Dibahas
juga dalam, bedah novel Hiding My Heart bersama Fahrul Khakim. 21 Agustus 2015,
di Kafe Pustaka UM.
Dapat
juga dibaca di https://www.goodreads.com/review/show/1355443886
Sumber: Goodreads |
Mohon Maaf
Dalam
pembahasan ini, saya bakal menggunakan subjek ‘saya’ berkali-kali. Mohon maaf
saya hatur sebanyak-banyaknya. Penggunaan subjek saya’ bukan mengartikan bahwa
saya membahas sebuah karya secara subjektif. Pun pembahasan yang tanpa
menggunakan subjek ‘saya’, belum tentu juga bakal objektif ketika membahas
sebuah karya. Dan lagi, saya di sini memposisikan diri sebagai penikmat karya
bukan pemateri apalagi pembedah. Ngunu
loh… wis yo… tiada ganjelan antara kita… *kibas bulu kelinci*
Aroma FLP yang Semerbak?
Ouch!
Saya terkejut juga sih, waktu baca Hiding
My Heart dimulai pada lembar ke 31. Kali pertama dalam hidup, saya melihat
buku jenis ini memergunakan kata ‘alhamdulillah’ dalam percakapan tokohnya
sehingga menunjukkan satu agama tertentu. Dilanjutkan pada halaman-halaman
berikutnya di mana ‘assalamualaikum’ dipergunakan sebagai pengganti salam dalam
pertemuan antar tokoh.
Beberapa
contoh;
“Alhamdulillah,
Tante sehat… dst.
“Assalamu’alaikum,”
Galih mengucap salam.
Sensasi
penggunaan ‘alhamdulillah’ dan lainnya dalam novel ini, berasa anu juga ketika
mesti berpadu dengan celetukan-celetukan keminggris seperti; anyway, take care dkk.
Apakah
penggunaan ‘alhamdulillah’ dkk merupakan bawaan penulis yang merupakan anggota
FLP? Bisa jadi sih… mengingat bahwa FLP memang menekankan isi tulisan yang
memiliki nilai moral khususnya berbau islam. Terlepas iya ataupun tidak, hal ini
merupakan usaha yang ketche sekali
dengan memadukan celetukan keminggris
ala novel sejenis dan penggunaan ‘assalamu’alaikum’. Ini bukan menyoal agama
tertentu, tapi juga nilai kesopanan dan wujud syukur sehari-hari pada Tuhan
lewat jalan mengucap kata atau istilah yang juga berarti doa pada Tuhan seperti
‘assalamu’alaikum’. Pembaca tidak bakal merasa ‘diajari’ atau ‘digurui’ perkara
nilai moral oleh penulis dengan caranya ini. Sitik-sitik sing penting kelakon, kan?
Ngalam Bau London
‘Setetes
Embun dari London’ jadi caption yang menyertai judul novel ini. Begitu bukunya
dibuka… Dor! Gambar Big Band disertakan dalam tiap pergantian bab. Padahal…
isinya ndak mengandung London sama sekali loh! Sial! Penipuan! Penulis durjana!
*eh*
Oke.
Mengecewakan banget ketika London
ternyata hanya disinggung saat Abe datang. Abe menceritakan soal sekolahnya di
London, pekerjaan ayahnya dan sebab kepulangannya ke Indonesia. Sudah gitu aja.
Maksa banget! Dan juga kelewat berlebihan kalau gambar Big Band di sertakan
dalam tiap pergantian bab sampai dipakai jadi caption di bawah judul utama pula. Abe dalam sinopsis novel pun,
hanya berada di London selama lima tahun, meski dalam novelnya selama empat
tahun sih… jadi? Lebih banyak masa-masa di Indonesia, kan?
Abe
digambarkan datang menggunakan kaos bertulis London. Yuhuu… apa itu menunjukkan
bahwa dia datang dari London? Apa itu menunjukkan bahwa jaket itu dia beli di
London? Nyablon kaos saiki gampang,
Kakak. Anak Gondalegi atau Wagir juga bisa sablon baju sendiri yang bertulis
‘Lodon’. Belum lagi serbuan barang made
in China yang murah meriah, baju bertulis London juga bisa didapat dari
sana, kan? Londonisasi yang maksa sekali.
Selain
soal jaket, Londonisasi maksa juga bisa dilihat dalam paragraf berikut;
Lara
terus menatap Abe yang mengenakan kaos putih bergambar menara Big ben, ciri
khas London… dst.
London
oh London… kamu cuma ditempel dengan guntingan yang ndak rapi, dan nempelnya
pun pakai lem nasi, plisss… tolong kamu jangan somasi…
Tipu-Tipu
Banyak
joke yang berasa garing sekali,
seperti; Mata Lara mendelik kaya disengat tawon (Saya ndak bisa bayangkan soal itu), cewek di depannya langsung
melancarkan lototan maut ala trio macan kesambet nenek sihir (Ugh! Lagi-lagi
saya ndak bisa bayangkan soal itu). Joke model ini bolak balik diulang
sepanjangan novel, dengan kalimat berbeda tapi tetap menggunakan kata ‘ala’ dan
‘kayak’. Oke ini judulnya joke. Tapi,
sungguh saya ndak bisa ketawa. Saya
cuma paham bahwa ini maksudnya adalah joke
yang maunya sih dibikin lucu.
Sejarah
si Jono (Nama rumah pohon Lara dan Abe) nih, yang menarik. Diceritakan dalam
bentuk dialog bukan narasi. Sehingga pembaca merasa ikut larut dalam percakapan
aktif para tokoh. Untuk asal usul nama Jono, baru ini nih, yang dinamakan lucu. Saya benar-benar tidak menduga bahwa asal
usul nama Jono ternyata remeh tapi cerdas. Tapi, beneran justru hal sepeti ini yang bisa disebut lucu, segar dan
original dari buku ini.
Soal
Abe yang ternyata seorang berondong juga ndak
bisa diterka. Semuanya terungkap di halaman ke (angka disamarkan). Berlanjut
dengan kematangan Abe yang ternyata melebihi anak seusianya. Bahkan Abe lebih
rapi ketimbang Lara. Hal ini masuk akal. Mungkin saja Abe bertipe
melankolis-perfeksionis, bukan?
Lara
memang sih, secara fisik digambarkan super imut. Tapi, ternyata dia juga ndak
sempurna. Dia ndak tegas atas perasaannya hingga menyakiti Rayen. Soal perasaan
yang terjalin pada ujungnya antara Rayen dengan Donna, Lara seperti terkena
timbal balik. Lara bukan digambarkan sebagai nona baik hati yang teraniaya
penuh. Dunia ini ndak hitam putih,
Bung… barangkali itu yang mau digambarkan dalam novel ini dengan konflik
sehari-hari.
Menyesalnya,
saya ndak menemukan sebab papa Lara lebih memilih Galih ketimbang Abe. Faktor
usia kah? Kematangan dan kemapanan kah? Hanya ketidaksukaan dan ketidaksukaan
yang terus menguar.
Musibah
yang menimpa tokoh dalam novel ini juga dibikin sekaligus sebagai informasi
pada pembaca. Seperti, deteksi SADARI untuk kanker payudara. Wah, novel ini
mestinya jadi dutanya BKKBN. Banyak orang ogah mencari informasi soal penyakit.
Ngeri. Pergi ke dokter juga kalau
beneran sakit. Muuahal. Melalui novel
ini, informasi penting masuk dengan manis.
Soal ending barangkali bakal dibilang klise
dan khas teenlit/metropop bagi kebanyakan orang. Namun, menurut saya, penulis dalem banget loh… dalam merangkai endingnya. Sosok Galih yang cemburu berat sama
Abe ndak diperlihatkan rasa cemburu
dan sakitnya saja. Galih di akhir, malah mampu menunjukkan rasa sayang pada
Abe. Abe kehilangan Lara, namun penulis dengan mengejutkan bisa membuat Abe
tidak terluka. Lara pergi tanpa kehilangan Abe juga dengan cara yang
mengejutkan. Galih meski tidak mendapatkan Lara bahkan juga tidak kehilangannya,
malah menemukan persahabatannya dengan Abe, bahkan memahami perasaan diantara
Abe dan Lara dengan sepenuh hati. Abe dan Lara dibiarkan saling memiliki dengan
cara tidak biasa; bukan menikah atau pacaran.
Wis yo, kertase ora cukup.
Selamat
tertipu ketika membaca novel ini. Tipuan-tipuan lain, silahkan kuak sendiri.
Beli sana. Saya beli juga mahal. Enak di anda kalau bocorannya semua dari saya
*lambaikan tangan*
Satu
lagi, saya menyimpulkan satu hal dalam novel ini, bahwa sesungguhnya berani
berondong itu baik.
Sekian,
Peluk
hangat.
Waaaah, kocak dan gokiiiil. Makasih ya, Pop :)
ReplyDelete