Sumber: Gugel |
Alasan
saya tinggal satu flat dengan dua orang lainnya, bukan karena agar kami bebas
berdiskusi dan bertukar pemikiran, itu kelewat idealis. Kami satu flat, hanya
untuk menghemat biaya hidup di kota besar ini. Dua ruang kamar, satu kamar
mandi dan dapur, masih ditambah ruang sempit depan kamar yang bisa berfungsi
sebagai ruang tamu.
Sonja,
satu-satunya perempuan dalam flat ini. Dia memiliki ruang kamar sendiri. Dia
gemar berdoa. Berdoa dari tuntunan agama apa saja. Dia juga gemar nyeletuk kata-kata baik seputaran Tuhan.
Lagi-lagi masih berasal dari agama mana saja. Rambutnya diwarnai kekuningan dan
dia lebih sering mengenakan rok, ketimbang jenis bawahan lain seperti celana
jeans.
“Nja…
kamu selalu pakai rok itu kenapa, sih? Tidak mau menyerupai lelaki? Biar bisa
mencium bau surga? Kok kedengaran seperti tuntunan agama tertentu, ya? Bukannya
kamu tidak mau terikat pada satu aturan agama tertentu?” goda saya satu waktu.
“Memang
betul, apa yang saya lakukan, bisa dibilang tuntunan agama tertentu. Tapi
ingat, saya tidak mau menuruti suatu tuntunan beragama tanpa rasionalisasi.
Organ vital perempuan itu rumit, Set. Pikir kamu, apa jadinya jika organ vital
itu menerus ditekan dengan bawahan ketat?” balas Sonja.
Maka
kami tergelak. Kami paham, kami tidak akan pernah saling menyepakati dan juga
tidak akan pernah memaksakan keyakinan masing-masing. Bagi saya, identitas
beragama mesti jelas dan kita mesti total mengikuti satu tuntunannya. Tidak
semua mesti dirasionalisasi. Saya berdoa, agar Sonja selamat dari kesombongan
rasio.
Beda
dengan Sonja, teman saya satu kamar dalam flat justru tidak pernah terlihat
gemar berdoa atau menyebut nama Tuhan. Namanya Sudjono. Sudjono ini sangat kuat
membikin rasionalisasi, hampir mirip dengan Sonja. Hebatnya, Sudjono adalah
yang paling aktif di dunia sosial di antara kami semua, saya akui itu. Tiap
sore, dia mengajar bahasa gratis di taman kota.
“Kenapa
kamu gemar berbuat baik, Djon? Saya yakin, ini bukan soal kamu ingin masuk
surga. Namun, bukankah berbuat baik itu identik dengan tuntunan agama? Bukannya
kamu tidak percaya dengan semua itu?” goda saya satu waktu.
“Saya
percaya timbal balik, Set. Bagi saya, timbal balik itu alasan paling rasional
untuk saya berbuat baik. Yakin saya, jika saya berbuat baik, alam akan juga
memerlakukan saya baik. Saya lakukan ini karena saya betul percaya pada timbal balik.”
Balas Sudjono.
Maka
kami tergelak. Kami paham, kami tidak akan pernah saling menyepakati dan juga
tidak akan pernah memaksakan keyakinan masing-masing. Bagi saya, agama adalah pegangan
hidup terbaik. Saya hanya berdoa, agar di akhirat kelak Sudjono bakal selamat
dari siksa api neraka.
Selanjutnya,
kami semua makan bersama dalam flat…
No comments:
Post a Comment