Saya tentu gemas, melihat postingan soal cinta
pada lawan jenis dalam diam, berseliweran di beranda sosial media. Pernah satu
waktu, saya goda teman yang mengunggah tulisan model begitu. Saya bilang padanya,”Kenapa
mesti cinta dalam diam?”
Dia jawab,”Kan kita ini perempuan, Pop…”
jawabnya.
“Mencintai dalam diam itu, semacam doa tanpa
usaha…” balas saya.
Nampaknya dia kemudian tersinggung dengan
bilang,”Terus? Sebagai perempuan kita mesti apa? Mesti bagaimana?”
Komentar saya pungkasi dengan sok tausiyah, di
mana doa dan usaha mestinya beriringan. Saya sedih bercampur geli melihat
seberapa banyak teman-teman perempuan saya, masuk dalam industri ‘mencintai
dalam diam’.
Si teman yang saya goda dalam kolom komentar
di sosial media itu pun, dulunya juga berpacaran meski sudah memakai atribut
beragama lengkap sejak dirinya masuk pondok. Lucunya, setelah putus buru-buru
dia berkoar soal prinsipnya yang anti berpacaran, baiknya mencintai dalam diam
dan betapa dia mencintai karena Tuhan. Tidak jarang, prinsip yang dia umumkan
cenderung menyerang dan menyalahkan pihak yang masih berpacaran. Loh… apa si
teman ini lupa dia dulu bagaimana, ya? Kok ya suka serang-serang orang?
Lain lagi dengan cerita kakak tingkat saya
semasa SMK. Hubungan saya renggang dengan si mbak tersebut, semenjak saya
berusaha mengajaknya membaca tulisan-tulisan analitis seputar agama. Dia
mengatakan bahwa saya telah membuatnya bingung. Di sosial media, mbak tersebut
makin getol mengumumkan ketaannya pada Tuhan dan bagaimana dia mencintai lawan
jenis dalam diam. Ketaatan yang dibahasnya pun sebatas atribut relijiusitas.
Sama seperti teman perempuan saya sebelumnya,
si mbak tersebut dulunya juga berpacaran bahkan dirinya dulu sama sekali tidak
menganakan atribut beragama. Pernah ketika dirinya saya ingatkan soal perayaan
kesalehan alias kelalaian manusia yang terlalu mengumumkan ketaannya pada
Tuhan, si mbak tersebut malah tersinggung dan bilang begini,”Ini sama dengan
kamu promosi terus tulisanmu, meski orang nggak paham dengan duniamu. Orang
bisa mengira kamu sombong loh.” Terakhir, dia justru meremove saya dari sosial medianya.
Maka, saya jadi makin tergelitik. Saya tidak
harap mbak tersebut memahami beda masalah ketuhanan dengan barang dagangan.
Tentu promosi tulisan yang saya lakukan, adalah untuk branding. Saya menarik orang-orang untuk mengunjungi blog saya,
yang barangkali bisa dijadikan penghasilan kelak.
Semakin hari, teman-teman perempuan di
sekeliling saya makin membingungkan. Kutipan-kutipan cengeng yang sesat pikir
juga makin banyak di sosial media. Kutipan jenis ini, juga rajin dibagikan oleh
dua teman perempuan saya di atas.
Bagaimana tidak sesat pikir? Tuhan katanya
maha tahu, namun kenapa cinta mereka pada Tuhan justru diumba-umbar?
Sebaliknya, manusia yang jenis kelaminnya lelaki itu seberapa sakti? Sehingga
bisa melihat dalam hati perempuan mana yang menyimpan perasaan. Bagaimana cinta
pada Tuhan yang mestinya disimpan, justru diumbar bahkan tidak jarang melukai
sesamanya perempuan. Dan bagimana cinta pada lawan jenis yang mesti
diiringi doa dan usaha, malah disimpan
rapat sebatas doa. Ah… betapa sekarang ini banyak santriwati produk sosial
media…
Disadari atau pura-pura tidak disadari. Para
perempuan pengikut kutipan agama ala sosial media, pada muaranya hanya akan
turut membeli atribut beragama, tiket seminar atau buku-buku agama seputaran
pernikahan dan lagi-lagi soal mencintai dalam diam, pada sosial media yang
mereka ikuti. Lucunya, mereka memang semangat jadi konsumen loh…
Bahkan seorang teman saya yang satu fakultas,
pernah saya tegur karena saya tidak nyaman dengan penghakimannya pada artikel
yang sengaja dikirimkannya di sosial media saya. Artikel tersebut, berisi
ketidakbenaran atribut beragama saya. Sedihnya, dia susah sekali diajak
berdialog. Padahal, sebagai sesama perempuan saya menghormati dirinya yang
mulai mengenakan berbagai atribut beragama. Saya juga tidak pernah berkomentar
soal dirinya yang berkoar-koar di sosial media mengenai anti berpacaran dan
bagaimana dia mencintai Tuhan. Ya… meski sebelumnya dia juga berpacaran dan
galau hebat ketika ditinggal mantannya. Harapan untuk saling menghormati justru
pupus dari caranya menghakimi.
Teman saya tersebut, bahkan tidak mengetahui bagaimana
saya memutuskan tidak berpacaran semenjak jaman ABG. Sebelum ini, saya
menutupnya rapat. Hanya teman terdekat yang mengetahuinya. Hingga sekarang,
saya tidak pernah berpacaran sama sekali. Alasannya? Saya menemukan
rasionalisinya dalam dalil agama dan itu menguatkan selama menahun. Namun,
melihat orang berpacaran, saya biasa saja tuh. Itu kan urusan masing-masing. Saya
baru heboh, jika hubungan berpacaran itu justru mebikin sakit. Seperti teman
perempuan saya yang dikibuli habis-habisan oleh pacarnya, hingga merobek pergelangan
tangannya sendiri karena putus asa tempo hari.
Terkait dengan atribut beragama, saya pun
sedang mencari rasionalisasinya. Terhitung dua kali, dalam blog saya dan
tulisan ini, saya baru membuka prinsip yang saya pegang. Namun, Tuhan tentu
bisa membalik hati saya menjadi ingin berpacaran, besok sore atau lusa. Jadi,
jangan heran jika besok sore atau lusa, bisa jadi saya mengingkari prinsip
sebelumnya.
Lebih lucu lagi, teman saya beda jurusan di
SMK. Hingga sekarang dia memakai atribut beragama yang sama lengkapnya. Sampai
pertengahan kuliah, dirinya gemar mengunggah tulisan yang barangkali juga
menyakiti teman-temannya yang berpacaran. Seperti ejekan soal ‘barang bekas’
dan lainnya. Lucunya, menuju akhir kuliah, dirinya justru mengunggah tulisan
soal harapannya dalam hubungan berpacaran. Ketika saya menggodanya, dia malah
tersinggung dan berkata,”Pacaran kan bukan mesti kehilangan harga diri, Pop!”
Satu lagi cerita, dari pacar teman laki-laki
satu fakultas saya. Perempuan ayu tersebut, dulunya merupakan penyanyi scream
berbakat. Sudah rahasia umum jika dirinya berasal dari keluarga berkecukupan.
Dalam sosial medianya, rajin dia unggah bagaimana atribut beragama yang benar
bagi perempuan, tentu sebatas ilustrasi dan penghakiman tanpa analisis. Dia
justru malah tersinggung dan tidak terbuka dalam dialog ketika saya menggodanya
dalam unggahan tersebut. Padahal, sudah menjadi rahasisa umum jika si ayu ini,
tidak dilibatkan dalam pergaulan pacarnya. Selama kuliah, dia sibuk mengikuti
pacarnya kemana pun, sebisa mungkin hingga menjadi bahan pembicaraan banyak
orang dan harga dirinya dipertanyakan.
Sebagai perempuan, saya juga turut terluka,
ketika si ayu tersebut ternyata motor hingga kartu ATMnya turut menjadi hak
milik si pacar. Soal ini, juga sudah menjadi rahasisa umum. Ketika pacarnya
membaca buku-buku dan berdiskusi ini itu, si ayu terus menerus menunggu. Selain
mencemburui perempuan yang jadi teman dialog pacarnya, tidak ada lagi hal yang
dia lakukan. Hingga akhir kuliah, mereka terus bersama. Banyak teman menjadi
saksi, bagaimana si pacar memiliki cukup bekal agama buat mengendalikan si ayu
melalui berbagai atribut. Bukan sungguh-sungguh berbagi ilmu agama karena ingin
jadi lebih baik!
Satu waktu, saya menggoda pacar si ayu dengan
bilang begini,”Bro… tega kamu. Kamu ditungguin itu sama si ayu. Kapan mau kasih
kepastian?”
Dan si pacar malah tertawa. Dia bilang,”Orang
macam aku nggak bisa ditunggu, Pop…”
Saya selalu berharap cinta dan kasih antar
sesama perempuan, juga saling menghormati, bukan menghakimi. Kami mestinya
saling belajar, rangkul dan dukung. Betapa saya ingin muntah, berada dalam industri
‘mencintai dalam diam’. Industri sialan ini, tidak lebih dari penghancur
persaudaraan sesama perempuan
Saya sungguh ingin semuanya berakhir
cepat-cepat. Ah… tapi toh jika industri ‘mencintai dalam diam’ ini berakhir,
akan tumbuh industri baru, yang barangkali lebih membikin perempuan saling
cabik. Begitu bukan?
Poppy
Trisnayanti Puspitasari, mahasiswi
Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Negeri Malang. Arek Malang asli, yang
gemar menulis hal-hal lucu di instagramnya @TrisnayantiP dan blognya, http://semangkaaaaa.blogspot.com