Wednesday, February 3, 2021

Perayaan Moral

 

Sumber: Gugel


Teman saya satu fakultas, Iwed, dua hari lalu menceritakan pengalaman buruknya dengan seorang teman kos. Si teman ini menegur siapa saja anak kos yang keluar tanpa jilbab, di depan umum. Lebih jauh ia memarahi, bukan hanya menegur.

Iwed tentu saja pernah kena. Ia kala itu membeli gorengan di depan kos, tanpa jilbab. Meski sekali lagi, dia bukan satu-satunya. Hingga entah bagaimana warga satu kos akhirnya tahu si ia ini punya foto ciuman dengan pacarnya, juga foto tidak berjilbab di tempat umum. Semua heboh dan hilang respek.

Kehebohan dan hilang respek itu berakhir dengan kalimat,”Kenapa sebagai sesama pendosa saling menghakimi?”

Namun saya justru menggarisbawahi bahwa teman Iwed sesungguhnya adalah korban. Tapi bagaimana bisa?

2019 lalu, Celine mengobrol dengan saya soal temannya yang suka sekali berkomentar bahwa baju teman kami yang lain tidak sopan. Si teman lain ini adalah mbak-mbak berusia lebih tua, sama pintar dan produktif juga seperti yang berkomentar itu.

Sempat membatin sih saya, ini jangan-jangan yang memang nggak bermoral saya dan Celine. Jadinya waktu mbak tersebut pakai rok selutut dan baju tanpa lengan, ya menurut kami biasa saja. Meski teman-teman lain ternyata juga berpendapat sejenis tentang mbak tersebut. T... Tunggu, jangan-jangan moral kami yang bobrok berjamaah?

Padahal, Celine bilang banyak saksi soal temannya itu bertukar lidah dan permen dengan laki-laki di sembarang tempat tanpa peduli kenyamanan orang yang tidak punya kaitan dan ada di sekitarnya. Siapapun yang membaca tulisan ini barangkali akan membatin, dia aja begitu, terus kenapa pakai ngomen pakaian perempuan lain?

Komentar soal baju teman lain yang tidak sopan itu terus didengar Celine selagi masih diberi keakraban palsu dan dieksploitasi sepanjang 2018. Sedang setahun sebelumnya, teman Celine itu masih getol mendekati dan hendak mengeksploitasi saya. Ia saya ingat, sepanjang 2017 juga memberi komentar yang bertema moral tentang teman perempuan kami yang namanya Tiara...

Di depan saya, teman Celine kala itu mengomentari Tiara yang punya hubungan terbuka dengan pacarnya. Artinya, mereka berpacaran namun sama bebas berhubungan seksual dengan orang lain.

Mundur lagi setahun sebelumnya, 2016, si Tiara ini pernah juga mengomentari teman kami yang suka menulis fiksi bertema keperawanan. Ia terang-terangan penasaran apa si penulis betul mengalami yang katanya kehilangan keperawanan. Masih dengan terang-terangan, ia mengaku sedang mencari tahu. Ini belum soal si penulis itu ia katakan suntik putih setelah putus dengan pacarnya dan berubah jadi stylish sekali.

Tiara agaknya curiga, si penulis kehilangan sesuatu setelah berpacaran dengan lelaki yang waktu itu. Jadi setelahnya, si penulis dinilai Tiara move up habis-habisan.

Oh, tidak. Teman Celine dan Tiara bukan orang-orang tanpa akses belajar. Mereka justru kenal feminisme jauh sebelum saya. Malah temannya Celine yang meminjamkan buku soal feminisme dan Tiara yang memperkenalkan komunitas feminis kepada saya.

Tapi bagaimana bisa orang-orang yang memiliki akses pengetahuan soal feminisme justru menggunakan isu ketubuhan sesamanya untuk menjatuhkan?

Diakui atau tidak, teman Celine maupun Tiara adalah korban sekaligus pelaku patriarki. Secara teori mereka paham bahwa cara berpakaian, pula keperawanan dalam artian ‘utuhnya’ selaput dara, tidak boleh jadi indikator menilai moral seorang perempuan.

Kalau kamu tanya mereka tentang dua teori tadi, mereka akan menjawab lebih dari jelas soal kebiasaan menilai moral perempuan dari pakaian, bisa berujung kekerasan. Juga tidak semua perempuan terlahir dengan selaput dara...

Baik temannya Celine maupun Tiara, sesungguhnya kecewa dan tidak siap akan pilihan tentang ketubuhan mereka. Tubuh mereka menyenangi pilihan itu namun mental mereka sanksi. Meski mengetahui teorinya, mental mereka masih meyakini perempuan yang kontak fisik sebelum menikah artinya sudah tidak utuh sebagai manusia. Sebetulnya narasi ini jelas kita semua terima sepanjang hidup, semenjak kali pertama bisa mendengar. Bertebaran pula di keluarga, kerabat hingga masyarakat.

Teman Celine maupun Tiara, adalah korban narasi demikian hingga setelah keputusan atas ketubuhannya, mereka merasa tidak lagi utuh sebagai manusia meski sayangnya... Mereka pun kemudian menjadi pelaku. Kedua perempuan ini menutupi rasa tidak utuh atas tubuhnya dengan mempermasalahkan perempuan lain. Yang demikian tentu tidak mengobati, meredam sementara saja iya.

Jadi apakah teman satu kosnya Iwed mengalami hal serupa? Bisa jadi. Selama itu, ia menutupi rasa tidak utuh atas tubuhnya dengan mempermasalahkan perempuan lain. Dan ya... Mereka semua yang ada di kos itu menjadi korbannya.

Sekarang pertanyaan kembali kepada kita. Jika menyoal ketubuhan kita semua ternyata korban patriarki, akankah kita juga menjadi pelaku? Keputusan apa yang akan kita ambil terhadap tubuh masing-masing? Dan kesiapan seperti apa yang menyertai?

Catatan: sambil nunggu laptop bener, saya unggah tulisan-tulisan yang diketik lewat ponsel. Seluruh nama telah disamarkan.

Edit Rabu, 30 Februari 2021.

Ada nama-nama yang saya sebut ternyata bersikap abu-abu dan pura-pura tidak tahu ketika ada kasus kekerasan seksual (KS). Untukmu yang terlanjur terpantik membaca nama mereka sebelum diganti jadi alias, saya mohon maaf. Tulisan ini juga tidak akan dihapus karena sebagai pengingat.

Dengan ini saya menyatakan, selanjutnya tidak akan mendukung karya orang yang terlanjur disebut dalam bentuk apapun.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!