Monday, August 22, 2016

Pernikahan, Sidang Skripsi dan Kematian di Mata Saya


Saya akui memang saya punya konsep aneh soal pernikahan, sidang skripsi dan kematian. Dua bab yang katanya kebahagiaan dan satu bab yang katanya kiamat kecil.
Bab Pernikahan
Saya pernah sangat semangat mendatangi pernikahan seorang teman sekolah. Di masa sekolah, dia bukan termasuk siswi populer. Di bidang akademis maupun non akademis, dia tidak pernah terlalu menonjol.
Namun, saya malah semarak menulis surat berisi ucapan selamat buatnya. Saya juga memaksa ibu buat membantu saya membungkus kado untuk teman saya itu. Bahkan saya dengan girang, masih sempat mengoordinir teman-teman yang juga diundang untuk datang berbarengan, meski akhirnya kami semua tersesat juga berbarengan waktu menuju lokasi. Omong-omong, kalau tidak salah, saya memang ada di barisan motor paling depan, sok mempimpin jalan yang pada akhirnya juga memimpin ketersesatan kami berbarengan eheheh…
Jika dirunut saat ini, ada kesan yang disemat teman saya itu pada hati saya semasa sekolah. Dia berteman dengan saya dengan lugu. Sekadar karena kami mengobrol di selasar atau ketika saya terkekeh dalam batin melihat dia merengek minta diantar ke kamar mandi pada teman saya yang lain.
Bahkan setelah pernikahannya, saya dan beberapa teman masih jalan bersama dia dan suaminya waktu berkunjung ke Kampung Cempluk.
Pada pernikahan lain, saya malah mendatangi seorang teman yang sesungguhnya mengganjal di hati saya. Saya bilang begitu, karena dia lain dari teman-teman sekelas yang lain.
Di masa SMK, yang mengeratkan persaudaraan antara kami sekelas justru dengan saling contek. Dan bayaran berbagi contekan dengan saya itu mahal sekali, kamu mesti berteman dengan saya, itu mutlak.
Jika teman-teman yang lain bisa berteman dengan saya, beda hal dengan teman perempuan saya yang satu itu. Dia ingin bebagi contekan tanpa berteman. Wah… sayang sekali saya terlalu tendensius bila berbagi contekan tidak dibalas dengan pertemanan. Jadilah saya yang suka pura-pura budeg, saat si teman ini sedang ‘butuh’.
Menariknya, saya sangat bersemangat datang pada pernikahan si teman ini. Bahkan saya menyusahkan teman yang saya bonceng, dengan menyuruhnya membawa kado yang secara nominal tidak terlalu mahal, namun ukurannya cukup menyusahkan bila dibawa menggunakan motor.
Garis lurus kedatangan saya pada pernikahan teman yang satu ini, kebahagiaan. Saya tidak bisa jelaskan saya bahagia saat datang pada pernikahannya. Bahkan, saat bertatap muka, kami saling berpelukan, saling cium kemudian foto bersama. Saya tidak pernah melihat dia sedemikian bahagianya melihat saya hari itu. Diri saya sendiri juga kaget, mengapa bisa saya sedemikian bahagianya saat melihat dia yang berkebaya dengan kepala dililit kembang pada hari itu.
Lain lagi saat saya mendatangi pernikahan teman yang lebih lawas. Pernikahannya dihelat sangat sederhana, tanpa pengeras suara, juga tanpa tenda. Saya tersesat sekitar satu jam saat mendatangi pernikahannya yang dihelat di rumah suaminya.
Sebelumnya, saya berkeliling pasar buat mencari kado yang pikir saya tidak masuk prioritas daftar belanjanya meski dia sedang memiliki uang.
Soal kedatangan saya pada penikahan teman yang satu ini, kami punya kenangan panjang di masa sekolah. Kami menyeberang jalan raya depan SD bersama, demi membeli es Wawan yang saat itu populer. Kami juga berbagi bakso yang isinya cuma tiga potong gorengan hampir tiap jam istirahat kedua.
Bahkan, saat datang bulan pertama kali saat hampir kelulusan di SD, teman saya ini yang mengantar saya ke rumah nenek dan mengatasi kebingungan saya. Padahal, saya bukan siswi yang menonjol di sekolah. Jika dirunut lagi, dia tidak pernah punya keuntungan berteman dengan saya. Dia bahkan cuma satu dari sangat sedikit teman di SD yang saya punyai.
Selebihnya, saya melewatkan cukup banyak undangan pernikahan…
Bab Sidang Skripsi
Kali pertama saya datang pada sidang skripsi, akibat paksaan seorang teman. Soal teman saya ini, kamu tidak bakal bisa mendeteksi hubungan kami dari sosial media. Kami tidak pernah foto bersama, bahkan beberapa kali malah saling umpat di sosial media karena beda pendapat.
Dia sosok yang kasar, terang-terangan lagi jujur. Bahkan, dia berani meminjam sepatu kulit milik ayah saya saat hendak penelitian dan sidang skripsi. Dia juga menolak habis-habisan saat ayah memutuskan memberikan sepatu itu padanya. Dalam janjinya, dia pasti membayar sepatu itu suatu saat nanti. (Baca juga: Wayan)
Sidang lain yang saya hadiri, justru pada sidang seorang teman yang tidak meminta saya hadir secara langsung. Selama masa kuliah, saya mengenal dia sangat aktif di bidang seni dan organisasi politik.
Sosoknya lembut, santai namun praktis dan persuasif. Sayang, matanya tidak pernah tersenyum seperti bibirnya yang mengulas senyum sepanjang hari. Padahal, dia bisa jadi pohon yang menanungi banyak orang bila saja matanya bisa tersenyum.
Tidak seperti sidang lain yang saya hadiri, kali itu saya membawa sebuah bingkisan. Isi bingkisan itu sebuah buku yang punya cerita soal pemimpin-pemimpin di dunia. Pikir saya, buku itu paling cocok buatnya. Dan lagi, saya yang tidak jago pekerjaan halus, berusaha keras membungkus kado buat dia dengan tangan saya sendiri.
Saat dia keluar dari ruang sidang, kami banyak berfoto bersama. Saya juga menunggui dia sampai benar-benar keluar dari gedung dengan membawa bingkisannya yang segitu banyak.
Lain lagi dengan kehadiran saya pada sidang seorang teman, yang sepanjang kami saling mengenal, saya juluki dia si oportunis. Dia sangat tahu, jika si oportunis jadi simpulan saya soal pribadinya.
Kami tidak foto bersama lepas dia keluar dari ruang sidang. Saya juga gagal mencari kado yang tepat buat dia hingga memutuskan datang dengan tangan kosong.
Namun, dia menghampiri saya yang berdiri dekat pintu gedung tempatnya sidang saat banyak orang riuh mengajaknya berfoto. Dia berdiri sangat dekat dengan saya dan berkata,”Kamu sehat-sehat… jangan sakit lagi.” Sebentar kemudian, dia pergi menuju kerumunan yang riuh mengajaknya berfoto.
Memang, si oportunis ini, menurut mama saya, menunjukkan mata paling pias saat saya sakit. Padahal, saya selalu mengeluarkan kata-kata yang menohok dirinya, seperti soal cara hidupnya yang oportunis dan banyak hal lain.
Saya juga menangkap matanya yang tersenyum saat kami lama tidak bertemu. Dengan matanya yang tersenyum dan ejekan soal saya yang makin gendut, dia justru merentangkan tangan buat memeluk saya.
Sidang skripsi terakhir yang saya hadiri, saat sidang teman sekolah saya. Dia termasuk siswi yang menonjol di bidang akademis saat sekolah. Kamu pasti nyambung mengobrol apa saja dengan dia. Ada banyak infromasi dalam kepalanya.
Namun, hingga kuliah, teman saya yang satu ini tidak bisa menghilangkan rasa mindernya. Di masa sekolah, dia bahkan mendapat bullying dari sebagian teman yang barangkali otaknya kelas melati.
Untuk teman saya yang pendengar setia ini, saya menemukan buku yang kebetulan sesuai dengan bidangnya dan menyoal juga kepercayaan diri. Saya menunggu dia di depan ruang sidang dan dia mendadak menangis lepas dari ruang sidang, menangis yang bahagia.
Selebihnya, saya melewatkan banyak ajakan menghadiri sidang…
Bab Kematian
Saya hadir pada tiap kematian yang saya dengar. Tidak ada sekat untuk hati saya memilah, mana kematian yang bakal saya hadiri atau tidak, layaknya saya meghadiri pernikahan atau sidang skripsi. Kematian adalah satu napas yang sama...

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!