesetaraan itu bagi keluarga Laura. Bahkan, waktu kelas tiga saya sampai diundangnya menghadiri ulang tahun, di salah satu restoran cepat saji. Di tahun 2000an, hal macam ini masuk kategori sangat mewah.
Lucunya, tidak semua anak di kelas diundang. Laura sendiri memberikan undangan itu pada saya dengan sembunyi-bunyi. Saya sama sekali tidak merasa istimewa saat itu, malah saya berpikir,”Kenapa Laura tidak mengundang semua teman? Apa uang orang tuanya tidak cukup buat mengundang semua teman?”
Sebelum muncul istilah kepo. Bunda Laura sudah melakukannya pada mama saya. Menurut mama, dia sering menanyakan,”Poppy les di mana sih?”
Agaknya, selain mewariskan kecantikannya, bunda Laura juga mewariskan sikap ambisius dan prestatif pada Laura. Wah… jangankan buat les. Diundang ke ulang tahun Laura yang diadakan di restoran cepat saji saja pada waktu itu saya terbengong-bengong. Makin bengong ketika ternyata semua undangan mendapat es krim gratis waktu masuk pintu restoran.
Oh… jangan lupa ketika mama saya menggerutu jauh sebelum hari ulang tahun tiba. “Orang kaya mau dikasih kado apa sih ini yang pantas?” gerutu mama. Kado yang pantas dengan budget sangat terbatas pada saat itu tentu saja. Saya sendiri sebenarnya berniat tidak hadir di pestanya Laura. Selain tidak srek berteman dengannya, saya juga merasa tidak punya baju yang cukup pantas untuk hadir di pesta macam demikian. Belakangan ketika dewasa, saya baru menyadari bahwa alasan saya yang nomor dua itu tidak masuk akal.
Laura sendiri belum menunjukkan prestasi yang menonjol selama kelas satu hingga tiga. Beda dengan saya yang dianggap makin menonjol setiap harinya. Ah… ini cuma soal metode belajar yang tepat saja kok. Saya tidak pernah tahan membaca buku pelajaran seperti membaca buku cerita atau majalah anak. Mama selalu membacakan buku-buku pelajaran dengan rangkuman versinya sendiri. Jadi, jika kamu bertanya pada saya soal letak bacaan pada buku pelajaran ada di halaman berapa, saya pasti tidak bakal tahu. Semua ada di kepala dan telinga. Agaknya, bunda Laura kurang ngerti ada hal sederhana macam ini soal kecerdasan anak.
Tidak seperti Laura yang sudah dibayangi sikap ambisius dan prestatif dari bundanya. Saya tidak pernah dikejar target apa pun oleh mama. Saya tidak berpikir apa-apa ketika mengerjakan soal. Saya merasa mengetahui jawabannya, maka saya pun menjawabnya. Bahkan, saya tidak pernah paham arti tepuk tangan ketika saya menang kuis atau bingkisan dari guru waktu saya dapat nilai terbaik.
Lucunya, ketika prestasi saya mulai menurun di kelas empat hingga lulus, Laura tidak lagi melakukan pendekatan pada saya. Bundanya juga tidak lagi mengakrabi mama saya. Ah… barangkali menurut mereka, tidak ada lagi hal yang dianggap setara bagi mereka. Sikap Laura mirip dengan guru saya, Mr. A (Baca juga; Patah Hati) yang melakukan klaim untuk prestasi yang saya miliki kemudian melupakan saya ketika prestasi saya dianggap merosot.
Saya dan Laura bertemu kembali dua tahun lalu saat buka bersama alumni. Kecantikan Laura makin nampak dengan caranya yang sederhana dalam berjilbab. Saya bahkan baru menyadari bahwa dia punya bola mata yang sangat cantik.
Ketika obrolan kami semua yang hadir mulai menyangkut soal kenangan masa SD, Laura yang duduk dua kursi dari tempat saya menatap saya dengan tatapan khawatir. Dia bertanya pada saya,”Kamu mengenang apa soal saya, Pop?”
Saya cuma menggeleng sambil tersenyum geli. Muka Laura kelihatan makin khawatir. Dia bahkan sampai mengulang pertanyaannya beberapa kali. Namun saya tetap menggeleng sambil tersenyum geli.

Agaknya, Laura punya ketakutan kalau-kalau saya mengenang hal buruk soal dia. Meski itu memang benar, namun bagi saya itu sudah tidak mengganggu seperti ketika kami masih SD. Kenangan soal Laura sudah jadi hal menggelikan buat saya. Bahkan sesekali saya mengasihaninya yang selalu berjalan dalam bayangan bundanya.

2 comments:

Blank said...

Enak bacanya, bahasanya mudah dimengerti. . Ajarin nulisnya dong mbak Poppy
:)

Poppy Trisnayanti Puspitasari said...

Wah... seneng kalau ada yang komen enak dibaca. Tujuannya memang itu, Mas... ehehehe...

Ada yang lebih enak dibaca dari punyaku kok, Mas (: