Thursday, September 1, 2016

Pulang

Sumber: Gugel

Samar kulihat dunia, tak sadar semua fana…
Bilur, Sarasvati

Saya tidak bisa melihat apapun di lapangan berkerikil itu. Tidak ada teman-teman atau lemparan bola kasti seperti beberapa menit lalu. Saya tidak ingat apa sebabnya. Apakah semua karena saya tidak kunjung pulang hingga lewat pukul lima, atau karena saya terus tidur hingga pukul lima lewat. Matahari makin lenyap, dan saya tetap tidak menemukan siapapun. Senyap.
***
Matahari tidak pernah lagi muncul sejak jalan saya yang senyap. Langit warnanya abu-abu, begitu juga dengan tanah dan udara yang saya lewati. Saya terus berjalan lurus, namun hanya lapangan berkerikil yang sama, saya dapati.
“Dia hilang…”
“Kabarnya, setelah tidak pulang bermain lewat pukul lima.”
“Kabarnya, setelah tidur hingga pukul lima lewat.”
Saya mendengar suara bersahut-sahutan. Tahu-tahu, saya sudah ada di halaman rumah seseorang. Terlihat beberapa orang lelaki mengobrol sambil mengisap berbatang-batang rokok.
“Saya ingin pulang!” jerit saya.
Namun, mereka diam.
“Saya ingin pulang!” Jerit saya lagi dengan langkah makin mendekat pada mereka.
“Kamu tidak bakal pulang!”
Gemuruh suara lelaki dan perempuan bersahutan. Saya tidak yakin, suara-suara itu berasal dari para lelaki yang tengah mengobrol di hadapan saya.
“Saya ingin pulang! Kalian dengar?!” jerit saya berulang.
“Diam!”
Bentak suara bergemuruh yang makin mendekati diri saya.
Tangan-tangan hitam menarik saya menjauh dari kerumunan lelaki yang tengah mengobrol di hadapan saya. Mereka membikin kulit saya terasa melepuh dan menyakitkan.
“Saya ingin pulang!”
***
Seorang lelaki sepuh kelihatan menenteng sekaleng cucian. Saya seperti pernah mengenal dia dengan baik. Dia tidak sesepuh itu, sebelum segala yang saya pandang jadi abu-abu dan senyap. Betul! Dia seorang tetangga yang tinggal beberapa blok dari rumah saya. Bagaimana dia bisa setua itu?
“Saya ingin pulang!” jerit saya.
Namun, sosok lelaki itu malah menjauh dari tempat saya berdiri. Dia menoleh pada saya dengan posisinya yang makin menjauh. Beberapa kali dia mengusap mata kirinya. Dia melihat saya!
“Se… Seno?” panggilnya memastikan siapa saya.
Dia berusaha mendekat. Namun tangan-tangan hitam membekap bibir hingga seluruh wajah saya. Lelaki tua itu berusaha mendekat menuju tempat saya berdiri, sedang tangan-tangan itu mulai membuat kulit saya seperti melepuh dan makin menyakitkan.
Saya kembali berada di lapangan yang penuh dengan kerikil. Saya berjalan lurus dengan udara dan tanah yang berwarna abu-abu.
***
“Bertahun-tahun lalu, ada seorang tetangga yang menemukan dia. Dia sudah jadi lelaki dewasa. Tetangga itu berusaha mengejarnya. Sayang, dia lenyap.” Ucap seorang perempuan paruh baya pada lelaki muda yang ada di hadapannya.
Seorang gadis kecil yang kira-kira berusia enam tahun, menggenggam erat tangan lelaki muda yang agaknya memang ayahnya.
Saya berjongkok mendekati gadis itu. Dia memandangi saya dengan kacamata yang melorot dari tulang hidungnya.
“Kamu bisa antar saya pulang?” tanya saya.
Gadis itu tanpa rasa takut nyaris menyentuh wajah saya. Namun, mendadak tangan-tangan hitam mulai membekap bibir hingga wajah saya. Kulit yang terasa melepuh mulai menjalar di sepanjang punggung saya.
Saya melihat pipi gadis itu mendadak basah. Dia mulai menjerit sambil memunjuk-nunjuk tangan-tangan hitam yang menarik saya menjauh. Ayah gadis itu berusaha menenenangkannya dengan menepuk kepalanya berkali-kali.
Hingga saya tidak bisa melihatnya lagi, gadis itu tetap menunjuk-nunjuk sambil menangis.
***
Saya melihat gadis itu membawa sebuah kitab kecil. Gadis berkacamata yang sama. Dia yang menjerit ketakutan melihat tangan-tangan hitam yang membekap bibir hingga wajah saya beberapa waktu lalu.
Gadis itu tetap anak-anak. Hanya saja tinggi tubuhnya bertambah beberapa senti, barangkali. Bagaimana bisa tinggi tubuhnya bertambah beberapa senti dalam beberapa waktu?
Dia menatap saya. Matanya gelisah. Saya tahu, dia tidak bermaksud untuk takut pada saya. Namun, mungkin tangan-tangan hitam itu masih membuatnya ngeri dan menerus dia ingat.
Gadis itu kemudian membaca kitabnya keras-keras. Nama Tuhan disebutnya berkali-kali. Dia ketakutan dan agaknya ingin saya pergi melalui nama-nama Tuhan yang dia sebut. Bacaannya itu membikin tangan-tangan hitam yang hendak membekap saya menjauh. Tubuh saya sendiri terasa sedikit panas. Gadis itu tidak berhenti, hingga saya memutuskan pergi menembus dinding kamarnya.
***
“Ayah, saya ingat cerita soal anak lelaki yang hilang waktu kecil itu.” Ucap seorang gadis berkacamata pada seorang pria paruh baya yang tengah mengaduk kopi di hadapannya.
“Seorang warga pernah menemukannya. Anehnya, dia dalam keadaan sudah dewasa dan kemudian menghilang waktu tetangga itu coba mendekatinya.” Balas ayahnya.
“Saya tidak suka tinggal di tempat itu, Ayah. Banyak hal aneh.”
“Dan kita sudah tidak tinggal di sana sekarang…”
Saya berjalan makin mendekat. Gadis yang agakanya sekarang berusia dua puluh tahunan itu merasai tengkuknya yang merinding.
“Saya ingin pulang…” bisik saya.
Ada perasaan pengap, sedih dan gelap saya rasakan. Saya hanya ingin pulang.
“Bisa kamu bantu saya?” bisik saya lagi.
Gadis itu malah menunduk sambil mulai menangis. Tidak seperti masa kecilnya, dia tidak benar-benar bisa mengenali wajah saya sekarang. Namun, agaknya dia yang sekarang justru malah bisa merasakan emosi yang saya rasakan.
“Ada apa?” tanya lelaki paruh baya yang memang ayahnya itu.
“Dia di sini. Saya rasakan rasa sedih, gelap dan pengapnya.” Jelas si gadis.
Ayah gadis itu merasai tengkuknya yang merinding, sedang tangan-tangan hitam mulai merambat dari punggung menuju bibir dan wajah saya.
“Dia hanya ingin pulang. Sebut nama Tuhan. Antar dia pulang…” jelas si ayah meski saya yakin, dia tidak merasakan perasaan sedih, pengap dan gelap seperti yang saya dan anak gadisnya rasakan.
Gadis itu menyebut nama Tuhannya berkali-kali. Kali ini, bukan buat mengusir saya, namun agaknya memang buat mengantar saya. Rasa hangat mulai merayap naik dari jari-jari kaki saya. Tangan-tangan hitam yang hendak membekap bibir saya itu menjauh.
“Berhenti! Kamu tidak bakal pulang!”
Jerit tangan-tangan itu dengan suara bergemuruh. Mereka makin menjauh dan rasa hangat makin naik hingga ujung kepala saya.
Selanjutnya, saya tidak lagi melihat gadis itu dan ayahnya. Hanya ada jalan panjang bercahaya putih di hadapan saya. Saya berjalan lurus dengan pengap, gelap dan sedih yang lenyap.
Saya selalu yakin, saya bakal bisa kembali pulang…
***

“Untukmu, yang semestinya memang segera pulang.”

Anomali

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!