Monday, February 1, 2016

Antara Lelaki, Laki dan Agni

Agni memandangi lelaki yang memutar kendali setir di sisi kanannya. Lelaki itu terus saja mengoceh soal banyak hal. Soal bagaimana mencari dan memenuhi kebutuhan uang juga ada di dalamnya. Sehangat mungkin, Agni berusaha menanggapi setiap cerita dari Lelaki itu hingga si Lelaki makin berapi buat bercerita.
Namanya, Lelaki. Agni selalu disediakan sekantung penuh es krim olehnya. Cemilan favorit yang menemani dia mengetik skripsi.
“Aku ingin jadi dosen. Jenjang karirnya sepertinya bagus. Untuk penghidupan keluargaku juga nanti tentunya.”Ucap Lelaki yang ditanggapi mata bulat Agni yang berbinar.
Dengan Lelaki, dirinya merasa mantap buat hidup di hari-hari depan. Perkara lapar agaknya bakal jauh darinya. Apa dia kelewat mementingkan diri sendiri?
Tangan Agni berkali-kali juga sibuk mengetik BBM balasan di ponselnya. Pada satu nama yang mengikrarkan diri sebagai penganut sosialis. Dia tidak pernah mengoceh soal bagaimana mencari dan memenuhi kebutuhan uang. Tema besar seperti organisasi politik kampus dan sistem kenegaraan gemar dia sajikan di hadapan Agni. Sehangat mungkin, Agni berusaha menanggapi setiap pesan BBM itu hingga balasan yang dia terima makin berapi.
Namanya, Laki. Agni selalu diberikan ruang buat mendengar dan bercerita soal tema besar organisasi politik kampus maupun sistem kenegaraan. Sekali waktu Laki membelikannya segelas susu, sekali waktu Agni membalasnya dengan segelas kopi. Seringkali, mereka membeli susu dan kopi dengan uang masing-masing.
“Aku ingin jadi dosen. Aku mau merubah sistem di kampus.” Ketik Laki melalui pesan BBM yang dibalas emoticon peluk dan senyum oleh Agni.
Dengan Laki, Agni merasa keren bisa memikirkan banyak orang. Namun, perkara lapar bakal kah jauh darinya?
Agni belum memikirkan, mana yang mestinya dia sudahi.Tiga kotak rokok tidak membantunya sama sekali.
Catatan. Terinspirasi dari satu paragraf cerpen Matinya Seorang Demonstran, Agus Noor: Ratih sering bertanya pada dirinya sendiri, kenapa ia bisa menyukai dua laki-laki? Mungkin karena bersama Arman ia menikmati hidup. Sementara bersama Eka ia merasa ada sesuatu yang mesti diperjuangkan dalam hidup.
Saya terus terang kurang puas dengan penggarapan Agus Noor melakukan demonisasi pada tokoh Arman. Barangkali, memang karena latar peristiwa merupakan kehidupan mahasiswa dan situasi politik di era sembilan puluhan yang tentu beda jauh dengan sekarang. Saya sengaja penyajikan sebuah pergeseran.

No comments:

Post a Comment

Terimakasih sudah merekam jejakmu!