Sumber: Gugel |
Beda cerdas dan pintar
Kemarin,
saya bersama dua teman pergi ke ulang tahun Kafe Pustaka yang pertama. Kami
mengobrol ngalor ngidul sambil
menikmati sajian di atas panggung.
Obrolan
kami pada akhirnya berujung pada ucapan Riza, salah satu teman yang duduk
bersama saya waktu itu, soal beda cerdas dengan pintar. Jika kamu sering
mendatangi acara musik yang diadakan Opium FIP, bisa jadi kamu sudah familiar
dengan cowok gitaris bernama lengkap
Riza Ilmana Harir, yang potongan rambutnya tidak pernah jelas itu.
“Pintar
itu, soal bagaimana belajar dari pengalaman. Kalau cerdas, itu soal logika.”
Ucap Riza soal beda cerdas dan pintar.
Belajar
dari pengalaman yang dimaksud Riza, di sini saya pahami; misalnya, kamu membaca
buku IPS, IPA dan bahasa Indonesia. Maka kamu bakal menghapal segala isi yang
ada di sana. Isi kepalamu akan sama persis seperti buku IPS, IPA dan bahasa
Indonesia tadi. Ketika ujian, kamu bakal mendapat nilai yang sangat baik,
karena soal-soal dalam ujian memang menguji kepintaranmu merekam apa yang kamu
baca.
Soal
cerdas memang beda lagi. Riza mencontohkan senior kami yang juga alumni
fakultas yang sama, mas Rendra Fatrisna Kurniawan. Mas Renda yang dalam versi
Riza memang kaya bacaan namun juga menyertakan logika dalam bacaan-bacaannya. Logika
di sini, saya pahami sebagai cara memahami dan mengembangkan apa-apa yang
dipahami hingga menjadi sesuatu hal yang baru.
Sumber: Gugel |
Saya dianggap bodoh saat SMP
Sewaktu
kelas delapan, saya pernah mendapat nilai dua dalam ulangan harian sejarah. Saya
sangat ingat ketika ibu guru sejarah memanggil saya ke depan kelas. Wajahnya
kelihatan prihatin, berduka dan seperti diburu kiamat kecil waktu mengajak saya
bicara.
Beliau
bicara panjang lebar sedang sejujurnya konsentrasi saya pindah pada gambar
manga yang belum saya selesaikan. Ucapan beliau yang paling saya ingat,”Kamu
apa tidak belajar, Pop?”
Kamu
tahu? Pertanyaan-pertanyaan dalam ulangan harian itu seputar tahun kejadian,
isi perjanjian dan bagaimana VOC pergi dari Indonesia. Semua saya ingat memang
ada dalam LKS. Namun saya kesusahan buat mencerna semuanya, hinga saya akhirnya
hanya menyentuh LKS itu saat memasukkannya dalam tas.
Saya
lebih memilih diam-diam membaca buku-buku sewaan mama seperti The Empress
Orchid atau Memoar Pulau Buru meski dalam membacanya tidak pernah dikatakan
tuntas saat itu, karena saya tidak pernah berterus terang pada mama bahwa saya
sebenarnya juga turut membaca buku-buku tersebut, sebelum buku-buku itu
terlanjur dikembalikan.
Saat
kelas sembilan, pak guru fisika saya berkata,”Poppy ini harus dikatrol.” Perkataannya
itu dilontarkan saat saya mesti ujian ulang praktek fisika. Dalam keseharian
pun, nilai saya memang tidak pernah lebih dari lima. ‘Katrol’ saya pahami saat
itu sebagai ucapan halus bahwa saya adalah siswi yang bodoh, hingga perlu
diseret hingga memenuhi standar nilai. Atau mungkin saya yang kelewat sensitif?
Pak
guru fisika itu jugalah, yang menatap saya aneh saat saya tiba-tiba bisa masuk
kelas 9-3 saat try out UN yang terakhir. Ada delapan kelas sesuai urutan nilai
hasil try out di masa itu. Urutan nilai tertinggi dimulai dari kelas 9-1.
Biasanya, saya selalu masuk di kelas 9-7.
Tatapan
guru fisika itu saya maknai dalam ucapan yang saya simpulkan sendiri,”Kamu kok
bisa masuk kelas 9-3, Pop? Gimana
caranya?”
Pada
nyatanya, saya begitu ketakutan jika sampai tidak lulus sekolah nanti. Dari
cara pandang mama juga lingkungan sekitar, tidak lulus UN adalah sebuah kiamat
kecil. Memang saat itu, UN menerapkan sistem murni. Kamu mesti lulus empat mata
pelajaran tanpa campuran nilai ujian sekolah atau rapor. Hingga akhirnya, saya
mulai lebih tekun membaca buku-buku sekolah. Ternyata, daya tangkap saya juga tidak
buruk ketika merekam apa yang sama persis dalam isi buku.
Selain
tukang gambar manga dan pembuat novel fantasi dengan tulisan tangan yang dibaca
kalangan sendiri, tidak ada sisi akademis menonjol dari saya yang diingat
teman-teman satu angkatan. Soal gambar manga, dari pihak guru, hanya guru seni
budaya yang mengetahuinya. Selebihnya, saya menangkap para guru memandang saya
sebagai anak perempuan biasa yang duduk sendirian di sudut kelas dan selalu
terkena remidi saat ulangan harian ataupun ujian sekolah. Dalam bahasa kasar,
kamu bisa menyebut saya melempem dan bodoh.
Waktu
itu, saya sebenarnya sadar jika saya tidak bodoh. Jika saya bodoh, kenapa saya
bisa memahami isi buku The Empress Orchid? Sebaliknya, saya juga belum bisa
mengidentifikasi di mana letak kelebihan saya.
Jika
saya bodoh, mengapa saya mendapat nilai tertinggi dalam ulangan harian
Kewarganegaraan saat kelas sembilan? Sedangkan sahabat saya yang selalu masuk
kelas unggulan 9-1, Zulfikar Rachman, malah hanya mendapat nilai lima. Memang,
ulangan saat itu isi jawabannya tidak bisa kamu temukan atau pelajari dari buku
sekolah. Saya sangat ingat, lima pertanyaannya seputar isu-isu kenegaraan yang
sepenuhnya membutuhkan analisis.
Saya
memang juga tidak jago dalam pelajaran olahraga. Tiap pelajaran olahraga,
teman-teman selalu menertawai ketidakbisaan saya sebagai sebuah hiburan besar.
Namun, saya tetap meyakini bahwa saya tidak bodoh. Jika saya bodoh, bagaimana bisa
saya menyelesaikan sebuah novel fantasi dengan jalinan karakter yang
betul-betul saya pikirkan? Bagaimana bisa saya membuat analisis soal konversi
minyak tanah menuju gas saat tugas sekolah di kelas delapan? Bagaimana bisa
saya membuat naskah drama (Baca Juga: Hole Inside si 13 Tahun) seorang diri
padal sesungguhnya itu merupakan tugas kelompok?
Salah
satu hal menyakitkan sebelum saya meninggalkan SMP, adalah saat semua guru dan
siswa bersalam-salaman beberapa hari sebelum UN. Hampir semua guru memandang
saya iba dan mengucap hal-hal soal kekhawatiran mereka ketika saya menghadapi
UN. Adegan cukup memuakkan itu, juga membikin saya makin yakin bahwa saya bodoh
sekaligus sebenarnya tidak bodoh.
Jika
ditarik garis lurus saat ini, saya terlalu terkungkung definisi murid pintar
dari orang-orang dewasa di sekeliling saya. Teman-teman saya pun mengalami keterkungkungan
yang sama.
Sumber: Gugel |
Sering masuk 5 besar saat SMK
Kembali
pada ucapan teman saya Riza soal beda pintar dan cerdas. Saya makin mengerti,
saya bukan siswi yang pintar, namun saya memiliki kecerdasan. Kunci dalam diri
saya sebenarnya adalah ketekunan dan cara belajar yang tepat jika ingin
mengejar nilai akademis.
Hal
ini terbukti saat saya duduk di bangku SMK. Saya menyenangi pilihan jurusan
yang memang sengaja saya pilih dengan kemauan sendiri. Saya mulai mengenali bagaimana cara tepat buat saya
belajar.
Setiap guru berbicara, saya merangkumnya
dalam buku catatan. Jika kamu membaca buku catatan saya, kamu bisa jadi
mendapati cara saya mengelompokkan informasi mirip seorang wartawan; cepat,
padat dengan huruf-huruf yang kurang indah. Saya juga menambah gambar dan warna
menggunakan pensil warna dalam buku catatan. Sering juga saya menyertakan bagan
dan atau ilustrasi yang saya bikin sendiri berikut dengan contoh kongkrit.
Hasilnya, saya sering masuk lima besar di
kelas. Lihat? Saya bukan siswi yang bodoh. Ini soal cara belajar yang tepat
sesuai potensi yang ada dalam diri. Saya bisa meramu cara yang tepat setelah
sekian tahun, karena ternyata (Baca Juga: Saya 'Intrapersonal feat Visual' Setiap Orang Istimewa dalam kecerdasan Masing-Masing) saya memiliki kecerdasan
intrapersonal dominan. Kemampuan mengenali diri sendiri inilah, yang membuat
saya menyeleksi bagaimana cara yang baik dan tidak baik dalam diri selama
sekian tahun.
Sedangkan penggunaan bagan dan gambar, juga
contoh kongkrit dalam buku catatan saya, ternyata adalah cara yang tepat bagi
seseorang yang memiliki kecerdasan visual dominan.
Penghakiman
Mr. A, guru SD saya atas nilai saya yang merosot di kelas empat hingga enam
sebagai sebuah kemalasan, nyatanya salah (Baca Juga: Patah Hati). Pada nyatanya, ada sebab
yang runut mengapa seorang anak sebagian terlihat menonjol dan sebagian lain
seperti tidak memiliki kelebihan sama sekali.
Sumber: Gugel |
Trainer VS Guru
Minggu
lalu, saya sempat berdikusi hingga menginap di kantor pusat Aku Cepat Membaca
(ACM) di Graha Al-Barqy Surabaya. Saya bersama dua teman lainnya kembali
diingatkan oleh bu Nur Tsuroya tentang beda trainer, motivator hingga guru
dalam teori Pendidikan Luar Sekolah.
Trainer
memiliki tanggung jawab merubah ketidakbisaan menjadi suatu kebisaan. Motivator
memiliki tugas mendorong secara mental. Sedang guru, memiliki tanggung jawab
mentransfer materi pelajaran dalam kepala siswa. Ya… itu memang tugas utama
guru. Mengajarimu mengingat isi buku IPA, IPS dan lainnya.
Tidak…
itu semua bukan salah guru. Definisi guru dalam pendidikan formal yang demikian,
adalah sebuah tuntutan yang sebenarnya bisa dirunut. Tidak semua guru juga
melulu hanya memkirkan transfer isi buku pelajaran pada siswanya. Kamu masih
bisa menemukan mendiang bu Nurul Aula (Baca Juga: Aku dan Rossie O'Donnel, Kangen Jannah, Hampir Jadi Manusia Kamar) dan juga pak Apud Mahpud. Bu Nurul adalah guru di masa SD saya, sedang
pak Apud adalah guru di masa SMK saya. Beliau berdua memang guru yang berada
dalam sistem persekolahan formal. Namun, beliau berdua juga memiliki hubungan
personal yang sangat baik dengan para siswanya.
Bu Nurul mampu memersatukan seluruh siswa
yang ada dalam kelasnya. Beliau pernah makan bekal salah seorang teman sekelas
saya, yang akhirnya sepakat dibagikan secara rata dengan porsi yang sama
sedikit pada seluruh kelas.
Beliau jugalah yang membunuh kesenjangan
antara siwa yang unggul dalam akademis dengan siswa yang kurang baik dalam
bidang akademis. Bu Nurul melibatkan seluruh kelas dalam penghargaan pada siswa
yang baik dalam kademis. Siswa terebut akhirnya menjadi milik dan kebanggaan
seluruh kelas.
Sedang pak Apud, beliau berbeda dengan guru
pada umumnya. Beliau tidak jarang malah menyapa dan memerhatikan teman saya,
Sri Eka Fidianingsih. Sri bukan siswi yang unggul dalam bidang akademis. Namun
dia seorang pekerja keras yang sangat cekatan. Dia bahkan berjualan roti dan
menjajakannya ke seluruh sekolah setiap hari.
Di saat guru-guru lain mengagumi siswanya
karena kemampuan akademis yang dimiliki. Pak Apud malah menghargai siswi yang
seperti Sri. Siswi yang dianggap biasa namun sesungguhnya unik.
Bagaimana? Berat ya jadi guru? Berat untuk sengaja
berhati-hati tidak membunuh harapan siswa-siswimu di hari kemudian.
Wah, menarik nih. Dulu, aku malah pernah dapat nilai rapor 57 untuk pelajaran matematik pas SMA. huhu >_<
ReplyDeleteWahahaha... yang penting novelnya abang sekarang laku keras. Yakaaaan :D
ReplyDelete