Saturday, December 9, 2023

Love Birds

Sumber: dokumentasi pribadi. Ngepas lagi makan bareng Dai Firda.

Gadis itu menunjuk mereka satu per satu.

"Yang itu bestie." Tunjuknya pada meja pertama.

Meja pertama berisi lima orang. Tiga perempuan dan dua laki-laki. Mereka memakai baju dominan hitam putih, seperti mahasiswa kelar ujian. Kelimanya memesan minuman beda warna sambil tertawa-tawa seolah baru saja meletakkan beban besar.

"Yang itu bromance." Tunjuknya pada meja kedua.

Meja kedua berisi dua laki-laki berjaket parasut. Lelaki pertama berambut sebahu, sedang satunya punya kepala plontos. Mereka saling menepuk pundak beberapa kali, terbahak-bahak sambil menggeser layar tablet di hadapan. Dari jauh terlihat foto-foto perempuan. Mereka berdua sibuk menggeser layar ke kiri atau ke kanan. Agaknya, mereka sedang bermain aplikasi kencan.

"Yang itu love birds." Tunjuknya pada meja ketiga.

Meja ketiga berisi satu lelaki dan perempuan. Mereka duduk berdempetan, rutin saling pandang. Malu-malu, ada rona di pipi seperti tidak rela saling berjauhan. Dua piring kentang goreng mereka abaikan di meja. Dua gelas teh tarik punya nasib serupa.

"Hubungan yang saling itu kayaknya asyik ya?" Tanyanya sambil melihat meja ketiga, pasangan yang disebutnya love birds.

Kamu menggeleng. Katamu, kamu tidak tahu rasanya hubungan yang saling. Bahkan bagaimana pun gadis itu membalut lukamu saat menabrak pick up yang berhenti mendadak, membawakan makanan favoritmu dan memberimu semangat berkarir meski teman kerjamu menyebalkan setengah mati, kamu tetap tidak mampu mau...

...mencintainya.


Masukan:

Rutin saya mengunggah tulisan yang belum rilis di blog lewat story Instagram (meski sekarang hanya punya Instagram khusus DM) dan status WA. Tujuannya biasanya untuk terima saran teman sekitar lebih dahulu. 

Untuk fiksi mini ini, saran dari Dyhliz (Billy Kobra) sebetulnya bagus diakhiri pada paragraf ke tujuh. Jadi semacam cerita perbandingan kondisi begitu. Kalau menurutmu?

Sunday, November 5, 2023

Uang Karma

 

Sumber: Gugel

Iwul memanggil saya. Ia duduk di sebelah teman sekelas kami yang menangis tergugu di sudut kelas. Ekonomi si teman ini katanya lagi hancur-hancuran dan dengan tatapan memohon, Iwul minta saya meminjamkan uang dua puluh ribu untuk si teman tadi.

Si Iwul sendiri sahabat baik saya sejak kelas sepuluh. Dia juga suka membersihkan mushola sekolah dengan sukarela dan punya uang saku seribu saja sehari. Ibunya buruh dan bapaknya kerja serabutan. Rumah dia ada di pinggir rel kereta api dan... Teman yang dia bersimpati betul itu bahkan nggak lagi mau akrab dengannya.

Saya pun merogoh uang yang ada di saku rok. Ada dua puluh ribu sebetulnya, hasil menyisihkan uang berhari-hari namun hanya saya bagi sepuluh ribu. Sebetulnya jika bukan karena Iwul, saya pasti berpikir uang itu dipakai membantu teman yang lain saja. Soalnya, si teman yang Iwul mohon dipinjamkan uang tadi menyapa saya pun hampir nggak pernah. 

Iya... Iya... Hati saya nggak semulia kamu yang berpikir semua orang pasti baik dan membantu tanpa hitung-hitung hubungan personal. Toh pada akhirnya, uang itu diterima si teman ini tanpa ucapan terimakasih. Yang mengucap terimakasih justru Iwul, berkali-kali.

Uang yang sudah saya niatkan dalam hati nggak perlu diganti itu pun terjawab siang hari. Saya pergi ke tempat kerja ayah sepulang sekolah dan bosnya seorang cina yang dikenal dermawan, memberi uang saku. Jumlahnya? Dua puluh ribu. Dua kali lipat dari uang yang saya beri pada si teman tadi.

“Tuhan melipatgandakan ganjaran...” kalimat demikian seolah terdengar, meski saya lupa dari guru agama semasa SD, SMP atau SMK.

Bos ayah berlalu dan saya melihat punggungnya dari belakang. Beberapa kali saya pandangi uang dua puluh ribu yang di masa itu memang cukup banyak.

“Tahu gitu, aku tadi pinjami dia dua puluh ribu...” batin saya.


Tanggal dan jam unggah mencatut tanggal dan jam lahirnya Diyah.

Thursday, October 5, 2023

Spontan


Jepreted by Neny Adamuka

Raisa, awal tiga puluh, baru ingat pernah menyelesaikan kuliah di salah satu universitas di jawa timur. Pernah didiagnosa OCD dan kali ini pergi ke Malang bersama suami dan anaknya yang berusia dua tahun.

"Nggak apa-apa, apa adanya aja sisa file diupload." Ucap ketua jurusan setelah mendengar cerita pernikahan dan kehilangan file skripsi meski tetap dengan status sudah lulusnya.

Mertuanya memberi saran jadi ASN saja, sedang hari itu anak kedua dan suaminya sedang keliling Malang naik mobil berdua. Pegawai administrasi tersenyum saja mendengar ceritanya yang menjadi ibu beranak dua, sudah lulus dan baru saja mengambil ijazah.

Petugas administrasi memberikan nomornya buat disimpan. Raisa duduk di bangku seberang loket dengan angan-angan baiknya mememberi kenang-kenangan apa untuk pegawai yang dengan telaten sudah memandunya mengambil ijazah itu.

Neny, akhir dua puluhan, membiarkan kereta pertama yang datang terlewat. Tangga arah naik penuh dengan manusia namun ia masih sempat mengeluarkan ponsel dari sakunya, mengetik tips mindfullness bagi pengguna kereta. Tidak perlu buru-buru dan rakus salah satunya. Kereta berikutnya membawanya ke gerbong perempuan.

Seorang petugas berkata naik saja dulu, pada perempuan hamil yang bertanya apa masih ada ruang di gerbong perempuan. Selanjutnya bukan dengan suara lantang, lelaki itu bilang,"Permisi ibu hamil," berharap para perempuan lain dengan kesadaran sendiri berdiri lantas memberi kursi.

Setelah Neny berteriak cukup lantang, langsung tunjuk saja, Pak! merujuk harapan petugas langsung memilih calon pemberi kursi, seorang perempuan muda nyatanya berdiri, tanpa ditunjuk. Kursi ia berikan pada perempuan hamil itu.

Indayu, setengah abad, sedang semangat sekali bicara di meja warung kopi. Empat atau lima teman di meja yang sama memperhatikannya bicara. Tegas, meluap dan penuh pesona. Komentar soal idenya disahut dua orang teman dan di akhir, seorang laki-laki seumurannya berdiri dari meja seberang, menyerahkan sebuah sketsa berisi wajahnya.

"Saya suka cara Mbak bicara." Lelaki itu bilang.

Rekan-rekan semeja turut berkata wah. Salah satu berinisiatif mengambil foto Indayu dan laki-laki yang entah siapa namanya itu. Sebuah novel disorongkan gadis itu pada si lelaki. Novel karyanya yang terbit lewat jalur indie. Yang sayang sekali digarap sekenanya oleh salah satu kru penerbit dengan antar kalimat bergandeng tanpa spasi.

Sekarang di tempat mereka masing-masing berada, sinar matahari sedang serentak tenggelam. Sebagian langit berwarna oranye pudar.


Untuk Raisa Izzhaty, Neny Agustina Adamuka dan Indayu Sri Mulyani.

Separuhnya cerita nyata.


Tanggal dan jam unggah mencatut tanggal dan jam lahirnya Arma.

Monday, September 18, 2023

Asuh


Tante dan ibu. Sumber: dokumentasi pribadi yang dijepred oleh tukang foto keliling.


Ibu punya kepribadian lebih terbuka, senang bergaul, tidak begitu tertarik dengan anak-anak dan berani mencoba hal baru; naik sepeda yang jauh lebih tinggi dari tubuhnya sebagai misal. Tante sebaliknya,  lebih tertutup, lebih senang bermain sendirian, telaten dengan anak-anak dan mudah trauma; ketika dewasa pernah sekali jatuh naik motor dan tidak mau naik lagi hingga hari ini.

Namun semasa kecil, ibu saya justru mengenang nenek sebagai orang tua yang tidak adil. Setiap ibu naik sepeda, nenek tidak pernah heboh, memuji tidak, memberi uang saku apalagi. Sebaliknya ketika tante yang naik sepeda, nenek memuji-muji, memberi uang saku pula.

Meski ketika dewasa ibu menyadari, yang demikian adalah upaya nenek melindungi tante yang sulit bergaul dan mudah trauma. Jadi nenek tidak menyadari upaya-upayanya ini membuat anaknya yang lain cemburu. Nenek pikir, ibu saya yang mudah bergaul dan berani mencoba hal baru berarti tidak punya masalah.

Dengan keterbatasan pengetahuan soal pola asuh, nenek berusaha adil terhadap anak-anaknya. Ia berusaha mendukung hal-hal yang dianggap bisa jadi modal hidup tante, meski akhirnya membuat ibu yang dianggap sudah punya modal hidup tadi jadi terluka karena mengira nenek kasih sayangnya timpang. Hingga membuat saya pun memahami... Tidak ada pola asuh yang sempurna. Tiap orang tua punya tantangan dan formula masing-masing dalam mengasuh anak-anak mereka.

Tuesday, August 15, 2023

Negara, Peliknya Administrasi dan Hidup Orang-orang Biasa

Sumber: ideide.id

Dimuat dan dapat dibaca di ideide.id

La Muli tidak dibuka dengan adegan mengerikan. Lembar-lembar selanjutnya pun, tidak dihiasi orang yang mati bunuh diri, adegan seks tersurat hingga pembantaian. Bagi pembaca yang terbiasa mengonsumsi sastra serius dengan cerita menghentak dan berdarah-darah, La Muli barangkali mengejutkan. Namun bagi pembaca yang sebelumnya pernah membaca karya lain dari Nunuk Y. Kusmiana, ketiadaan hal-hal ekstrim tadi tentu tidak bikin terkejut.

Lengking Burung Kasuari (LBK), menjadi karya perdana Nunuk yang menjadi naskah unggulan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2016 lalu. Nyaris serupa dengan La Muli, LBK menceritakan kehidupan sehari-hari pendatang di tanah Irian Jaya. Jika LBK menceritakan kehidupan keluarga tentara kelas menengah yang pendatang dari Jawa, La Muli sebaliknya. La Muli justru menceritakan kehidupan kelas bawah keluarga nelayan pendatang dari Buton.

Pergulatan keluarga dalam LBK dan La Muli pun nyaris serupa, harus ada upaya bertahan hidup, mengakali penghasilan dan penyesuaian diri dengan budaya-budaya di tanah rantau. Meski tentu saja, persoalan air hingga sanitasi tidak dialami sama sekali oleh kelas menengah dalam LBK, beda betul dengan kelas bawah dalam La Muli yang salah satu permasalahan utamanya adalah hal satu ini.

LBK di awal hingga akhir novel menyajikan sudut pandang putri tertua keluarga tentara yang berusia tujuh tahun. Sedang La Muli sebagai naskah unggulan Sayembara Novel Basabasi 2019, menyajikan sudut pandang orang ketiga dalam sebagian besar jalan ceritanya. Gaya berbahasa dalam La Muli pun tidak berbunga-bunga. Pergantian waktu, latar dan para tokoh yang berhadapan selalu ditandai satu paragraf penjelas tanpa diksi-diksi sukar.

Pantainya landai. Pasirnya hitam. Air lautnya kotor. Mungkin pengaruh dari pasir yang hitam itu. Kampung itu belum benar-benar bangun, kecuali sekelompok kecil nelayan yang baru pulang melaut. (hal 117)

Sinar mentari siang memancar ganas. Seolah ingin menghanguskan apa saja. Di dalam gereja hantaman sinar mentari siang teredam sedikit oleh langit-langit. Angin mengalir masuk dari jendela-jendela yang terbuka. Mengusir pengap yang terperam di dalam ruangan. (hal 124)

Tapi bagaimana La Muli yang tanpa kalimat berbunga dan hampir minim adegan ekstrim menjadi menarik buat terus dibaca? Semua ternyata bertumpu pada lokalitas yang bukan tempelan. Dialog dibuat berbahasa Indonesia kental logat Papua. Meski demikian, Nunuk tidak memaksakan kosakata lokal yang harus dijejalkan catatan kaki agar pembaca mengerti. Lokalitas Papua yang disajikan pun jauh dari koteka, upacara bakar batu dan hal-hal yang biasa dicap primitif dan disajikan di media massa. La Muli justru menunjukkan pergerakan masyarakat urban di tahun 1980an yang ternyata juga terjadi di Papua.

Salah satu poros permasalahan dalam novel ini adalah persoalan administrasi. Dapat dikatakan, peliknya administrasi menjadi sosok antagonis alias penghalang bagi para tokoh utama. La Muli si pendatang mesti dihadapkan dengan kekagetannya soal pembentukan er-te alias Rukun Tetangga. Rutinitasnya sebagai nelayan pun kerap berubah, ketika mesti berkenaan dengan persoalan warga yang katanya wajib jadi tanggungan ketua er-te. La Muli dan sesama pendatang lainnya di tahun tersebut ternyata buta soal perapihan administrasi dan pembentukan perangkat kampung. Hal tersebut ditunjukkan dalam dialog halaman 11 sebagai berikut:

“Apa persisnya tugas ketua er-te?” celetuk salah satu peserta rapat.

“Salah satunya berhubungan dengan administrasi. Mencatat nama-nama penduduk. Membuat rekomendasi kalau penduduk ingin mendapatkan surat rujukan untuk membuat ka-te-pe, atau membuat surat pengantar untuk mengurus surat kelakuan baik. Contoh surat rekomendasinya seperti ini.” kata Obet sambil mengambil selembar blanko isian.    

Tidak jauh berbeda dengan La Muli, suku Kayo Batu mesti juga menyesuaikan diri dengan perapihan administrasi. Persoalan tanah adat dan peralihan pemerintahan dari Belanda hingga akhirnya Indonesia, menjadi hal yang suku asli Jayapura ini mesti perjuangkan. Perjuangan soal tanah adat tersebut ditunjukkan dalam dialog halaman 157.

“Bagaimana kalau saya pelajari lebih teliti berkas-berkasnya?” tambah gubernur. “Lebih-lebih setelah pengambilalihan kekuasaan dari pemerintah kerajaan Belanda ke pemerintah Republik Indonesia, yang tersisa hanya masa lalu yang sudah selesai. Singkat kata, peristiwa ini terjadi di masa lalu dengan pemerintahan yang bebeda. Saat ini bapak-bapak berhadapan dengan perwakilan pemerintah Republik Indonesia. Akan saya pelajari dan memberikan jawaban tertulis. Begitu lebih baik?”

Tidak ada perang si jahat melawan si baik dalam novel ini. Baik La Muli dan orang-orang suku Kayo Batu hanya menjalani kehidupan sehari-hari dengan usaha apapun yang mereka bisa. Mereka tidak memahami atau terlalu peduli dengan pergolakan politik, peralihan kekuasaan dan sejenisnya. Yang mereka lakukan hanya memerjuangkan hak dan makan dari keringat sendiri. Mula-mula kehidupan pendatang dan suku asli Jayapura ini pun cenderung tanpa gejolak, jika saja perapihan administrasi tidak tiba-tiba hadir kemudian memaksa mereka mengikutinya.

Nunuk telah memotret lokalitas yang betul-betul tidak bisa ditempelkan jika latar belakangnya selain Jayapura. Ada persoalan sejarah hingga peralihan kekuasaan yang goncangannya membuat novel setebal 196 halaman ini bergerak dinamis. Para tokoh yang berprofesi sebagai polisi dan tentara tidak lepas juga dalam jalan cerita. Mereka ini yang diceritakan menjaga perdamaian di tanah Irian Jaya meski ternyata, kebijakan yang dibuat turut pula membikin rumit kehidupan masyarakat kelas bawah karena tidak disesuaikan adat setempat. Tokoh berseragam lain, ada pula yang digambarkan menempuh kebijakan demi mempermudah urusan negara di tempat dirinya bekerja, sekalipun menyadari telah menyalahi hak orang lain.

Kesenjangan antara kebijakan, perapihan administrasi dan juga diterapkannya dua hal tadi tanpa mengindahkan adat setempat yang ternyata menyumbang depresi dalam diri para tokoh La Muli. Semuanya terasa serba tiba-tiba. Dari kehidupan mereka yang dulunya datar dan sekadar memenuhi kebutuhan perut, namun tiba-tiba mesti berlarian memenuhi aturan-aturan baru dari orang-orang berseragam yang digambarkan sangat pula para tokoh ini hormati. Masih orang-orang berseragam ini pula yang ternyata hampir semuanya berasal dari luar Jayapura. Hal demikian yang barangkali juga menyumbang kebijakan-kebijakan yang ditelurkan dan paksa diterapkan pada akhirnya tanpa melihat adat sekitar.

Para penulis yang berambisi mengemukakan tema-tema lokalitas, agaknya mesti betul-betul menguliti La Muli agar apa yang diusung bukan lagi hanya tempelan, apalagi sekadar drama percintaan urban yang paksa diberi latar pantai dan profesi nelayan. Sebuah cerita yang di mana saja latarnya diganti sekalipun, bukan menjadi masalah. Demikian barangkali akan serupa La Muli, yang memang bukan sekadar novel dengan tempelan latar pantai, profesi nelayan dan kosakata berbau daerah yang padanan katanya sukar dicari dalam Bahasa Indonesia.

Halaman terakhir novel ini pun tidak betul-betul menunjukkan kesedihan atau kebahagiaan yang terang. Para tokoh ditunjukkan mesti terus melanjutkan hidup yang tidak tahu bagaimana ujungnya. Mereka yang kemudian tidak sengaja memilih, hidup dipermudah negara atau kemanusiaan antar orang-orang biasa. Kemudian Nunuk dalam La Muli barangkali pula ingin menyampaikan, sastra serius yang apik tidak mesti dibuka dan ditutup dengan kejadian-kejadian tragis.

Tampilan di ideide.id

Sumber: ideide.id

Saturday, July 22, 2023

Yang Lain

Sumber: Google


Ia selalu menunjukkan tidak ada perempuan lain di ruang chatnya, di galeri fotonya, bahkan di folder Google Drivenya.

Tapi bagaimana ia bisa mengatakan tidak ada yang lain ketika para perempuan itu justru berada di dalam hati dan hasratnya?

Monday, June 26, 2023

Savior Complex

 

Bedengan. Jepreted by masku sing paling sad boy.

“Kamu ini nggak bisa mengatasi masalah dalam dirimu, jadinya cari-cari masalah di luar untuk diatasi.” Demikian ucapan seorang teman di pinggir pasar Comboran Malang satu pagi.

Saya waktu itu masih 21, sedang mencari yang entah apa dan menyangkal dalam hati ucapan si teman tadi. Ada perasaan merasa lebih dewasa dari yang seusia, ada juga perasaan sudah sering membantu orang lain. Bagaimana saya yang lebih dari orang lain bisa dituduh belum selesai dengan diri secara tersirat begitu?

Hingga tahun-tahun berikutnya saya mulai terganggu secara fisik dan mental. Setelah mencari sebabnya apa, ingatan-ingatan di hari lampau pun mulai terbuka. Hubungan saya dengan ibu ternyata belum selesai. Ibu mengasuh saya dengan kondisi tidak mengakui dirinya belum selesai dan jadilah saya tumbuh bukan dengan penerimaan.

Selama menahun, saya lari dari kondisi itu dengan menjadi bisa diandalkan di antara teman atau siapa pun di luar rumah. Ada penerimaan yang berusaha saya cari dan jika tidak didapat di dalam rumah, artinya harus dicari di luar. Pernyataan teman saya itu ternyata benar dan tahun 2021, saya baru paham istilah psikologinya adalah savior complex. Savior complex beda dengan jiwa suka menolong. Savior complex adalah upaya seseorang menjadi pahlawan karena gagal menolong dirinya sendiri.

Jadi bagaimana ketika kita menolong orang lain hanya untuk lari dari luka kita sendiri? Yang ada hanya semu. Kita yang demikian hanya akan gagal mendengar apa kebutuhan orang yang dibantu dan bahkan memaksakan cara-cara selamat versi kita. Semua karena... Obsesi menjadi pahlawan yang sebetulnya bentuk dari pelarian juga.

Justru ternyata sebuah anugerah, ketika badan dan mental saya saat itu tidak kuat terus berpura-pura menolong orang lain, jadilah semua terungkap...

Wednesday, May 17, 2023

Kantin

 

Sumber: Gugel

Tuan Sudjono dengar harga satu botolnya enam puluh tujuh ribu. Masih juga dia heran kenapa tidak dibuat genap saja jadi tujuh puluh ribu sebagai misal.

Kalaupun semua uang dalam sakunya digabungkan, totalnya bahkan masih kurang tujuh ribu untuk menebus satu botolnya. Jadi dia diam-diam saja melihat satu rombongan lelaki berbaju batik itu dari seberang meja.

“Dua botol ya, Mbak. Aroma cinta kalau ada.”

“Perutnya singset gini, masih gadis atau sudah janda?”

Tawa para lelaki itu bersusulan setelahnya. Perempuan itu cepat-cepat mengeluarkan dua botol acak saja sambil turut tertawa-tawa.

Sesegera mungkin dia bilang dua botol itu punya aroma cinta. Dia juga bilang, statusnya janda satu anak.

Selanjutnya kata cinta dan janda seperti dilempar ke atas meja. Salah satu dari mereka mengetuk-ngetuk dompet tanpa terlihat berniat mengambil seratus tiga puluh empat ribu.

Perempuan itu terus tertawa-tawa, menyantap sajian kata cinta dan janda di atas meja dengan lahap. Seratus tiga puluh empat ribu pada akhirnya disorongkan padanya. Dan ketika ia hendak pergi, salah seorang dari mereka menepuk bokongnya.

Kecuali tuan Sudjono, meja-meja di seberang turut tertawa-tawa. Perempuan itu pun tersenyum saja, melipat uang, menyerahkan dua botol wewangian lalu pergi bersama sepatu setinggi tiga sentinya.

Pesan singkat masuk dalam ponsel tuan Sudjono. Istrinya yang kena tipus mengeluh belum juga mendapat kamar karena tunggakan BPJS. Lelaki itu memandangi gerombolan lelaki di seberang meja, juga jejak sepatu si perempuan yang bercampur hujan dan tanah.

Agaknya, menjadi benar ternyata susah juga ketika kita semiskin tuan Sudjono ya? 

Catatan:

Kok pas dibaca lagi kayak pernah baca cerita serupa yes? Teman-teman yang merasa serupa, janlup jawil atau tegur aku ea. Tencuuu.

Saturday, April 1, 2023

Jalan Industri Paling Mulia

Hyoyeon SNSD dan Boy William. Sumber: Youtube BW.


Di sebuah warung kopi perbukuan di Malang, saya berhadapan dengan seorang teman yang konsisten menulis cerita pendek tema lokalitas. Cerpen-cerpennya dimuat koran maupun media online dengan genre sejenis. Genre yang disebut sastra serius.

“Kalau blog itu kan tanpa domain jadi kurang kredibel ya.” Ucapnya.

Namun bukan kredibelitas semacam itu yang tengah saya cari. Sedang di hari-hari berikutnya saya bertemu dua orang teman di kafe tengah sawah. Keduanya sama-sama punya selera bacaan sastra yang disebut serius itu meski ternyata saat ini mengambil jalur berbeda.

Teman satu memilih mengembangkan pengikut Instagramnya, mengambil diksi-diksi sederhana dalam puisi dengan tema-tema cinta. Hasilnya, pengikut media sosial meningkat dan ia bisa buka endors. Sedang teman satunya mulai menulis di salah satu platform di mana tulisan bisa disetel gratis maupun dimonetasi. Kala itu ia mengambil tema cinta dengan diksi sederhana dalam cerita pendeknya.

“Orang-orang membayar untuk membeli kesedihan.” Demikian komentarnya mengenai tulisan-tulisan yang umunya populer dan bisa dimonetasi di platform tersebut.

Kedua teman saya tadi mulanya berangkat dari esai, cerpen, juga puisi berbau sastra serius. Bedanya, teman pertama betulan yakin memilih genre sekaligus pasar yang mana sehingga konsisten membuat video musikalisasi puisi dengan komentar-komentar pengikut Instagramnya kerap merasa relevan atas apa yang ia sampaikan.

Ia pula rajin berkolaborasi dengan penulis tema sejenis. Saling berbagi traffic salah satu keuntungannya barangkali. Lantas teman yang pertama tadi mengajak teman kedua berkolaborasi, bikin musikalisasi puisi. Tepatnya disebut apa ya? Jadi model videonya semacam pengisi suara laki-laki dan perempuan saling timpa dialog-dialog puitis begitu. Apalagi mengingat teman kedua apik ketika deklamasi. Kami pernah menyaksikan deklamasinya di peluncuran buku salah satu universitas di Malang.

Meski beberapa pertemuan berikutnya, teman pertama tadi bilang perkara kolaborasi tidak ada kabar lanjutan dari teman kedua. Saya lihat cerpen-cerpen di platform yang ia pilih juga tidak ada kelanjutan. Apakah teman yang kedua masih ragu hendak menyeberang genre? Bisa jadi.

Teman yang pertama pun bercerita bagaimana puisinya dikatakan buruk oleh salah seorang teman dari komunitas awal ia berkembang. Temannya tadi setia membawa marwah sastra serius hingga hari ini, mengorbitkan penulis-penulis muda anyar, hingga punya bisnis penerbitan. Membawa genre tertentu hingga bisa merambah bisnis, bukankah sebetulnya yang mereka tempuh serupa?

Ada lagi teman semasa SMK saya naksir betul dengan seorang cewek yang isi tweetnya membahas buku. Benar, cewek itu selebtwit dengan pengikut belasan ribu saat itu. Dari buku-buku yang ia ulas, nampak judul-judul berat berseliweran. Hingga ketika teman saya itu hendak membeli bukunya, ia bilang,”Aku mau beli buku si F itu tapi takut bukunya berat.”

Kemudian saya sahut,”Kamu tahu penerbit novel dia namanya apa?”

Dan berlanjut kami ngobrol soal penerbit novel cewek tersebut yang genrenya metro pop. Jadi bisa dipastikan karya perdananya itu tidak bakal seberat buku-buku bacaan yang biasa ia ulas. Benar saja, adik teman saya ini bilang novel tersebut berat di bab awal namun lanjutannya yang ada kisah cinta.

Tunggu... Tunggu, saya tidak hendak menegasikan kisah cinta sebagai hal remeh. Toh di perlombaan cerita pendek pun kerap kali tema lokalitas yang dibawa peserta isinya kisah cinta yang ditempeli latar desa, hutan dan pantai. Yang berarti bukan benar-benar adat, ciri khas atau kisah di suatu daerah yang benar-benar tidak bisa diganti apabila latarnya ada di daerah lain.

Jadi kisah cinta atau kisah apapun itu ketika sulit dipindahkan latarnya ke daerah lain bukankah itu juga lokalitas? Jelas ya, di bagian ini bukan kisah cinta yang jadi masalah.

Saya sendiri sempat galau ketika bingung menentukan mau kemana jalan menulis ini. Cerita-cerita pendek saya formatnya tidak masuk di koran juga perlombaan. Kelewat pendek tentu saja hingga lebih pas disebut fiksi mini.

Koran tertentu pernah ada rubrik fiksi mini namun itu pun formatnya beda dengan fiksi mini di blog saya. Meski demikian saya tetap mengeksplorasi gaya menulis lain. Begini-begini cerpen saya pernah masuk media lokal (Menanti Blanggur, Radar Malang). Esai saya juga pernah masuk lagi-lagi koran lokal yang kabarnya banyak penulis ditolak juga (GWP vs KF, Radar Malang). Sisanya ya, saya pada akhirnya menulis tanpa berpikir kemana tulisan-tulisan ini kelak berjodoh.

Jadilah tulisan-tulisan di blog ini beberapa kali berjodoh dengan seleksi atau lomba menulis yang syaratnya cukup unik. Misalnya syarat seleksi Live in Tempo x Save The Childreen, di mana tulisan yang boleh diikutsertakan harus yang diunggah sebelum Oktober sedang deadline November.

Ketika syarat seleksi atau lomba lain kerap menghendaki tulisan-tulisan anyar atau baru dibuat, belum dipublikasikan, syarat Live in ini laknat juga. Jadi sejak dari poster pengumuman, peserta sudah pada gugur duluan. Agaknya, penyelenggara sedang mencari konsistensi, bukan sekadar tulisan bagus.

Seorang teman menyayangkan gaya menulis saya yang berubah ketika Menanti Blanggur masuk Radar Malang. Tata bahasa, ide yang dieksplorasi memang beda dengan cerpen-cerpen di blog. Kala itu dalam pikiran saya hanya ada perasaan senang belajar, entah itu gaya sehari-hari maupun gaya baru. Isyana Sarasvati menyebut yang begini sebagai ‘eksplorasi genre lain’.

Sebaliknya ketika menulis esai dan masuk koran, kebetulan gaya menulis sehari-hari ya semacam begitu. Apa ya sebutannya, esai populer? Selebihnya esai-esai personal saya di blog mulanya belum bertemu jodohnya sampai media-media alternatif bermunculan (Kisah Berakhirnya Hubungan Saya dengan Sahabat yang Bercadar, Magdalene).

Bagaimana dengan blog? Tetap saya ingin orang melihat blog ini dengan membatin,”Alah, ngunu wae aku ya isa.”** Hingga memantik semangatnya menulis juga. Latar belakang blog ini bisa dibaca di Selamat tinggal, banner lawas.

Tulisan ini sebetulnya dipantik tulisan kang Syarif Maulana berjudul Selera Pasar. Melalui tweet yang ditulis Desember 2022 lalu, pengguna Twitter @lelegurame mendapat beragam komentar dari para penggemar Blackpink setelah mengutarakan persoalan skillnya sebagai musisi.

Sedang Februari 2020 lalu, melalui acara bincang-bincang bertajuk #DrinkWithBoys In Korea; Hyoyeon Lebih Suka Boy Daripada Choi Siwon, Boy William bertanya mana yang sesungguhnya Hyoyeon? Si gahar atau SNSD?

Lantas Hyoyeon menjawab...

“Pertanyaan yang bagus, pertanyaan yang baru juga bagi aku. Sebelum aku mulai SNSD, genre dance yang aku suka adalah Poppin and Lockin, jadi bisa dibilang cewek gahar. Tapi sejak aku mulai debut dengan SNSD aku harus lumayan berusaha untuk keluar dari image cewek gahar.”


Penerjemah, Hyoyeon dan Boy William. Sumber Youtube BW.

Selanjutnya Boy menyatakan cinta terhadap SNSD, begitu pula Hyoyeon. Hyoyeon pun menyatakan untuk saat ini dia adalah DJ Hyo, agaknya merujuk identitas yang sekarang ia senangi.

Masih di 2020, Isyana Sarasvati menampilkan Lexicon di Indonesia Idol. Anang bertanya Isyana ingin melepaskan apa melalui Lexicon. Masih Anang yang menanyakan kenapa Lexicon berbeda dengan lagu-lagu Isyana sebelumnya. Maia Estianti pun menanggapi Lexicon terlihat seperti ‘ini lho gue’ buat Isyana dan gadis yang lahir tahun 1993 itu pun mulai menangis.

“Kalau boleh membaca ya, sebagai sesama penulis lagu, rasanya kita pengin bikin lagu di A tapi ternyata produser atau label Indonesia mintanya di B.” Sambung Maia.

“Eee, kalau itu nggak sih nggak bener. Karena awal aku masuk di Industri, aku memang mengiyakan ingin sekali mengeksplorasi musik genre lain karena kan aku emang sekolahnya musik klasik tuh dan pada akhirnya aku bisa masuk ke label dan akhirnya bisa punya kesempatan untuk eksplorasi ya aku tidak ada regret sama sekali untuk album satu, kedua gitu dan makanya album pertama aku kasih judul Eksplor.” Jawab Isyana.

Masih di dunia musik, kita tentu mengenal Rara Sekar, kakak Isyana yang memilih distribusi indie buat musiknya. Di dunia menulis ada bunda Asma Nadia dan Helvy Tiana Rosa, kakak beradik yang jalan menulisnya nyaris serupa dengan Isyana dan Rara Sekar.

Bunda Asma Nadia film-filmnya masuk di rumah produksi besar, sebaliknya bunda Helvy yang memilih produksi sendiri film dari buku-bukunya dengan segmen pasar tidak lebih luas. Agaknya kisah dakwah mas Gagah pasarnya tidak lebih luas dibanding kisah Ferdi Nuril yang menikah dengan Laudia Cynthia Bella lantas lanjut bersama Raline Shah.

Mengambil jalan entah itu mengikuti pasar, menciptakan pasar maupun jalan senyap tentu sah-sah saja. Bisa jadi juga jalan itu serupa mas Lele yang menjadi guru musik, Hyoyeon yang mengikuti industri kemudian solo dengan gaya musiknya di label yang sama atau bunda Helvy yang memproduksi film dari bukunya sendiri.

Meski ya... Negasi genre satu atas genre yang lain agaknya akan terus saja ada demi menciptakan pasar alternatif atau bahkan yang baru. Sastra serius menegasikan tulisan pop dengan ujaran receh kelewatan dan sebaliknya yang pop menuduh sastra serius kelewat eksklusif.

Intinya ya, apapun jalan yang sedang kalian pilih sebagai musisi, penulis dan lain sebagainya... Jangan nanggung, tempuh saja.


**"Alah, begitu saja saya juga bisa."

Sunday, March 19, 2023

Pintu

Sumber: Gugel

Tidak jelas dari mana ia mendapat rantai, kunci, gembok, beserta papan-papan kayu. Rantai, kunci dan gembok dia rangkai sehingga pintu mustahil didobrak dari luar, sedang papan-papan kayu ia paku saling silang di jendela dan plafon.

Sebentar kemudian dia mengibas keringatnya dengan tangan kiri, memandang hasil kerjanya lalu berdecak sendiri. Ia pun mulai masuk kamar mandi, berendam dengan air bercampur busa juga menyalakan lilin wangi. Setelahnya, ia memasak mie instan favoritnya, mencoba meniru tampilan paling mirip dari bungkus, juga menyeduh coklat hangat. Sebuah novel juga sudah tersaji di meja.

Ia begitu, setiap hari. 365 dikali lima...

Sampai satu waktu, ada yang mengetuk pintu. Bukan kurir, karena para kurir sudah tahu harus meletakkan paket di sudut mana dan tanpa suara.

Dia terenyak. Pelan-pelan dibukanya gembok, diurainya rantai, dibukanya kunci. Yang di depan pintu terus saja berdiri sambil tersenyum saja, tidak ada upaya mengetuk pintu sekali lagi, apalagi memaksa masuk jendela atau menjebol plafon seperti orang-orang terdahulu.

Hingga ia pun betul-betul membuka daun pintu. Namun yang sedang berdiri tidak masuk juga hingga betul-betul dipersilakan. Setelah masuk pun tidak duduk juga hingga betul-betul dipersilakan.

Lama-lama mereka duduk berdua dan saling senyum saja, hingga terbahak dan menangis bersama. Mula-mula, ia ogah berbagi mie instan, coklat hangat, apalagi novel yang tersedia di meja. Tidak bisa, yang tiga itu favoritnya.

Namun lama-lama, ia mempersilakannya makan dari mangkuk dan minum dari gelas yang sama. Novel itu bahkan sengaja diletakkan di pangkuannya.

“Rumahmu di mana? Boleh saya mengetuk pintunya balik?” ia bertanya.


Untuk saudara laki-lakiku dan mbak-mbak yang kupikir tidak akan pernah pergi dengan pamit.

Semangat o ya, Mas. Ingat, Mike Mohede pernah bernyanyi,"Rasa yang ada di hati tak mungkin berdusta uwo uwo yea..."

Tuesday, February 21, 2023

Yang Tinggal

 

Sumber: Gugel

Pada muaranya mereka semua meninggalkanmu.

Perempuan yang sungguh kamu cinta dan ingin nikahi.

Perempuan yang tubuhnya begitu kamu suka dan ingin kecupi.

Perempuan yang kamu pikir sedikit gila dan membawa hoki.

Bagi orang-orang mereka menikah saja, menempuh awal yang lain. Namun bagimu, mereka meninggalkanmu.

Membuat hatimu lowong.

Kemaluanmu enggan tegak berdiri.

Dan rasa aman soal hari depan terasa jauh...

Jauh sekali.

Wednesday, January 4, 2023

Selempang

Sumber: Gugel

Katamu, selempang itu mau dilarung saja. Ya, selempang bertulis nama dan gelar cinta pertamamu itu. Saya mau tertawa, tapi tertahan-tahan saja. Begitu-begitu kan kamu yang setia menarik tangan saya waktu terseok.

Dasar, hopeless romantic. Maksudnya, itu kan kisah dulu sekali sepuluh tahun lalu, sedang gelarnya baru beberapa tahun kemarin dan lagi, kenapa nggak kamu berikan saja sih? Kenapa malah dijadikan fosil di kamar?

Dia sudah pasang cincin dengan orang lain. Saya pula yang tahu lebih dulu, pakai menangis pula. Rasa-rasanya saya turut mencintai dia sepanjang kamu mencintainya juga.

Lalu saya lirik almari sambil memegang selempang yang kamu sodorkan itu. Di sana ada cerpen yang saya cetak serupa buku, pakai jilid ring. Kalau tidak salah jumlahnya tujuh buah kopi. Enam kopi saya berikan pada teman-teman baik dan satu kopi harusnya untuk cinta pertama yang jadi tokoh utama di sana.

Tapi ternyata, untuk kirim pesan janji jumpa saja saya harus merepotkan seorang sahabat. Di usia kami yang ke dua puluh waktu itu, dia menunggui saya yang memegang ponsel, hampir-hampir menulis pesan, lalu kembali berjalan tidak tentu arah di sekitaran jalan Ijen. Ia pula turut berjalan di sebelah, tanpa marah.

Selempang itu sekarang saya lihat, sentuh beberapa kali lalu melihatmu lagi. Ternyata bukan rambut kita saja yang sejenis.


Untuk sahabatku yang penyabar, Sofiani Izzaty alias Sopinga.