Agni
memandangi lelaki yang memutar kendali setir di sisi kanannya. Lelaki itu terus
saja mengoceh soal banyak hal. Soal bagaimana mencari dan memenuhi kebutuhan
uang juga ada di dalamnya. Sehangat mungkin, Agni berusaha menanggapi setiap
cerita dari Lelaki itu hingga si Lelaki makin berapi buat bercerita.
Namanya,
Lelaki. Agni selalu disediakan sekantung penuh es krim olehnya. Cemilan favorit
yang menemani dia mengetik skripsi.
“Aku ingin
jadi dosen. Jenjang karirnya sepertinya bagus. Untuk penghidupan keluargaku
juga nanti tentunya.”Ucap Lelaki yang ditanggapi mata bulat Agni yang berbinar.
Dengan
Lelaki, dirinya merasa mantap buat hidup di hari-hari depan. Perkara lapar
agaknya bakal jauh darinya. Apa dia kelewat mementingkan diri sendiri?
Tangan Agni
berkali-kali juga sibuk mengetik BBM balasan di ponselnya. Pada satu nama yang
mengikrarkan diri sebagai penganut sosialis. Dia tidak pernah mengoceh soal
bagaimana mencari dan memenuhi kebutuhan uang. Tema besar seperti organisasi
politik kampus dan sistem kenegaraan gemar dia sajikan di hadapan Agni.
Sehangat mungkin, Agni berusaha menanggapi setiap pesan BBM itu hingga balasan
yang dia terima makin berapi.
Namanya,
Laki. Agni selalu diberikan ruang buat mendengar dan bercerita soal tema besar organisasi
politik kampus maupun sistem kenegaraan. Sekali waktu Laki membelikannya segelas
susu, sekali waktu Agni membalasnya dengan segelas kopi. Seringkali, mereka
membeli susu dan kopi dengan uang masing-masing.
“Aku ingin
jadi dosen. Aku mau merubah sistem di kampus.” Ketik Laki melalui pesan BBM
yang dibalas emoticon peluk dan
senyum oleh Agni.
Dengan Laki, Agni
merasa keren bisa memikirkan banyak orang. Namun, perkara lapar bakal kah jauh
darinya?
Agni belum
memikirkan, mana yang mestinya dia sudahi.Tiga kotak rokok tidak membantunya
sama sekali.
Catatan.
Terinspirasi dari satu paragraf cerpen Matinya Seorang Demonstran, Agus Noor:
Ratih sering bertanya pada dirinya sendiri, kenapa ia bisa menyukai dua
laki-laki? Mungkin karena bersama Arman ia menikmati hidup. Sementara bersama
Eka ia merasa ada sesuatu yang mesti diperjuangkan dalam hidup.
Saya
terus terang kurang puas dengan penggarapan Agus Noor melakukan demonisasi pada
tokoh Arman. Barangkali, memang karena latar peristiwa merupakan kehidupan
mahasiswa dan situasi politik di era sembilan puluhan yang tentu beda jauh
dengan sekarang. Saya sengaja penyajikan sebuah pergeseran.
No comments:
Post a Comment