Saturday, July 29, 2017

Rumus Ajaib Santri Beranda Sosmed

Sumber: Dokumentasi pribadi

Rumus ajaib santri beranda sosmed:

Cinta sama Tuhan dipublikasikan (Padahal Tuhan maha tahu, tapi justru kok ya masih diberitahu)

Cinta sama manusia katanya musti dalam diam (Padahal, sesama manusia nggak segitu saktinya hingga bisa dengar tembus hatimu. Bab ini semacam dirimu berdoa melulu tanpa usaha)

Rumus cintamu iki diwalik iso ora? Ben nggak oleng.

Jika kamu mendapati temanmu kok nampak goblok karena tidak mengerti agama dalam versimu, jangan diremove, tapi ajak dialog. 

Punya elmu mbok ya jangan esklusif dibagi sama golongan yang sama-sama sudah pinter saja. Kasihan yang masih goblok dalam versimu itu loh... 

Dan ternyata, ngomong fakta sama sinis itu beda tipis kwkw...

Wednesday, July 26, 2017

Selamat Datang, di Industri ‘Mencintai Dalam Diam’

Dimuat dan dapat dibaca di magdalene.co
 
Ilustrasi dari magdalene.co
Saya tentu gemas, melihat postingan soal cinta pada lawan jenis dalam diam, berseliweran di beranda sosial media. Pernah satu waktu, saya goda teman yang mengunggah tulisan model begitu. Saya bilang padanya,”Kenapa mesti cinta dalam diam?”
Dia jawab,”Kan kita ini perempuan, Pop…” jawabnya.
“Mencintai dalam diam itu, semacam doa tanpa usaha…” balas saya.
Nampaknya dia kemudian tersinggung dengan bilang,”Terus? Sebagai perempuan kita mesti apa? Mesti bagaimana?”
Komentar saya pungkasi dengan sok tausiyah, di mana doa dan usaha mestinya beriringan. Saya sedih bercampur geli melihat seberapa banyak teman-teman perempuan saya, masuk dalam industri ‘mencintai dalam diam’.
Si teman yang saya goda dalam kolom komentar di sosial media itu pun, dulunya juga berpacaran meski sudah memakai atribut beragama lengkap sejak dirinya masuk pondok. Lucunya, setelah putus buru-buru dia berkoar soal prinsipnya yang anti berpacaran, baiknya mencintai dalam diam dan betapa dia mencintai karena Tuhan. Tidak jarang, prinsip yang dia umumkan cenderung menyerang dan menyalahkan pihak yang masih berpacaran. Loh… apa si teman ini lupa dia dulu bagaimana, ya? Kok ya suka serang-serang orang?
Lain lagi dengan cerita kakak tingkat saya semasa SMK. Hubungan saya renggang dengan si mbak tersebut, semenjak saya berusaha mengajaknya membaca tulisan-tulisan analitis seputar agama. Dia mengatakan bahwa saya telah membuatnya bingung. Di sosial media, mbak tersebut makin getol mengumumkan ketaannya pada Tuhan dan bagaimana dia mencintai lawan jenis dalam diam. Ketaatan yang dibahasnya pun sebatas atribut relijiusitas.
Sama seperti teman perempuan saya sebelumnya, si mbak tersebut dulunya juga berpacaran bahkan dirinya dulu sama sekali tidak menganakan atribut beragama. Pernah ketika dirinya saya ingatkan soal perayaan kesalehan alias kelalaian manusia yang terlalu mengumumkan ketaannya pada Tuhan, si mbak tersebut malah tersinggung dan bilang begini,”Ini sama dengan kamu promosi terus tulisanmu, meski orang nggak paham dengan duniamu. Orang bisa mengira kamu sombong loh.” Terakhir, dia justru meremove saya dari sosial medianya.
Maka, saya jadi makin tergelitik. Saya tidak harap mbak tersebut memahami beda masalah ketuhanan dengan barang dagangan. Tentu promosi tulisan yang saya lakukan, adalah untuk branding. Saya menarik orang-orang untuk mengunjungi blog saya, yang barangkali bisa dijadikan penghasilan kelak.
Semakin hari, teman-teman perempuan di sekeliling saya makin membingungkan. Kutipan-kutipan cengeng yang sesat pikir juga makin banyak di sosial media. Kutipan jenis ini, juga rajin dibagikan oleh dua teman perempuan saya di atas.
Bagaimana tidak sesat pikir? Tuhan katanya maha tahu, namun kenapa cinta mereka pada Tuhan justru diumba-umbar? Sebaliknya, manusia yang jenis kelaminnya lelaki itu seberapa sakti? Sehingga bisa melihat dalam hati perempuan mana yang menyimpan perasaan. Bagaimana cinta pada Tuhan yang mestinya disimpan, justru diumbar bahkan tidak jarang melukai sesamanya perempuan. Dan bagimana cinta pada lawan jenis yang mesti diiringi  doa dan usaha, malah disimpan rapat sebatas doa. Ah… betapa sekarang ini banyak santriwati produk sosial media…
Disadari atau pura-pura tidak disadari. Para perempuan pengikut kutipan agama ala sosial media, pada muaranya hanya akan turut membeli atribut beragama, tiket seminar atau buku-buku agama seputaran pernikahan dan lagi-lagi soal mencintai dalam diam, pada sosial media yang mereka ikuti. Lucunya, mereka memang semangat jadi konsumen loh…
Bahkan seorang teman saya yang satu fakultas, pernah saya tegur karena saya tidak nyaman dengan penghakimannya pada artikel yang sengaja dikirimkannya di sosial media saya. Artikel tersebut, berisi ketidakbenaran atribut beragama saya. Sedihnya, dia susah sekali diajak berdialog. Padahal, sebagai sesama perempuan saya menghormati dirinya yang mulai mengenakan berbagai atribut beragama. Saya juga tidak pernah berkomentar soal dirinya yang berkoar-koar di sosial media mengenai anti berpacaran dan bagaimana dia mencintai Tuhan. Ya… meski sebelumnya dia juga berpacaran dan galau hebat ketika ditinggal mantannya. Harapan untuk saling menghormati justru pupus dari caranya menghakimi.
Teman saya tersebut, bahkan tidak mengetahui bagaimana saya memutuskan tidak berpacaran semenjak jaman ABG. Sebelum ini, saya menutupnya rapat. Hanya teman terdekat yang mengetahuinya. Hingga sekarang, saya tidak pernah berpacaran sama sekali. Alasannya? Saya menemukan rasionalisinya dalam dalil agama dan itu menguatkan selama menahun. Namun, melihat orang berpacaran, saya biasa saja tuh. Itu kan urusan masing-masing. Saya baru heboh, jika hubungan berpacaran itu justru mebikin sakit. Seperti teman perempuan saya yang dikibuli habis-habisan oleh pacarnya, hingga merobek pergelangan tangannya sendiri karena putus asa tempo hari.
Terkait dengan atribut beragama, saya pun sedang mencari rasionalisasinya. Terhitung dua kali, dalam blog saya dan tulisan ini, saya baru membuka prinsip yang saya pegang. Namun, Tuhan tentu bisa membalik hati saya menjadi ingin berpacaran, besok sore atau lusa. Jadi, jangan heran jika besok sore atau lusa, bisa jadi saya mengingkari prinsip sebelumnya.
Lebih lucu lagi, teman saya beda jurusan di SMK. Hingga sekarang dia memakai atribut beragama yang sama lengkapnya. Sampai pertengahan kuliah, dirinya gemar mengunggah tulisan yang barangkali juga menyakiti teman-temannya yang berpacaran. Seperti ejekan soal ‘barang bekas’ dan lainnya. Lucunya, menuju akhir kuliah, dirinya justru mengunggah tulisan soal harapannya dalam hubungan berpacaran. Ketika saya menggodanya, dia malah tersinggung dan berkata,”Pacaran kan bukan mesti kehilangan harga diri, Pop!”
Satu lagi cerita, dari pacar teman laki-laki satu fakultas saya. Perempuan ayu tersebut, dulunya merupakan penyanyi scream berbakat. Sudah rahasia umum jika dirinya berasal dari keluarga berkecukupan. Dalam sosial medianya, rajin dia unggah bagaimana atribut beragama yang benar bagi perempuan, tentu sebatas ilustrasi dan penghakiman tanpa analisis. Dia justru malah tersinggung dan tidak terbuka dalam dialog ketika saya menggodanya dalam unggahan tersebut. Padahal, sudah menjadi rahasisa umum jika si ayu ini, tidak dilibatkan dalam pergaulan pacarnya. Selama kuliah, dia sibuk mengikuti pacarnya kemana pun, sebisa mungkin hingga menjadi bahan pembicaraan banyak orang dan harga dirinya dipertanyakan.
Sebagai perempuan, saya juga turut terluka, ketika si ayu tersebut ternyata motor hingga kartu ATMnya turut menjadi hak milik si pacar. Soal ini, juga sudah menjadi rahasisa umum. Ketika pacarnya membaca buku-buku dan berdiskusi ini itu, si ayu terus menerus menunggu. Selain mencemburui perempuan yang jadi teman dialog pacarnya, tidak ada lagi hal yang dia lakukan. Hingga akhir kuliah, mereka terus bersama. Banyak teman menjadi saksi, bagaimana si pacar memiliki cukup bekal agama buat mengendalikan si ayu melalui berbagai atribut. Bukan sungguh-sungguh berbagi ilmu agama karena ingin jadi lebih baik!
Satu waktu, saya menggoda pacar si ayu dengan bilang begini,”Bro… tega kamu. Kamu ditungguin itu sama si ayu. Kapan mau kasih kepastian?”
Dan si pacar malah tertawa. Dia bilang,”Orang macam aku nggak bisa ditunggu, Pop…”
Saya selalu berharap cinta dan kasih antar sesama perempuan, juga saling menghormati, bukan menghakimi. Kami mestinya saling belajar, rangkul dan dukung. Betapa saya ingin muntah, berada dalam industri ‘mencintai dalam diam’. Industri sialan ini, tidak lebih dari penghancur persaudaraan sesama perempuan
Saya sungguh ingin semuanya berakhir cepat-cepat. Ah… tapi toh jika industri ‘mencintai dalam diam’ ini berakhir, akan tumbuh industri baru, yang barangkali lebih membikin perempuan saling cabik. Begitu bukan?

Poppy Trisnayanti Puspitasari, mahasiswi Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Negeri Malang. Arek Malang asli, yang gemar menulis hal-hal lucu di instagramnya @TrisnayantiP dan blognya, http://semangkaaaaa.blogspot.com

Saturday, July 22, 2017

Sonja dan Hobinya Foto Bareng Penulis Ternama



“Kamu suka sastra juga?” Tebak Sonja saat melihat Maria, teman sekelasnya itu membaca bukunya si penulis X.
“Ya… saya suka… suka sekali. Kamu juga?” Maria balik bertanya.
“Ya… saya pun. Wah… senang bisa sekelas dengan kamu. Mulai sekarang kalau ada acara sastra, kita berangkat bareng bagaimana?”
“Tentu. Saya akan sangat senang sekali. Oh, iya… namamu… Sonja, kan? Kita satu rombongan juga waktu Ospek.”
Semenjak saat itu, Sonja dan Maria terlihat selalu besama-sama hampir setiap hari.
***
“Mar… kamu fotokan saya dengan penulis X, ya? Nanti kita cegat depan pintu begitu.” Bisik Sonja selama workshop berlangsung.
“Oke, Nja… seperti biasanya akan saya fotokan.”
“Saya ingin sekali jadi penulis seperti si X itu.”
“Pun saya, Nja…”
***
Puluhan workshop dan talkshow berbayar maupaun tidak, dilewati Sonja dan Maria bersama-sama. Sonja tetap pada hobinya, berfoto dengan penulis ternama yang jadi pemateri, kemudian mengunggahnya ke sosial media. Maria tetap dengan telaten menuruti permintaan Sonja, menjadi tukang foto di tengah orang-orang yang saling berdesakan.
Obrolan mereka pun tetap sama, punya mimpi jadi penulis seperti si X, si Y, si A dan lainnya. Hingga pada satu titik, Maria mulai bertanya-tanya. Mengapa dia tidak mulai menulis saja? Mengapa dia melewatkan banyak waktu untuk workshop, talkshow dan kemudian workshop lagi dan talkshow lagi?
Maka, Maria berhenti. Dia tetap mengikuti workshop dan talkshow, namun makin berkurang intensitasnya. Sonja tetap dalam euforianya, berfoto dengan para penulis ternama. Dia juga tetap dalam utopianya, jadi penulis ternama suatu saat nanti. Hingga, Sonja tidak lagi sadar, Maria sudah tidak pernah lagi ada di sampingnya pada workshop mana pun.
***
“Maria! Kamu apa kabar? Sudah tiga tahun sejak sidang skripsi, kita tidak pernah jumpa sama sekali. Masih suka sastra?” Perempuan yang menepuk pundak Maria dengan keras itu, ternyata adalah Sonja.
“Nja! Ya… sudah lama sekali. Aku masih suka dengan sastra. Sesekali mencoba menulis. Kamu masih rajin ikut workhop dan talkshow agaknya, ya?”
“Ya… kamu ingat cita-citaku, kan? Cita-citaku masih tetap sama. Eh, omong-omong nanti tolong fotokan aku dengan mbak C ini, ya? Penulis muda yang lagi naik daun dia. Aku punya semua bukunya.” Tunjuk Sonja pada C yang tengah mengoceh di depan panggung.
Maria mengangguk, kemudian tersenyum tipis.
Setelah acara usai, Sonja berniat mendesak kerumunan dan berfoto dengan C. Namun, C justru menghampiri kursi tempat Sonja duduk.
“Kamu sudah lama di sini, Mar?” Sapa C pada Maria yang duduk semeja dengan Sonja.
“Saya telat 15 menit, Mbak.”
“Kawanmu?” tanya C sambil menunjuk Sonja.
“Ya… dia punya cita jadi penulis seperti mbak.”
“Oh, tidak usah jauh-jauh. Buku temanmu, si Maria ini, ludes terjual dalam tiga minggu. Terbitan indie, 150 eksemplar. Itu bukan perkara mudah, selama bertahun-tahun, Maria sudah belajar menulis dan menggaet pembaca sedemikian rupa.” Jelas C sambil memandangi Sonja.
“Oh, indie?” sorot mata Sonja nampak tidak terlalu antusias.
Maria buru-buru mengeluarkan kamera ponselnya.”Sonja ingin foto dengan mbak C, bukan?”
Sorot mata Sonja berubah antusias.
“Doakan saya jadi penulis besar seperti mbak C, ya?” ucap Sonja entah pada siapa, di tengah sesi foto. 
***
Maria memandangi kronologi sosial media Sonja. Isinya tetap sama, foto-foto Sonja dengan penulis ternama dalam workshop dan talkshow. Foto-foto itu makin banyak saja tiap harinya. Satu yang berubah, likes dan komentar berisi pujian yang disadari Maria, ternyata bertambah makin banyak sejak kali pertama mereka pergi workshop dan talkshow bersama.

Friday, July 21, 2017

Body Perception, The Real Monster

Sumber: @loveselfclubb

'They' make impossible standart for business. And then they will say,"No... your skin too black to be beauty. We have some products to make your skin better. Just blablabla $ for our products."

Poppy Trisnayanti Puspitasari

Tuesday, July 18, 2017

Ini Dia, Si Oportunis Kesayangan Saya

Bagaimana rasanya bisa bersahabat dengan si oportunis? Rasanya unik. Seperti satu teman saya ini. Saya bukan pembencinya dia, tapi bukan juga pecintanya.

Dia abu-abu, saya tahu. Dan abu-abu adalah hal paling manusiawi yang saya tahu sepanjang hidup.

Kata ibu saya, wajahnya paling pias di antara semua teman, saat saya sakit. Tapi, sepanjang saya tahu dia tidak akan pernah menghabiskan tenaga dan waktunya untuk memerjuangkan saya. Seluruh pikirannya berfokus dengan, bagaimana dia bertahan hidup dengan modal sesedikit mungkin, juga seberapa berguna orang lain yang tengah ada di hadapannya, untuk mencapai tujuan.

Di sisi lain, teman saya ini betul-betul tidak berani melukai saya. Tidak pernah dan mungkin tidak akan pernah, jika merunut insting saya. Dia betul-betul hati-hati.

Jika dirunut, saya ini ternyata salah satu dari sangat sedikit teman yang bisa berkomentar jujur tentang dia. Lewat sosial media, saya pernah dikenalkan pada satu teman perempuannya yang lain, yang katanya mirip dengan saya dan tinggalnya di luar kota. Sama-sama tukang koreksinya yang ulung.

Teman saya ini unik, saya sering dengar kabar dia melukai orang lain. Namun dia sendiri sangat takut dilukai orang. Dia memelihara teman-teman yang bisa jujur soal dirinya baik-baik. Meski juga, karena oportunis, dia juga tidak mau kelewat rugi dengan susah-susah menghabiskan waktu memerjuangkan teman-temannya ini. Ya... tapi buat orang semacam teman saya ini, tidak melukai saja sudah luar biasa.

Barangkali, pikir teman-teman yang lain saya ini pendukung si teman ini. Padahal, saya selalu menyediakan koreksi banyak-banyak buatnya. Kalaupun kami nampak nempel, itu karena dia tabah dikoreksi. Karena dalam hal-hal yang banyak orang dia dibilang melukai, dia sebetulnya juga sadar tengah melukai.

Bahkan, satu waktu pernah teman saya mengucap terimakasih. Ucapan saya 3 tahun lalu betulan terjadi, katanya. Saya lupa ucap apa, tapi teman saya ini bilang katanya saya beri peringatan padanya soal wataknya yang melukai tadi. Dan betul, dia kemudian ganti dilukai. Dia cuma cerita tersirat, sih... saya juga nggak ingin tahu detail apa masalah dia. Yang jelas, dia malah traktir saya mie ayam sebagai ucapan terimakasih katanya.

Kadang saya berpikir, apa mungkin jadi tukang koreksi baginya sudah dianggap sebuah keuntungan, dari pertemanan kami?

Ah, tapi untuk melanjutkan pikiran saya yang kesitu itu, saya kemudian ingat bagaimana ibu saya yang melihat ekspresi spontan teman saya ini waktu saya sakit.

Bagaimanapun, dia punya watak oportunis. Sadar jika dirinya melukai saja, sudah sangat luar biasa. Dan kesimpulannya, orang oportunis tidak akan punya waktu berjuang buat orang lain, sekalipun kamu betulan dianggap temannya. Cara mereka berteman memang unik, yaitu dengan berusaha tidak melukaimu, meski juga tidak akan memerjuangkan kamu.

Tapi kembali soal wajahnya yang pias saat saya sakit, kadang saya berpikir, jangan-jangan dia hanya cemas satu tukang kritiknya yang menguntungkan hilang.

Duh, oportunis...

Monday, July 17, 2017

Dear, Maria,"Tidak Ada Hati Patah Lagi, Hari Ini."

Coreted by: #GalerieDeWindha @wara_dinata

Kamu bisa mengendalikan pada siapa kamu akan jatuh cinta. Ini sungguhan. Saya sendiri dua kali patah. Tahu-tahu jatuh cinta saja begitu. Tahu-tahu kok ya sama si itu. Tahu-tahu kok ya, sama si anu. Keduanya memerlakukan saya sangat baik, sebagai teman. Tidak ada yang lebih. Saya patah, sekalian bahagia.

Semenjak itu, saya mulai terobsesi mengendalikan keadaan. Saya hanya ingin jatuh cinta, pada sesuatu yang memang memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, saya akan membuat itu jadi mungkin.

Saya betul melakukannya. Seperti sudah ahli, saya menyusun hidup orang lain yang saya ingin, dengan rapi dan alami, biar semuanya jadi mungkin. Saya betul tidak lagi pernah patah dan kecewa. Dengan susunan yang saya bikin itu, semua ada dalam kendali saya. Namun, saya ternyata tidak pernah siap bertanggung jawab atas apa yang sudah saya susun.

Maka saya berhenti.

Sunday, July 16, 2017

Like Me, He Loved Daniel Sahuleka



Our shoes.


First time when I was entered university. I met nice friend who older 2 years than me. He played well at guitar, real musicians. Like me, he loved Daniel Sahuleka and old songs.

With him, I can tell how deep I loved music. He saw how great I tell him about music and then he didn’t believe that I can’t sing or played music instrument.

He think that everyone who can tell well about music is always can sing or played music instrument like him. But I’m not hehe…


Wherever you are, I hope you have great day, Bro. Hari Sugiarto.