Saya
belum pernah menatap matamu sedemikian dekat. Ternyata, matamu mirip dengan
banner blog yang tidak sengaja saya pilih dan pakai. Tidak terlalu gelap, tapi
juga tidak terlalu terang. Mendung, simpulan singkatnya.
Saya
merasa sama saja denganmu. Kamu menyimpan luka lewat mata, sedang saya
menyimpannya dalam gambar dan warna-warna.
“Saya
boleh tebak apa tipe kepribadianmu?” tanya saya.
“Tentu…
silakan. Saya justru senang jika ada yang membahas tentang itu.” Jawabmu
antusias. Ah, tidak… gerak tubuhmu mana mau berekspresi sih? Matamu saja yang
sesekali bergerak menunjukkan emosi yang kamu rasa.
“Melankolis?”
tebak saya dengan suara yang mantap, meski saya sendiri tidak yakin, apakah
saya sesungguhnya benar-benar tahu?
Kamu
menunjukkan ekspresi ragu. Ah… bukan ragu, tapi itu ekspresi yang menunjukkan
bukan jawaban ya atau tidak. Kamu tidak ingin ingin membikin simpulan
barangkali?
“Itu
karena saya melihat keteraturan dalam dirimu. Maka saya asal tebak saja kalau
kamu melankolis, setidaknya dominan melankolis.” Sambung saya.
Sebagian
orang mengobati dirinya dengan cara menceritakan luka-lukanya. Sebagian lagi,
menyimpannya rapat-rapat sambil mencari cara mengobati diri.
“Kamu
tidak ingin tebak apa tipe kepribadian saya?” tanya saya antusias.
Rautmu
ragu, suaramu juga begitu. Namun, ada keyakinan bahwa kamu sungguh-sungguh
tahu.
“Kamu?
Sangu… in? betul tidak?” tebakmu.
Saya
hanya terkekeh. Dari cara saya terkekeh dan mata saya yang membulat, tentu kamu
bisa tebak saya tengah mengiyakan.
“Betul?”
kamu kembali memastikan, sedang saya terus terkekeh.
“Kalau
ya, kamu sama seperti dosen saya yang seorang sanguin. Saya sering bertanya,
apa dia tidak bisa marah? Bagaimana dia bisa tertawa sepanjang hari?” kamu
bertanya-tanya meski sesungguhnya seperti tengah bicara dengan dirimu sendiri.
“Dan
bagaimana dia bisa berkata ‘hai’ pada semua orang?” sambungmu lagi sambil
mengangkat sebelah telapak tangan setelah menekan kata ‘hai’.
Kemudian,
saya kembali pada matamu yang mendung. Kita sama. Hanya saja, saya sedang
pura-pura lupa menampung mendung itu di mana.
Ah…
saya mestinya segera berhenti berpura-pura. Sedang kamu sendiri mesti percaya,
seseorang dengan luka yang nyaris serupa, akan bertemu pada waktunya, meski
tidak saling bercerita.
Oh
iya… kamu sedang membaca tulisan ini kan?
Iya, saya sedang membaca tulisan ini. Eh, maafkan saya. Saya kira kamu sedang berbicara dengan saya. Karena, saya juga lelaki melankolis. Melankolis-loyalis, saya menamainya.
ReplyDeleteHai, kenal salam (: saya lagi bicara sama semua yang melankolis nih sepertinya.
ReplyDeleteEh... melankolis-loyalis ya? Istilah baru bagi saya. Boleh kalau kita jumpa, dijelasin ke saya itu cuma-cuma :p