Sunday, August 21, 2016

Tipu-Tipu dalam Hiding My Heart


Dibahas juga dalam, bedah novel Hiding My Heart bersama Fahrul Khakim. 21 Agustus 2015, di Kafe Pustaka UM.

Sumber: Goodreads

Mohon Maaf
Dalam pembahasan ini, saya bakal menggunakan subjek ‘saya’ berkali-kali. Mohon maaf saya hatur sebanyak-banyaknya. Penggunaan subjek saya’ bukan mengartikan bahwa saya membahas sebuah karya secara subjektif. Pun pembahasan yang tanpa menggunakan subjek ‘saya’, belum tentu juga bakal objektif ketika membahas sebuah karya. Dan lagi, saya di sini memposisikan diri sebagai penikmat karya bukan pemateri apalagi pembedah. Ngunu loh… wis yo… tiada ganjelan antara kita… *kibas bulu kelinci*
Aroma FLP yang Semerbak?
Ouch! Saya terkejut juga sih, waktu baca Hiding My Heart dimulai pada lembar ke 31. Kali pertama dalam hidup, saya melihat buku jenis ini memergunakan kata ‘alhamdulillah’ dalam percakapan tokohnya sehingga menunjukkan satu agama tertentu. Dilanjutkan pada halaman-halaman berikutnya di mana ‘assalamualaikum’ dipergunakan sebagai pengganti salam dalam pertemuan antar tokoh.
Beberapa contoh;
“Alhamdulillah, Tante sehat… dst.
“Assalamu’alaikum,” Galih mengucap salam.
Sensasi penggunaan ‘alhamdulillah’ dan lainnya dalam novel ini, berasa anu juga ketika mesti berpadu dengan celetukan-celetukan keminggris seperti; anyway, take care dkk.
Apakah penggunaan ‘alhamdulillah’ dkk merupakan bawaan penulis yang merupakan anggota FLP? Bisa jadi sih… mengingat bahwa FLP memang menekankan isi tulisan yang memiliki nilai moral khususnya berbau islam. Terlepas iya ataupun tidak, hal ini merupakan usaha yang ketche sekali dengan memadukan celetukan keminggris ala novel sejenis dan penggunaan ‘assalamu’alaikum’. Ini bukan menyoal agama tertentu, tapi juga nilai kesopanan dan wujud syukur sehari-hari pada Tuhan lewat jalan mengucap kata atau istilah yang juga berarti doa pada Tuhan seperti ‘assalamu’alaikum’. Pembaca tidak bakal merasa ‘diajari’ atau ‘digurui’ perkara nilai moral oleh penulis dengan caranya ini. Sitik-sitik sing penting kelakon, kan?
Ngalam Bau London
‘Setetes Embun dari London’ jadi caption yang menyertai judul novel ini. Begitu bukunya dibuka… Dor! Gambar Big Band disertakan dalam tiap pergantian bab. Padahal… isinya ndak mengandung London sama sekali loh! Sial! Penipuan! Penulis durjana! *eh*
Oke. Mengecewakan banget ketika London ternyata hanya disinggung saat Abe datang. Abe menceritakan soal sekolahnya di London, pekerjaan ayahnya dan sebab kepulangannya ke Indonesia. Sudah gitu aja. Maksa banget! Dan juga kelewat berlebihan kalau gambar Big Band di sertakan dalam tiap pergantian bab sampai dipakai jadi caption di bawah judul utama pula. Abe dalam sinopsis novel pun, hanya berada di London selama lima tahun, meski dalam novelnya selama empat tahun sih… jadi? Lebih banyak masa-masa di Indonesia, kan?
Abe digambarkan datang menggunakan kaos bertulis London. Yuhuu… apa itu menunjukkan bahwa dia datang dari London? Apa itu menunjukkan bahwa jaket itu dia beli di London? Nyablon kaos saiki gampang, Kakak. Anak Gondalegi atau Wagir juga bisa sablon baju sendiri yang bertulis ‘Lodon’. Belum lagi serbuan barang made in China yang murah meriah, baju bertulis London juga bisa didapat dari sana, kan? Londonisasi yang maksa sekali.
Selain soal jaket, Londonisasi maksa juga bisa dilihat dalam paragraf berikut;
Lara terus menatap Abe yang mengenakan kaos putih bergambar menara Big ben, ciri khas London… dst.
London oh London… kamu cuma ditempel dengan guntingan yang ndak rapi, dan nempelnya pun pakai lem nasi, plisss… tolong kamu jangan somasi…
Tipu-Tipu
Banyak joke yang berasa garing sekali, seperti; Mata Lara mendelik kaya disengat tawon (Saya ndak bisa bayangkan soal itu), cewek di depannya langsung melancarkan lototan maut ala trio macan kesambet nenek sihir (Ugh! Lagi-lagi saya ndak bisa bayangkan soal itu). Joke model ini bolak balik diulang sepanjangan novel, dengan kalimat berbeda tapi tetap menggunakan kata ‘ala’ dan ‘kayak’. Oke ini judulnya joke. Tapi, sungguh saya ndak bisa ketawa. Saya cuma paham bahwa ini maksudnya adalah joke yang maunya sih dibikin lucu.
Sejarah si Jono (Nama rumah pohon Lara dan Abe) nih, yang menarik. Diceritakan dalam bentuk dialog bukan narasi. Sehingga pembaca merasa ikut larut dalam percakapan aktif para tokoh. Untuk asal usul nama Jono, baru ini nih, yang dinamakan lucu. Saya benar-benar tidak menduga bahwa asal usul nama Jono ternyata remeh tapi cerdas. Tapi, beneran justru hal sepeti ini yang bisa disebut lucu, segar dan original dari buku ini.
Soal Abe yang ternyata seorang berondong juga ndak bisa diterka. Semuanya terungkap di halaman ke (angka disamarkan). Berlanjut dengan kematangan Abe yang ternyata melebihi anak seusianya. Bahkan Abe lebih rapi ketimbang Lara. Hal ini masuk akal. Mungkin saja Abe bertipe melankolis-perfeksionis, bukan?
Lara memang sih, secara fisik digambarkan super imut. Tapi, ternyata dia juga ndak sempurna. Dia ndak tegas atas perasaannya hingga menyakiti Rayen. Soal perasaan yang terjalin pada ujungnya antara Rayen dengan Donna, Lara seperti terkena timbal balik. Lara bukan digambarkan sebagai nona baik hati yang teraniaya penuh. Dunia ini ndak hitam putih, Bung… barangkali itu yang mau digambarkan dalam novel ini dengan konflik sehari-hari.
Menyesalnya, saya ndak menemukan sebab papa Lara lebih memilih Galih ketimbang Abe. Faktor usia kah? Kematangan dan kemapanan kah? Hanya ketidaksukaan dan ketidaksukaan yang terus menguar.
Musibah yang menimpa tokoh dalam novel ini juga dibikin sekaligus sebagai informasi pada pembaca. Seperti, deteksi SADARI untuk kanker payudara. Wah, novel ini mestinya jadi dutanya BKKBN. Banyak orang ogah mencari informasi soal penyakit. Ngeri. Pergi ke dokter juga kalau beneran sakit. Muuahal. Melalui novel ini, informasi penting masuk dengan manis.
 Soal ending barangkali bakal dibilang klise dan khas teenlit/metropop bagi kebanyakan orang. Namun, menurut saya, penulis dalem banget loh… dalam merangkai endingnya. Sosok Galih yang cemburu berat sama Abe ndak diperlihatkan rasa cemburu dan sakitnya saja. Galih di akhir, malah mampu menunjukkan rasa sayang pada Abe. Abe kehilangan Lara, namun penulis dengan mengejutkan bisa membuat Abe tidak terluka. Lara pergi tanpa kehilangan Abe juga dengan cara yang mengejutkan. Galih meski tidak mendapatkan Lara bahkan juga tidak kehilangannya, malah menemukan persahabatannya dengan Abe, bahkan memahami perasaan diantara Abe dan Lara dengan sepenuh hati. Abe dan Lara dibiarkan saling memiliki dengan cara tidak biasa; bukan menikah atau pacaran.
Wis yo, kertase ora cukup.
Selamat tertipu ketika membaca novel ini. Tipuan-tipuan lain, silahkan kuak sendiri. Beli sana. Saya beli juga mahal. Enak di anda kalau bocorannya semua dari saya *lambaikan tangan*
Satu lagi, saya menyimpulkan satu hal dalam novel ini, bahwa sesungguhnya berani berondong itu baik.
Sekian,
Peluk hangat.


1 comment:

Terimakasih sudah merekam jejakmu!