Wednesday, June 7, 2017

Flat 506


Sumber: Gugel

Alasan saya tinggal satu flat dengan dua orang lainnya, bukan karena agar kami bebas berdiskusi dan bertukar pemikiran, itu kelewat idealis. Kami satu flat, hanya untuk menghemat biaya hidup di kota besar ini. Dua ruang kamar, satu kamar mandi dan dapur, masih ditambah ruang sempit depan kamar yang bisa berfungsi sebagai ruang tamu.

Sonja, satu-satunya perempuan dalam flat ini. Dia memiliki ruang kamar sendiri. Dia gemar berdoa. Berdoa dari tuntunan agama apa saja. Dia juga gemar nyeletuk kata-kata baik seputaran Tuhan. Lagi-lagi masih berasal dari agama mana saja. Rambutnya diwarnai kekuningan dan dia lebih sering mengenakan rok, ketimbang jenis bawahan lain seperti celana jeans.

“Nja… kamu selalu pakai rok itu kenapa, sih? Tidak mau menyerupai lelaki? Biar bisa mencium bau surga? Kok kedengaran seperti tuntunan agama tertentu, ya? Bukannya kamu tidak mau terikat pada satu aturan agama tertentu?” goda saya satu waktu.

“Memang betul, apa yang saya lakukan, bisa dibilang tuntunan agama tertentu. Tapi ingat, saya tidak mau menuruti suatu tuntunan beragama tanpa rasionalisasi. Organ vital perempuan itu rumit, Set. Pikir kamu, apa jadinya jika organ vital itu menerus ditekan dengan bawahan ketat?” balas Sonja.

Maka kami tergelak. Kami paham, kami tidak akan pernah saling menyepakati dan juga tidak akan pernah memaksakan keyakinan masing-masing. Bagi saya, identitas beragama mesti jelas dan kita mesti total mengikuti satu tuntunannya. Tidak semua mesti dirasionalisasi. Saya berdoa, agar Sonja selamat dari kesombongan rasio.

Beda dengan Sonja, teman saya satu kamar dalam flat justru tidak pernah terlihat gemar berdoa atau menyebut nama Tuhan. Namanya Sudjono. Sudjono ini sangat kuat membikin rasionalisasi, hampir mirip dengan Sonja. Hebatnya, Sudjono adalah yang paling aktif di dunia sosial di antara kami semua, saya akui itu. Tiap sore, dia mengajar bahasa gratis di taman kota.

“Kenapa kamu gemar berbuat baik, Djon? Saya yakin, ini bukan soal kamu ingin masuk surga. Namun, bukankah berbuat baik itu identik dengan tuntunan agama? Bukannya kamu tidak percaya dengan semua itu?” goda saya satu waktu.

“Saya percaya timbal balik, Set. Bagi saya, timbal balik itu alasan paling rasional untuk saya berbuat baik. Yakin saya, jika saya berbuat baik, alam akan juga memerlakukan saya baik. Saya lakukan ini karena saya betul percaya pada timbal balik.” Balas Sudjono.

Maka kami tergelak. Kami paham, kami tidak akan pernah saling menyepakati dan juga tidak akan pernah memaksakan keyakinan masing-masing. Bagi saya, agama adalah pegangan hidup terbaik. Saya hanya berdoa, agar di akhirat kelak Sudjono bakal selamat dari siksa api neraka.

Selanjutnya, kami semua makan bersama dalam flat…

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!