Sumber: Gugel |
Teman saya satu fakultas, Iwed,
dua hari lalu menceritakan pengalaman buruknya dengan seorang teman kos. Si
teman ini menegur siapa saja anak kos yang keluar tanpa jilbab, di depan umum.
Lebih jauh ia memarahi, bukan hanya menegur.
Iwed tentu saja pernah kena.
Ia kala itu membeli gorengan di depan kos, tanpa jilbab. Meski sekali lagi, dia
bukan satu-satunya. Hingga entah bagaimana warga satu kos akhirnya tahu si ia
ini punya foto ciuman dengan pacarnya, juga foto tidak berjilbab di tempat umum.
Semua heboh dan hilang respek.
Kehebohan dan hilang respek itu
berakhir dengan kalimat,”Kenapa sebagai sesama pendosa saling menghakimi?”
Namun saya justru
menggarisbawahi bahwa teman Iwed sesungguhnya adalah korban. Tapi bagaimana
bisa?
2019 lalu, Celine mengobrol
dengan saya soal temannya yang suka sekali berkomentar bahwa baju teman kami
yang lain tidak sopan. Si teman lain ini adalah mbak-mbak berusia lebih tua,
sama pintar dan produktif juga seperti yang berkomentar itu.
Sempat membatin sih saya, ini
jangan-jangan yang memang nggak bermoral saya dan Celine. Jadinya waktu mbak
tersebut pakai rok selutut dan baju tanpa lengan, ya menurut kami biasa saja. Meski
teman-teman lain ternyata juga berpendapat sejenis tentang mbak tersebut. T...
Tunggu, jangan-jangan moral kami yang bobrok berjamaah?
Padahal, Celine bilang banyak
saksi soal temannya itu bertukar lidah dan permen dengan laki-laki di sembarang tempat tanpa peduli kenyamanan
orang yang tidak punya kaitan dan ada di sekitarnya. Siapapun yang membaca
tulisan ini barangkali akan membatin, dia aja begitu, terus kenapa pakai
ngomen pakaian perempuan lain?
Komentar soal baju teman lain
yang tidak sopan itu terus didengar Celine selagi masih diberi keakraban palsu
dan dieksploitasi sepanjang 2018. Sedang setahun sebelumnya, teman Celine itu
masih getol mendekati dan hendak mengeksploitasi saya. Ia saya ingat, sepanjang
2017 juga memberi komentar yang bertema moral tentang teman perempuan kami yang
namanya Tiara...
Di depan saya, teman Celine
kala itu mengomentari Tiara yang punya hubungan terbuka dengan pacarnya.
Artinya, mereka berpacaran namun sama bebas berhubungan seksual dengan orang
lain.
Mundur lagi setahun
sebelumnya, 2016, si Tiara ini pernah juga mengomentari teman kami yang suka
menulis fiksi bertema keperawanan. Ia terang-terangan penasaran apa si penulis
betul mengalami yang katanya kehilangan keperawanan. Masih dengan
terang-terangan, ia mengaku sedang mencari tahu. Ini belum soal si penulis itu ia
katakan suntik putih setelah putus dengan pacarnya dan berubah jadi stylish sekali.
Tiara agaknya curiga, si
penulis kehilangan sesuatu setelah berpacaran dengan lelaki yang waktu itu.
Jadi setelahnya, si penulis dinilai Tiara move up habis-habisan.
Oh, tidak. Teman Celine dan Tiara
bukan orang-orang tanpa akses belajar. Mereka justru kenal feminisme jauh
sebelum saya. Malah temannya Celine yang meminjamkan buku soal feminisme dan Tiara
yang memperkenalkan komunitas feminis kepada saya.
Tapi bagaimana bisa
orang-orang yang memiliki akses pengetahuan soal feminisme justru menggunakan
isu ketubuhan sesamanya untuk menjatuhkan?
Diakui atau tidak, teman Celine
maupun Tiara adalah korban sekaligus pelaku patriarki. Secara teori mereka
paham bahwa cara berpakaian, pula keperawanan dalam artian ‘utuhnya’ selaput
dara, tidak boleh jadi indikator menilai moral seorang perempuan.
Kalau kamu tanya mereka
tentang dua teori tadi, mereka akan menjawab lebih dari jelas soal kebiasaan
menilai moral perempuan dari pakaian, bisa berujung kekerasan. Juga tidak semua
perempuan terlahir dengan selaput dara...
Baik temannya Celine maupun Tiara,
sesungguhnya kecewa dan tidak siap akan pilihan tentang ketubuhan mereka. Tubuh
mereka menyenangi pilihan itu namun mental mereka sanksi. Meski mengetahui
teorinya, mental mereka masih meyakini perempuan yang kontak fisik sebelum
menikah artinya sudah tidak utuh sebagai manusia. Sebetulnya narasi ini jelas
kita semua terima sepanjang hidup, semenjak kali pertama bisa mendengar.
Bertebaran pula di keluarga, kerabat hingga masyarakat.
Teman Celine maupun Tiara,
adalah korban narasi demikian hingga setelah keputusan atas ketubuhannya,
mereka merasa tidak lagi utuh sebagai manusia meski sayangnya... Mereka pun
kemudian menjadi pelaku. Kedua perempuan ini menutupi rasa tidak utuh atas
tubuhnya dengan mempermasalahkan perempuan lain. Yang demikian tentu tidak
mengobati, meredam sementara saja iya.
Jadi apakah teman satu kosnya Iwed
mengalami hal serupa? Bisa jadi. Selama itu, ia menutupi rasa tidak utuh atas
tubuhnya dengan mempermasalahkan perempuan lain. Dan ya... Mereka semua yang
ada di kos itu menjadi korbannya.
Sekarang pertanyaan kembali
kepada kita. Jika menyoal ketubuhan kita semua ternyata korban patriarki,
akankah kita juga menjadi pelaku? Keputusan apa yang akan kita ambil terhadap
tubuh masing-masing? Dan kesiapan seperti apa yang menyertai?
Catatan: sambil nunggu laptop bener, saya unggah tulisan-tulisan yang diketik lewat ponsel. Seluruh nama telah disamarkan.
Edit Rabu, 30 Februari 2021.
Ada nama-nama yang saya sebut ternyata bersikap abu-abu dan pura-pura tidak tahu ketika ada kasus kekerasan seksual (KS). Untukmu yang terlanjur terpantik membaca nama mereka sebelum diganti jadi alias, saya mohon maaf. Tulisan ini juga tidak akan dihapus karena sebagai pengingat.
Dengan ini saya menyatakan, selanjutnya tidak akan mendukung karya orang yang terlanjur disebut dalam bentuk apapun.
No comments:
Post a Comment
Terimakasih sudah merekam jejakmu!