Wednesday, July 6, 2016

Ketika Saya Menjadi Seorang Perempuan


Jika kamu, atau kebanyakan lelaki hanya menilai keperempuanan seorang perempuan, berasal dari dominasi putusan yang berdasar hati, warna gincu dan cara berbaju. Maka, Analogila tidak sepertimu dan kebanyakan lelaki itu.
“Saya ini, seorang perempuan…” ucap saya.
“Kamu? Belum. Kamu belum jadi seorang perempuan.” Analogila berucap sambil terbahak.
“Lihat… saya suka benda-benda girly. Saya juga perhatian dan lembut seperti seorang ibu pada siapa saja.”
“Itu kan patokan perempuan versimu sendiri.”
“Terus? Saya bakal jadi sebenarnya perempuan kapan?”
“Nanti… kalau kamu sudah nikah dan punya anak.”
“Kenapa harus di masa itu?”
“Sudah… lihat saja di masa itu nanti. Kamu mirip dengan kakak perempuan saya. Keperempuanannya baru keluar waktu dia menikah dan punya anak-anak.”
Kemudian, saya kembali mengingat-ingat bagaimana perempuan versimu yang begitu dangkal. Bagimu, perempuan adalah yang bergincu, berbaju serasi, dan menanggapi puisi-puisi obralmu dengan hati.
Sayang, serupamu sudah sangat cukup banyak. Yang membikin patokan saya soal bagaimana menjadi perempuan makin kabur. Bukan cuma saya, tapi banyak perempuan agaknya kabur soal bagaimana perempuan yang memiliki keperempuanan. Kamu dan yang serupamu agaknya jadi sebab. Kalian menyebar dan membaur dengan jumlah kelewat banyak, di antara para perempuan yang sedang memerjelas keperempuanannya.

Jika saja, masing-masing perempuan dengan sadar memenjarakan patokan keperempuanan versimu dan sejenismu… jika saja…

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!