Wednesday, July 26, 2017

Selamat Datang, di Industri ‘Mencintai Dalam Diam’

Dimuat dan dapat dibaca di magdalene.co
 
Ilustrasi dari magdalene.co
Saya tentu gemas, melihat postingan soal cinta pada lawan jenis dalam diam, berseliweran di beranda sosial media. Pernah satu waktu, saya goda teman yang mengunggah tulisan model begitu. Saya bilang padanya,”Kenapa mesti cinta dalam diam?”
Dia jawab,”Kan kita ini perempuan, Pop…” jawabnya.
“Mencintai dalam diam itu, semacam doa tanpa usaha…” balas saya.
Nampaknya dia kemudian tersinggung dengan bilang,”Terus? Sebagai perempuan kita mesti apa? Mesti bagaimana?”
Komentar saya pungkasi dengan sok tausiyah, di mana doa dan usaha mestinya beriringan. Saya sedih bercampur geli melihat seberapa banyak teman-teman perempuan saya, masuk dalam industri ‘mencintai dalam diam’.
Si teman yang saya goda dalam kolom komentar di sosial media itu pun, dulunya juga berpacaran meski sudah memakai atribut beragama lengkap sejak dirinya masuk pondok. Lucunya, setelah putus buru-buru dia berkoar soal prinsipnya yang anti berpacaran, baiknya mencintai dalam diam dan betapa dia mencintai karena Tuhan. Tidak jarang, prinsip yang dia umumkan cenderung menyerang dan menyalahkan pihak yang masih berpacaran. Loh… apa si teman ini lupa dia dulu bagaimana, ya? Kok ya suka serang-serang orang?
Lain lagi dengan cerita kakak tingkat saya semasa SMK. Hubungan saya renggang dengan si mbak tersebut, semenjak saya berusaha mengajaknya membaca tulisan-tulisan analitis seputar agama. Dia mengatakan bahwa saya telah membuatnya bingung. Di sosial media, mbak tersebut makin getol mengumumkan ketaannya pada Tuhan dan bagaimana dia mencintai lawan jenis dalam diam. Ketaatan yang dibahasnya pun sebatas atribut relijiusitas.
Sama seperti teman perempuan saya sebelumnya, si mbak tersebut dulunya juga berpacaran bahkan dirinya dulu sama sekali tidak menganakan atribut beragama. Pernah ketika dirinya saya ingatkan soal perayaan kesalehan alias kelalaian manusia yang terlalu mengumumkan ketaannya pada Tuhan, si mbak tersebut malah tersinggung dan bilang begini,”Ini sama dengan kamu promosi terus tulisanmu, meski orang nggak paham dengan duniamu. Orang bisa mengira kamu sombong loh.” Terakhir, dia justru meremove saya dari sosial medianya.
Maka, saya jadi makin tergelitik. Saya tidak harap mbak tersebut memahami beda masalah ketuhanan dengan barang dagangan. Tentu promosi tulisan yang saya lakukan, adalah untuk branding. Saya menarik orang-orang untuk mengunjungi blog saya, yang barangkali bisa dijadikan penghasilan kelak.
Semakin hari, teman-teman perempuan di sekeliling saya makin membingungkan. Kutipan-kutipan cengeng yang sesat pikir juga makin banyak di sosial media. Kutipan jenis ini, juga rajin dibagikan oleh dua teman perempuan saya di atas.
Bagaimana tidak sesat pikir? Tuhan katanya maha tahu, namun kenapa cinta mereka pada Tuhan justru diumba-umbar? Sebaliknya, manusia yang jenis kelaminnya lelaki itu seberapa sakti? Sehingga bisa melihat dalam hati perempuan mana yang menyimpan perasaan. Bagaimana cinta pada Tuhan yang mestinya disimpan, justru diumbar bahkan tidak jarang melukai sesamanya perempuan. Dan bagimana cinta pada lawan jenis yang mesti diiringi  doa dan usaha, malah disimpan rapat sebatas doa. Ah… betapa sekarang ini banyak santriwati produk sosial media…
Disadari atau pura-pura tidak disadari. Para perempuan pengikut kutipan agama ala sosial media, pada muaranya hanya akan turut membeli atribut beragama, tiket seminar atau buku-buku agama seputaran pernikahan dan lagi-lagi soal mencintai dalam diam, pada sosial media yang mereka ikuti. Lucunya, mereka memang semangat jadi konsumen loh…
Bahkan seorang teman saya yang satu fakultas, pernah saya tegur karena saya tidak nyaman dengan penghakimannya pada artikel yang sengaja dikirimkannya di sosial media saya. Artikel tersebut, berisi ketidakbenaran atribut beragama saya. Sedihnya, dia susah sekali diajak berdialog. Padahal, sebagai sesama perempuan saya menghormati dirinya yang mulai mengenakan berbagai atribut beragama. Saya juga tidak pernah berkomentar soal dirinya yang berkoar-koar di sosial media mengenai anti berpacaran dan bagaimana dia mencintai Tuhan. Ya… meski sebelumnya dia juga berpacaran dan galau hebat ketika ditinggal mantannya. Harapan untuk saling menghormati justru pupus dari caranya menghakimi.
Teman saya tersebut, bahkan tidak mengetahui bagaimana saya memutuskan tidak berpacaran semenjak jaman ABG. Sebelum ini, saya menutupnya rapat. Hanya teman terdekat yang mengetahuinya. Hingga sekarang, saya tidak pernah berpacaran sama sekali. Alasannya? Saya menemukan rasionalisinya dalam dalil agama dan itu menguatkan selama menahun. Namun, melihat orang berpacaran, saya biasa saja tuh. Itu kan urusan masing-masing. Saya baru heboh, jika hubungan berpacaran itu justru mebikin sakit. Seperti teman perempuan saya yang dikibuli habis-habisan oleh pacarnya, hingga merobek pergelangan tangannya sendiri karena putus asa tempo hari.
Terkait dengan atribut beragama, saya pun sedang mencari rasionalisasinya. Terhitung dua kali, dalam blog saya dan tulisan ini, saya baru membuka prinsip yang saya pegang. Namun, Tuhan tentu bisa membalik hati saya menjadi ingin berpacaran, besok sore atau lusa. Jadi, jangan heran jika besok sore atau lusa, bisa jadi saya mengingkari prinsip sebelumnya.
Lebih lucu lagi, teman saya beda jurusan di SMK. Hingga sekarang dia memakai atribut beragama yang sama lengkapnya. Sampai pertengahan kuliah, dirinya gemar mengunggah tulisan yang barangkali juga menyakiti teman-temannya yang berpacaran. Seperti ejekan soal ‘barang bekas’ dan lainnya. Lucunya, menuju akhir kuliah, dirinya justru mengunggah tulisan soal harapannya dalam hubungan berpacaran. Ketika saya menggodanya, dia malah tersinggung dan berkata,”Pacaran kan bukan mesti kehilangan harga diri, Pop!”
Satu lagi cerita, dari pacar teman laki-laki satu fakultas saya. Perempuan ayu tersebut, dulunya merupakan penyanyi scream berbakat. Sudah rahasia umum jika dirinya berasal dari keluarga berkecukupan. Dalam sosial medianya, rajin dia unggah bagaimana atribut beragama yang benar bagi perempuan, tentu sebatas ilustrasi dan penghakiman tanpa analisis. Dia justru malah tersinggung dan tidak terbuka dalam dialog ketika saya menggodanya dalam unggahan tersebut. Padahal, sudah menjadi rahasisa umum jika si ayu ini, tidak dilibatkan dalam pergaulan pacarnya. Selama kuliah, dia sibuk mengikuti pacarnya kemana pun, sebisa mungkin hingga menjadi bahan pembicaraan banyak orang dan harga dirinya dipertanyakan.
Sebagai perempuan, saya juga turut terluka, ketika si ayu tersebut ternyata motor hingga kartu ATMnya turut menjadi hak milik si pacar. Soal ini, juga sudah menjadi rahasisa umum. Ketika pacarnya membaca buku-buku dan berdiskusi ini itu, si ayu terus menerus menunggu. Selain mencemburui perempuan yang jadi teman dialog pacarnya, tidak ada lagi hal yang dia lakukan. Hingga akhir kuliah, mereka terus bersama. Banyak teman menjadi saksi, bagaimana si pacar memiliki cukup bekal agama buat mengendalikan si ayu melalui berbagai atribut. Bukan sungguh-sungguh berbagi ilmu agama karena ingin jadi lebih baik!
Satu waktu, saya menggoda pacar si ayu dengan bilang begini,”Bro… tega kamu. Kamu ditungguin itu sama si ayu. Kapan mau kasih kepastian?”
Dan si pacar malah tertawa. Dia bilang,”Orang macam aku nggak bisa ditunggu, Pop…”
Saya selalu berharap cinta dan kasih antar sesama perempuan, juga saling menghormati, bukan menghakimi. Kami mestinya saling belajar, rangkul dan dukung. Betapa saya ingin muntah, berada dalam industri ‘mencintai dalam diam’. Industri sialan ini, tidak lebih dari penghancur persaudaraan sesama perempuan
Saya sungguh ingin semuanya berakhir cepat-cepat. Ah… tapi toh jika industri ‘mencintai dalam diam’ ini berakhir, akan tumbuh industri baru, yang barangkali lebih membikin perempuan saling cabik. Begitu bukan?

Poppy Trisnayanti Puspitasari, mahasiswi Pendidikan Luar Sekolah, Universitas Negeri Malang. Arek Malang asli, yang gemar menulis hal-hal lucu di instagramnya @TrisnayantiP dan blognya, http://semangkaaaaa.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!