Dibuat di Malang, 2014
“Tujuan
hidupmu apa Kak? ,” rasanya aku ingin menyembur isi air yang ada dalam rongga
mulutku buru- buru. Pertanyaan itu. Mendadak bikin air mineral yang baru masuk
ke rongga mulut jadi pahit rasanya.
“Apa?
,” aku menoleh ke mukanya. Tapi. Tolehanku tidak di balas. Dia terus menghadap
arah depan. Bicaraku terlalu buru- buru. Belum semua air dalam rongga mulutku
kutelan. Nyaris keluar dari sudut bibir sisa air yang belum kutelan.
“TUJUAN
HIDUPMU apa? ,” kata ‘tujuan hidup’ dia tekan tiga kali lipat dari ucapan
sebelumnya.
“Eh
,” kugaruki kepala belakangku yang tidak gatal.
“Apa?
,” melirik matanya ingin tahu.
“Tujuan
hidup… ,” aku mengulang pertanyaan.
“Iya
apa? ,” bola matanya kembali menghadap arah depan.
“Eh
,”
“Apa?
,”
“Tujuan…
hidup… ,” lagi. Kuulangi pertanyaan dia.
“Iya
apa? ,”
Skak!
Telak! Aku terpojok. Ini lebih ngeri ketimbang mesti kuis dadakan salah
satumata kuliah. Oh oke. Untuk kuis, aku masih bisa dapat bisikan teman atau
asal tembak salah satu opsi ganda dengan cara ngawur. Tapi ini!. Bisikan dari
siapa yang aku harapakan?. Kami cuma… berdua!.
“Apa?
,” napasku berkejaran. Dia bertanya lagi.
“Pulang
kampung ,” apa yang akan terjadi?. Jawaban macam apa ini?.
“Eh?
Aku yang bertanya kurang jelas. Benar juga. Setelah ini liburan. Pulang kampung
juga tujuan kan? ,” dia tergelak. Terbahak. Diluar dugaan. Anak ini tidak bikin
aku terpojok lagi. Mukanya yang datar mendadak cair. Gigi gingsulnya terpajang
bebas.
“Maksudku…
,” ah ini dia. Mukanya kembali datar. Nada bicara itu… pasti menyudutkan aku
lagi setelah ini!.
“Seperti
aku. Aku ingin lulus kuliah. Dalam waktu dekat aku akan mengulang mata kuliah
yang belum meluluskan aku ,”
“Jadi
tujuan hidupmu? ,” napasku berkejaran lagi. Aku resmi. Ter-po-jok.
“Eh
,” aku menghentak keras satu tarikan napas.
Dia
diam. Mukanya tetap. Datar. Lama. Aduh! Diammu terlalu lama nona!. Kamu mirip
dosen- dosen mata kuliah yang sebal lihat kelakuanku. Kabur dari ke-las.
Melanglang ke sanggar teater kemudian ngobrol dengan teman yang pura- pura
tidak tahu prosesku melarikan diri dari banyak kelas!.
“Oh
,” matanya berbinar. Gigi gingsulnya terpajang lagi.
“Tujuan
hidupmu untuk menemukan tujuan hidup itu sendiri. Itulah sebabnya kamu hidup di
dunia ini Kak ! ,” dia tertawa. Singkat.
Jantungku
panas. Seperti di remas.Ditusuk. Di belah kemudian di bumbui dengan garam dan
jeruk nipis.
Aku
hidup untuk mencari tujuan hidupku. Tujuan hidup yang akucari dalam hidup.
Sebab aku hidup untuk mecari tujuan hidup. Demi tujuan hiduplah aku hidup. Dan.
Tujuan hidupku adalah menemukan tujuan hidup.
Ah!
Anak ini. Bicaranya selalu bikin aku berpikir sepuluh kali!. Kata- kata yang
terbolak balik tapi penuh makna yang mengharuskan akumengakui bahwa… aku sama
sekali tidak pernah memikirkan jawaban dari pertanyaan anak ini!. Oh nona… aku
ingin…
“Ya.
Itu tujuan hidupmu. Itulah kenapa kamu hidup. Mencari tujuan hidup sebabnya ,”dia
tertawa lagi.
Aku
menoleh padanya. Dia tetap menghadap kearah depan.
Pertama
kalinya!. Ya!. Ada orang yang menyebut sebab kenapa aku hidup. Bahkan aku
sendiri tidak pernah memikirkan itu!.
Makin
keras tawanya.
“Dik
,”
“Apa?
,”
“Besok
datang lagi?. Pentas teaternya masih ada untuk dua hari kedepan ,”
“Ya.
Mungkin. Aku nggak bawa motor Kak. Angkutan umum daerah rumahku juga susah.
Tahu sendiri ,” di renggangkan dua tanganya seperti orang baru bangun tidur.
“Datang
sendiri atau aku jemput? ,”
“Ter-se-rah
,” nada bicaranya datar.
“Aku
jemput kamu nanti ,” asal saja aku menyahut. Ini keputusan sekenanya. Kata
‘terserah’ seperti memojokkan aku. Untuk me-mu-tus-kan.
“Ya.
Boleh. Kabari lagi saja besok ,”
“Sekarang
kamu mau pulang? ,”
“Terserah
,” seumur hidup kata terserah baru kudengar dari nona ini. Memutuskan sesuatu
bukan kebiasaanku. Rasanya… pahit, asam, manis…
“Tunggu
,” aku buru- buru berlari kebelakang panggung. Secepatnya juga aku keluar.
“Ya…
nanti aku kembali lagi. Aku antar dia dulu ,” tanganku melambai kepada beberapa
teman disana.
***
“Kak jadi jam berapa?.”
Pesan
singkatnya bikin leherku panas.
“Jam 13.30 pentas 1.”
Kubalas
secepatnya.
“Oke.”
Hanya
oke? Lalu aku mesti jawab apa?. Lama. Kuhentak kakiku. Seperti digigiti semut
di dasarnya sepatuku. Eh? Aku menyanggupi untuk menjemput dia bukan?. Tapi aku…
bagaimana aku harus datang? Bagaimana aku harus memberi salam? Bagaimana aku
harus menunggui di di ruang depan? Dan. Bagaimana dengan satu kelas yang aku
lewatkan hari ini?. Haruskah aku kabur untuk menjemput perempuan? Atau kabur ke
sanggar tempat teman- teman?.
“Uhm. Nanti kalau aku nggak bisa
jemput aku kabari.”
Oh
Tuhan!. Sudah kuputuskan. Aku… Ragu!.
“Bisa atau nggak bisa tetap kabari
ya Kak.”
Menolak.
Aku mau menolak. Mana tega?. Tapi demi mengantar dia kemarin, aku sudah tolak
ajakan teman- teman untuk sekadar mengobrol. Tapi…
Lama.
“Sorry. Aku nggak bisa jemput
kamu.”
Oh
Tuhan!. Aku berhasil menolaknya. Tapi. Apa ini mauku?.
“Oke nggak apa- apa.”
Bukan.
Bukan. Aku ingin melanjutkan obrolan yang kemarin dengan dia. Atau… aku ingin
diskusi soal pentas kemarin dengan teman- teman?. Oh tentu. Aku ingin keduanya.
Bagaimana caranya pilih salah satu?. Bukankah aku sudah berhasil menolak nona
itu. Eh? Menolak? Memangnya minta apa dia sampai aku menolak?.
***
“Pagi. Aku bisa jemput kamu.”
Apa
yang aku lakukan?. Pukul delapan aku mesti ujian tengah semester. Ujian
tersebut lisan!. Tidak tahu pukul berapa ujian itu bakal selesai. Semalam aku
tidak tidur. Tidak juga mandi pagi ini.Apalagi belajar!.
Lalu?
Aku tidak ingin bikin anak itu kecewa dan anggap aku tidak bisa tepat janji.
Hah? Kenapa aku tidak rela dia menganggap aku demikian dan blablabla?.
Sudah.
Aku sudah janji. Pukul setengah sepuluh. Ya. Aku janji untuk masuk kelas!. Aku
juga janji menjemput anak itu sebelum jam tersebut!. Lalu?. Ya. Bagaimana?. Aku
sudah janji.
Tidak.
Tidak bisa. Anak itu tidak berhak kecewa. Ujian tengah semesterku tidak berhak terlalu
lama menyita waktu. Dan. Berhak aku masuk kelas tepat waktu. Berhak. Semua berhak!.
***
“Kamu
bisa menepati janji juga ya Kak? ,” terbahak dia selepasnya.
“Ya.
Bisa. Aku bisa. Sangat bisa ,” aku seperti di tampar kata- kata anak ini.
Sialan.
“Kamu
butuh pendamping hidup sepertinya Kak ,”
“Eh?
,” aku memencet tombol lift.
“Biar
teratur. Hidupmu… ,”
“Tapi…
” lanjutnya.
“Pendamping
hidup juga butuh makan Kak. Kamu mau kasih makan apa? ,”
Geli.
Tertampar. Terpojok. Tapi. Selalu aku menunggu kejutan- kejutan di balik
lidahnya. Selalu bikin aku berpikir sepuluh kali untuk mencerna. Namun selalu
penuh makna.
“Bapak
calon pendampingmu pasti memastikan putrinya dapat kelayakan. Kamu menawarkan
apa? ,”
Lama.
Diam. Tertusuk.
“Aku
bakal bilang Kupinang Putrimu Dengan
Seperangkat Kostum Dan Properti Teater Di Bayar Tunai Pak! ,”
Tergelak
tawanya. Keras. Paling keras di antara tawa dia yang aku tahu selama ini.
Senyum tipis kugelar.
Bodoh
kurasa yang aku ucap. Tapi. Balasannya berupa tawa bikin aku merasa ucapanku
menghibur dan punya harga.
“Kak
,”
“Ya?
” mukanya kembali datar.
“Aku
tahu. Dengan ada aku disini, aku jadi mengganggu kebersamaanmu dengan teman-
temanmu di sanggar. Kalian butuh bersama. Butuh diskusi ,”
Pintu
lift menunjukkan angka dua. Tujuan kami. Lantai satu.
“Ah
nggak kok! ,” ayo- ayolah lift cepat turun. Ingin aku segera mengantar nona ini
pulang. Mesti cepat kembali aku ke tengah teman- teman. Sudah janji aku bakal
bersama mereka malam ini. Diskusi.
Tapi.
Kalau nona ini kecewa bagaimana?. Tidak berhak dia kecewa.
Pintu
lift menunjukkan angka satu. Lega. Kami sampai.
Pintu
terbuka. Tapi. Anak ini. Diam di tempat dengan muka datar.
“Hey
ayo ,” berkata ayo aku namun kakiku tetap di tempat.
“Silahkan
duluan. Dulu. Aku pernah hampir terjepit lift. Agak takut aku ,” muka datarnya
selalu bikin aku gagal percaya dia pernah melewati hal semengerikan itu.
Melawan
ragu. Aku berjalan lebih dahulu.
Bahkan
untuk memutuskan berjalan lebih dahulu
atau berjalan belakangan. Aku ternyata… tidak terbiasa.
Sekeluarnya
dari lift. Jalan anak ini malah melambat. Was- was aku. Ayolah nona… aku mesti
kembali ke teman- temanku. Tapi. Bagaimana cara mengabarkan itu padamu?.
“Jangan
cepat- cepat. Aku masih ingin mengobrol dengan kamu Kak ,” astagaaaa anak ini. Betapa
nyamannya dia mengatakan hal sepribadi itu. Dari hati? Atau? Karena dia sudah
biasa bilang seperti itu pada siapa saja?.
“Eh?
Oke ,” aku melambatkan langkah. Luluh aku. Menyetujui perpanjangan waktu
bersama dia.
“Kak
,”
“Ya?
,”
“Soal
kebiasaanmu merokok. Aku tidak berusaha merubah hidupmu…… ,”
“…..hanya
mencoba membuat aku hidup lebih lama ,” aku melanjutkan kata- kata dia yang
belum selesai. Hafal sekali aku dengan kata itu. Kata yang sama. Tapi. Selalu
bikin aku punya harga.
“Dan
lagi. Aku mengobrol dengan siapa kalau kamu mati? ,” heh? Mati?. Ringan sekali
dia ucap kata itu. Sederhana. Tapi kata- kata dia barusan bikin harga hidupku
terasa lebih mahal lagi.
“Kan
ada teman yang lain ,” mengucap kata ‘teman’. Jadi ingat aku janji dengan teman- teman. Ah. Aku harus cepat
kembali. Langkah aku percepat. Lagi.
“Ya.
Ada teman yang lain. Tapi beda dengan kamu Kak ,” tangannya menarik tas
ranselku.
“Jangan
cepat- cepat ,” lanjutnya. Terpaksa kakiku melambat.
Lagi.
Kusetujui perpanjangan waktu kebersamaan kami.
“Kita
bisa duduk disitu ,” kutunjuk dudukan di bawah sebuah pohon diluar ruangan. Aku
duduk. Dia berdiri berputar- putar dua kakinya. Tidak bisa diam.
“Maaf
hari ini merepotkan ,”
“Ah.
Tidak ,” ya Nak. Aku cukup repot hari ini tapi kamu tidak berhak kecewa.
“Aku tidak mau seperti itu lagi.
Tapi. Terimakasih. Aku merasakan suatu rasa yang aneh selama bersama kamu. Bisa
bilang ‘terserah’. Bisa berlagak bodoh soal angkutan kota.Berlagak penakut soal
lift.”
“Aku selalu memutuskan. Aku selalu melangkah
di depan teman- teman. Apapun. Mereka selalu bertanya padaku. Bosan aku ,”
“Bukan masalah. Dengan kamu. Aku
belajar memerdekakan diri ,”
“Hah? ,” dahinya di tekuk.
Ya. Ya nona. Denganmu aku belajar
merdeka. Merdeka mengartikan kata ‘terserah’.
Itu
sebuah harga bagi yang merdeka tapi tidak merdeka. Dan. Itu aku…
Sebagian besar percakapan dalam cerpen ini,
saya comot dari percakapan saya dan teman saya yang seorang pegiat teater. Saya
mengenalnya sejak maba, sedang dia kuliah tingkat tiga. Tipe kepribadiannya
dominan plegmatis dan dia kesusahan menuruti maunya sendiri. Hingga sekarang,
dia belum lulus kuliah. Dalam cerpen ini, saya mencoba masuk dalam sudut
pandangnya.