Sumber: sastrahelvy.com |
Akrab
dengan nama HelvyTiana Rosa? Betul, penulis perempuan satu ini, merupakan
salah satu penggagas Forum Linkar Pena (FLP). Cerpennya, Jaring-Jaring Merah
juga sempat menjadi salah satu cerpen terbaik Majalah Sastra Horizon dalam satu dekade (1990-2000).
Selain
cerpen Jaring-Jaring Merah, karya Helvy lainnya Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP) sudah edar filmnya di awal tahun 2016. KMGP sendiri, kali pertama dimuat di
majalah Annida pada 1993. Helvy sendiri menuliskannya pada 1992 di usianya yang ke 22 tahun sebagai tugas mata kuliah penulisan kreatif.
Menilik dari judul yang tertera di atas,
sudah jelas jika tulisan ini bukan hendak membahas KMGP sebagai sebuah cerpen.
Toh, bisa dipastikan sudah begitu banyak tulisan menyola KMGP sebagai sebuah
cerpen atau juga sebuah buku, mengingat KMGP dibukukan pada 1997 oleh Pustaka Annida.
Barangkali, penyebutan beberapa grup musik
atau musisi dalam KMGP belum banyak dibahas. Helvy menyebut beberapa musisi dan
grup musik bahkan setelah cerpen tersebut dirombak menjadi sebuah novellet pada
2011.
“Wah, ini nggak seperti itu Gita!
Dengerin Scorpion atau Eric Clapton belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi
pahala. Lain lahya dengan senandung islami. Gita mau denger? Ambil aja di
kamar. Mas punya banyak kok!” begitu kata mas Gagah.
KMGP, 1993
Sumber: dunia-cerpen.blogspot.com
Meski
di era sembilan puluhan saya baru saja lahir, saya cukup akrab ketika mendengar
lagu-lagu dari Scorpion atau juga Eric Clipton. Kemudian, coba kita bandingkan
dengan KMGP yang telah dirombak menjadi sebuah novellet.
“Wah, ini nggak seperti itu, Gita!
Dengerin Lady Gaga dan teman-temannya itu belum tentu mendatangkan manfaat,
apalagi pahala. Lainlah ya dengan senandung nasyid islami. Gita mau denger?
Ambil aja dari laptop. Mas punya banyak kok!” begitu kata mas Gagah.
Novellet KMGP, 2011
Sumber: sastrahelvy.com
Bagaimana?
Sudah terlihat bedanya bukan? Betul, pada 1993 Helvi menyebut Scorpion dan Eric
Clapton yang memang populer pada masa tersebut. Sedang, pada 2011 Helvy menggantinya dengan Lady Gaga.
Meski
Lady Gaga populer di masa remaja saya, terus terang saya bukan pendengar ulung
lagu-lagu Lady Gaga. Bisa jadi, Helvy mengganti Scorpion dan Eric Clapton
dengan Lady Gaga, karena menyesuaikan jaman. Bisa juga, santernya lagu-lagu
Lady Gaga yang dianggap menyebar paham illuminati, menarik minat Helvy untuk
meletakkan Lady Gaga sebagai pengganti. Entah… saya cuma sedang menduga-duga.
Makin
menarik, ketika Helvy menghubungkan para musisi yang disebutnya dalam
percakapan antara Gagah dan adiknya Gita, dengan seberapa manfaat dan pahala.
Nama Eric Clapton yang dicatut pada KMGP paling menarik perhatian saya.
Selanjutnya, mari kita tilik lagu Eric Clapton berjudul Tears In Heaven yang
rilis kali pertama pada 1991.
Would you know my name
If I saw you in heaven
Will it be the same
If I saw you in heaven
Tears
In Heaven, Eric Clipton, 1991
Sumber: kapanlagi.com
Dari
lirik tersebut, dapat dipahami bahwa si tokoh ‘aku’ memertanyakan pertemuannya
dengan seseorang. Pertemuan tersebut jelas dilakukan di surga yang ada di luar
alam kehidupan manusia, jika lagi-lagi ditilik dari lirik lagu tersebut. Si
tokoh ‘aku’ meragukan apakah dalam pertemuan tersebut, dirinya dan seseorang
tersebut akankah masih saling mengenal?
Entah
lagu Eric Clapton mana yang dipertanyakan Helvy soal manfaat dan pahalanya.
Meski saya berharap bukan Tears In Heaven, namun masih sangat menarik jika kita
membahas makna di balik lagu tersebut.
Pemaknaan
saya dalam Tears In Heaven agaknya selaras dengan bahasan lagu tersebut, dalam
salah satu episode Breakout Net TV yang dipandu oleh Boy William. Di sana,
diceritakan bahwa Tears In Heaven sesungguhnya menceritakan Eric Clapton yang
memaknai kematian ayahnya. Jadi, seseorang yang dibahas dalam lagu tersebut
bisa dimaknai sebagai anak dan ayah yang dipertanyakan akankah sama, ketika
terpisah oleh kematian dan bertemu lagi di alam lain.
Dalam
islam sendiri, seseorang memang akan terlepas dari dunia ketika kematian
menjemput. Seseorang tersebut akan sibuk dengan timbangan baik dan buruknya
sendiri di alam akhirat. Hanya amal dan doa yang menyambung dengan seseorang
tersebut dari alam dunia. Tidak ada reuni keluarga di sana, sekali lagi… hanya
ada timbangan baik buruk yang menyibukkan seseorang buat memikirkan dirinya
sendiri. Saya tidak main dalil, tentu soal dalil lebih jago kamu.
Tears
In Heaven jelas menggambarkan pertanyaan akankah dua orang yang saling mengenal
di dunia, masih saling mengenal ketika berada di alam lain?
Lepas
dari seberapa manfaat dan pahala, seperti dialog antara Gagah dan Gita.
Bukankah Tears In Heaven sesungguhnya sangat religius? Lagu tersebut ternyata
membahas soal kematian. Haruskah sesuatu yang religius melulu dibalut nada-nada
nyanyian nasyid atau segala yang berbasa arab? Oh, itu hanya salah satu cara.
Hal ini, layaknya lagu-lagu Letto yang bergenre pop namun justru membahas cinta
yang memang dari yang maha cinta, atau juga Ordinary Miracle milik Sarah
McLachlan yang membahas rutinitas alam dengan kesyukuran.
Saya
masih berharap, semoga penyebutan Eric Clapton dalam KMGP bukan terkait lagu
Tears In Heaven, namun menyangkut lagu-lagunya yang lain yang entah berjudul
apa. Atau, jikapun terkait, semoga penyebutan itu termasuk bagian dari proses
spiritual Helvy yang kala menulis cerpen tersebut sebaya dengan usia saya saat
ini. Kita semua sedang terus berproses, bukan?
Catatan Kamis, 10 Februari 2022
Eniwei, saya love bunda Helvy juga. Pernah belajar di FLP begini-begini wq. Meski sebentar dan dalam prosesnya, tulisan-tulisan saya tidak mencerminkan proses di sana sepertinya.
Barangkali ada sebagian teman yang baru tau saya pernah belajar di FLP. Sekitaran dua tahun lalu, pernah ada niatan bikin esai soal pilihan bunda Helvy di industri menulis vs Asma Nadia, adiknya.
Nggak tau sih kapan dieksekusi, tapi asli mereka ini unik pilihannya macam Isyana Sarasvati vs Rara Sekar.
Yes, bunda Helvy indie banget pilihannya di industri, seperti Rara Sekar. Sebaliknya Asma Nadia yang pilih serba mayor seperti Isyana pilih label musik.
Meski tulisan-tulisan bunda Helvy tidak semuanya 'my cup of coffe' saat ini, namun soal personaliti beda soal. Saya juga mengikuti Tiktoknya, rajin berkomentar dan menyenangi konten-konten beliau di sana.
Bagus banget Sis tulisannya. Oh ya.. btw Tears In Heaven-nya Eric Clapton itu bercerita tentang rasa sedih doi karena anaknya yang berumur 4 tahun meninggal, jatuh dari apartemen teman istrinya..
ReplyDeleteBtw, Ordinary Miracle juga syahdu banget tuh! :D
Aku pertama denger lagunya pas jadi soundtrack film judulnya "Charlotte's Web".
Btw, sori yak pake anonim. Blogku pake wordpress dan entah mengapa gabisa di submit di sini nih. Hehe.
Keep writing ya! :D
Salam, makasih sudah mampir. Moga Anonim baca komentar saya ini. Soalnya, saya pengin dibagi tahu alamat blognya Anonim. Pengin kunjungan balik begitu...
DeleteWah, saya juga kali pertama tahu itu lagu, dari Charrolette's Web, pakai mewek pula hehe... Hati ini memang macam jaring laba-laba yang langsung bubar pas digosok sama sapu.
Tears In Heaven ini kalau saya agak sok tahu, tauhidnya kena banget sebenarnya memang. Makanya, pas di cerpen itu dibilang kurang paedah lagunya Eric Clapton (entah yang mana), saya jadi agak nganu dan malah ingat ini lagu.
Makasih semangatnya! Jangan lupa, kalau Anonim mampir sini lagi, bagi alamat blognya ya...
Halo mbak.. aku balik lagi nih. Hehe, abis buka2 history browsing dan inget dulu pernah buka alamat blog ini, karena search info tentang waham, dan keluarlah tulisan mbak yang tentang nona waham itu. Trus lanjut baca2 tulisan lain dan ternyata bagus2 semua, terutama tulisan tentang Eric Clapton ini, dan dulu aku ninggalin komen di sini.. btw, ada lagu Eric Clapton yang super romantis menurutku...wkwk yang Wonderful Tonight :)
ReplyDeleteBlogku isinya belum ada apa-apanya sih, dibanding blog mbak..
Ini alamatnya:
haidarafanin.wordpress.com
Btw, senang bisa berkunjung di blog ini :)