Tuesday, February 23, 2021

Hopeless Romantic VS Platonic

Sumber: Gugel

Tahun lalu, saya menerima sebuah kesadaran baru. Bahwa ternyata spektrum orientasi seksual saya hetero, namun ada  namun ada demiseksualnya** juga. Salah satu indikasinya, tanpa sadar saya menerapkan hubungan platonis pada siapa saja dan inilah sumber masalahnya...

Mula-mula sebuah email saya kirimkan pada yu Siti akhir tahun lalu. Saya jabarkan pemahaman-pemahaman baru ini. Saya tarik pula limpahan kekesalahan pada teman lawan jenis yang kerap tiba-tiba pergi tanpa sebab jelas. Ya, dulunya saya menggerutu soal mereka itu begini, kenapa berteman saja susah sekali sih mereka ini? Kalau memang ada rasa sekalipun, berteman aja terus tetap saling dukung. Susahnya di mana sih?

“Bukannya biasanya ada bedanya ya? Antara teman dan bukan?” salah satu balasan yu Siti lewat email.

Tidak. Nyatanya tidak ada beda sikap saya dengan siapa saja. Cinta saya adalah cinta pertemanan yang celakanya, saya betul tidak paham bagi mayoritas orang ini ganjil. Bagi orang-orang dominan hetero, tanpa status milik ternyata hal menyakitkan.

Hingga dalam kesadaran baru itu, saya menemukan jalan tengah. Saya tidak mungkin memaksa diri menerima ikatan-ikatan ala dominan hetero, pun mereka tidak mungkin memaksa diri menerima hubungan platonis ala aseksual. Jalan tengah ini hendak saya terapkan ketika kelak bertemu entah siapa lagi di depan sana.

Ternyata tanggal 10 Februari 2021, teman lama saya menelepon malam-malam. Kami terakhir berkirim WA 2019...

“Harapannya, kita pacaran serius...” ucapnya di tengah percakapan.

Teman saya ini mengakui, ia dulunya pergi karena merasa tidak mendapat apa yang dia mau. Kami sepakat saling membuka pintu dan berdecak, ini kenapa bisa waktunya pas?

Dia tetap seseorang yang saklek, apa-apa diekspresikan langsung, tidak takut dengan penolakan juga. Lebih jauh, benar dia seorang hopeless romantic, selama hampir sembilan tahun berjalan masing-masing dan makin tambah parah saja. Sedang saya pun tetap pla...

Kemudian tanggal 12 Februari 2021, saya ajukan sebuah proposal jalan tengah. Pernikahan adalah satu-satunya hubungan romantis yang terpikir mampu saya jalani, tidak dengan pacaran. Maka kami pun sepakat, tiga bulan komunikasi lalu istikharah adalah jalan paling adil.

Pada hari-hari berikutnya, saya mengenalinya sebagai seseorang yang penuh kata cinta, hangat dan bisa diandalkan. Dan pada hari-hari berikutnya ia mengenali saya yang ikatan-less.

“Aku pulang...” begitu kata si hopeless romantic ini beberapa kali.

Dia memang selalu begitu, menjelma jadi tokoh utama, mempercayai alam semesta sengaja memberikan pertemuan-pertemuan ajaib dalam sebuah kisah cinta. Mengibaratkan saya sebagai rumahnya secara sepihak yang ternyata berbalas...

“Seandainya aku katolik, aku mau jadi biarawati dan seandainya aku budha, aku mau jadi bikkuni.”

Menariknya, kami yang sekarang sama-sama mampu saling memahami. Saya yang tidak mungkin memaksa diri sepenuhnya dalam dunia hopeless romantic dan dia tidak mungkin memaksa diri sepenuhnya dalam dunia plantonic.

Kami pun bersepakat, kelak jika jawaban dari semua proses ini ternyata tidak; selanjutnya persaudaraan mesti terus dijalin. Sebaliknya jika jawabannya iya; kami ingin saling dukung, membina diri masing-masing meski sama tidak ingin menikah dalam waktu dekat.

Jadi... Makan es krim pinggir minimarket lagi yuk... Dan selamat 27 ya.


**Catatan:

Untuk spektrum orientasi seksual, masih dalam proses saya pelajari termasuk dengan melibatkan profesional. Hasil akurat belum didapatkan. 


Sabtu, 08 Mei 2021.

Ego kepemilikan memang bikin sulit untuk saling bertemu.

Wednesday, February 17, 2021

Patah Hati di Hadapan Seorang Nihilis

Sumber: Gugel


Saya selalu benci ketika dulu, ibu kerap membuat negasi ketika saya nampak sedih dan luka. Kata ibu, banyak di luar sana yang masalahnya lebih parah dan mestinya dan mestinya saya bersyukur.

Jadilah saya terbentuk tidak gemar bercerita pada ibu. Apapun saya cerna, atasi dan simpan sendiri. Butuh waktu lama hingga saya betulan bisa berkata pada ibu kalau ucapan demikian hanya menambah luka dan kalau orang yang ada di hadapan sedang depresi, dia bisa langsung berangkat bunuh diri.

Tapi toh ibu jelas bukan satu-satunya orang yang gemar melakukan negasi demikian. Bab ibu ini saya pungkasi dengan; orang-orang jenis ini tidak paham rentang waktu. Bahwa tidak ada masalah lebih berat atau lebih ringan bagi seseorang. Yang beda hanya soal waktu. Ketika si A mendapat beban luka 10 kg di usia 13 tahun, bisa jadi si B mendapat beban luka 23 kg di usia yang sama. Tapi lain waktu, bisa jadi beban yang 23 kg itu dialami juga oleh A kelak di usia 30 tahun.

Memahami ini bakal membuat kita tidak bakal terlalu percaya diri bicara,”Oh, kalau aku sudah ngalamin sih masalah kayak gitu jaman SMA...”

Lain ibu, lain pula abangnya seorang teman. Waktu si teman ini patah hati, abangnya itu berkata,”Maaf bilang gini ya. Berdasar dari pengalamanmu, kamu tuh nggak spesial. Bahkan orang lain di dunia ini bisa jadi masalahnya lebih buruk.”

Bau-bau nihilis...

Ya, dia emang

Aku dulu iya

Aku pikir dia nihilis, tapi percaya Tuhan

Meski hampir mengeluarkan kalimat nyaris serupa, ibu saya memang mengeluarkan kalimat itu karena sekali lagi, tidak memahami rentang waktu, sedang kakak si teman itu memang seorang nihilis yang semacam yawis manusia emang ya gitu-gitu aja. Kedua orang ini juga punya latar belakang perjalanan hidup yang berbeda meski mengeluarkan kalimat hampir serupa.

Meski saya dulunya sempat jadi nihilis dan hanya kesampaian berpikir manusia hidup atau tidak ya begitu saja, saya jadi membayangkan ucapan ibu saya dan abangnya si teman diterapkan pada penyintas kekerasan...

Oh, kamu kena sampai petting doang. Aku nih sampai fingering.

Ealah, kamu kena sama dijebak doang. Dia tuh sampai nggak bisa kabur.

Merinding.

Yang jelas, justru ketika berkali hampir mati saya malah melihat dengan terang... Kita, manusia berhak merasa punya rasa sakit yang paling berat pada satu waktu. Perasaan demikian tentu saja valid dan memang harus diakui. Namun pada waktu-waktu yang yang lain, setelah kita berhasil mengatasi rasa sakitnya... Bahkan dalam hati pun kita tidak berhak merasa lebih berjuang ketimbang orang lain. Hingga sebagai orang yang tidak paham rentang waktu, tidak akan ada ucapan macam ibu saya dan sebagai nihilis macam kakaknya si teman itu... Ya, tapi kalau nihilis memang gitu lah ya wqwq.

Bagian ini klise tapi percayalah, ceritamu berharga. Tidak ada pengalaman personal manusia yang sama persis satu sama lain...

Dah yes, yang berusaha sok berbeda dan rebel, dengan menegasikan pengalaman orang lain, melipir dulu setelah baca paragraf barusan. Karena kita yang menuduh orang lain membahas hal seragam, lebih jauh tanpa beda dengan yang lain, sesungguhnya akeh pisan kok tunggalanmu.


Sunday, February 14, 2021

Pertalian

Sumber: Nyolong foto Mavalda Junia Sahanah

Orang-orang barangkali heran soal bagaimana pola pikir Umbu Landu Paranggi yang berjalan belasan kilo demi melihat gadis yang ia suka naik bus Jogja-Malang. Umbu bahkan naik bus buat mengintil gadis itu, memastikannya selamat sampai Malang. Umbu tidak pernah melakukan pendekatan berarti hingga kelak gadis itu disaksikannya menikah dengan lelaki lain.

Kamu membaca kisah itu berkali-kali dan tetap tidak memahami bagaimana ada cinta yang rupanya demikian? Bukankah Umbu tidak betul berjuang? Sampah betul konsep mencintai dalam diam. Tapi apakah yang sebetulnya dinamai mencintai dalam diam? Hingga sebuah telepon masuk, dari pacar barumu. Kamu menutup browser yang berisi kisah Umbu, lantas memasang headset dan menekan tombol terima.

Pacarmu itu kelewat cerdas dan memiliki mata sipit yang manis. Inilah pacar yang kamu berhasil perjuangkan, begitu pikirmu. Meski seseorang seolah sedang tajam mengawasimu jauh di belakang pagar kampus. Hingga kamu pun menoleh ke arah belakang, mencari-cari asal tatapan itu dan kembali berkonsentrasi pada telepon ketika hanya mendapati kerumunan mahasiswa yang kamu tidak kenal-kenal amat berseliweran di sana.

Ia ada di sana sebetulnya, menyaru di antara keramaian. Ia yang bersamamu jauh sebelum kuliah, ia yang ucapan cintanya hanya pernah kamu perkirakan sebagai candaan. Selalu kamu ingat ia pula yang temannya sangat banyak dan ekspresi cintanya memang demikian, bukan pada kamu saja.

Tapi hari itu, ia gadis itu...

“Pacar dia baru lagi...” bisiknya sambil menyulut sebatang rokok dari saku almamater.

Siang itu sesungguhnya, si gadis hendak menyapamu dan menggandengmu ke kantin fakultas sastra. Namun ketika melihatmu menelepon seseorang dengan muka merah dan dialog-dialog manis, ia urung mengajakmu makan dan bahkan menyapa saja segan.

Sambil menghembus asap rokoknya ke udara, gadis itu melihat ke arah langit. Ia meraba ubun-ubunnya dan memandangimu yang tengah tertawa-tawa masih dengan headset terpasang di kuping. Mata gadis itu pun menyipit, dilihatnya sebuah tali kuning terhubung horizontal antara ubun-ubunnya dengan ubun-ubunmu.

Tali itu warnanya kian terang hari demi hari, semakin kalian bersama. Namun untuk menjadikan warna tali itu kuning cerah, gadis itu tahu akan butuh waktu lebih dari belasan tahun bersama. Sekali lagi, mata gadis itu menyipit, namun kini ganti memandang langit. Tali berwarna serupa berdiri vertikal di masing-masing kepala kalian, bedanya ia memiliki warna kuning cerah, warna masa depan yang kelak akan kalian raih pula di antara garis horizontal.

Gadis itu mengelus tengkuknya, melempar rokok yang tinggal separuh ke tanah lantas menginjaknya dengan sepatu baletnya yang berwarna coklat.

“Kalau memang menikah dengan yang lain dahulu lalu bercerai adalah jalanmu, baiklah.”

Sekali lagi, gadis itu merogoh rokok dari saku almamaternya. Ia pun kembali menyulutnya dan berjalan menjauhi lokasimu terbahak sambil menelepon.

Ada tali-tali beda warna dan saling terhubung di antara orang-orang yang melintas di sekitar gadis itu. Tali-tali itu saling bertindih hingga seperti jalinan benang tidak berarti yang rumit minta ampun. Namun si gadis selalu tahu, tali-tali yang saling terhubung itu tidak bisa dianggap sekadarnya saja.

Maka esok hari, ketika kamu tidak sedang menelepon pacarmu, gadis itu mendatangimu dan mengajakmu ke kantin fakultas sastra. Seperti biasa, ia rutin menawarimu rokok meski basa-basi saja dan selalu kamu menolaknya. Dan bagaimanapun kamu bertanya kemana kemarin ia pergi hingga tidak mengajakmu makan di kantin, gadis itu hanya tersenyum. Katanya sahabat baik selama belasan tahun, tapi bisa tega begitu tidak mengajak pergi ke kantin, demikian candamu.

“Pacarmu kabarnya gimana?” tanya gadis itu tiba-tiba, disusul wajahmu yang kini berubah menjadi merah.

Sepulang kuliah, kamu berencana mengajak sahabat baikmu itu mampir ke toko perhiasan, membeli cincin dari hasil kerjamu selama dua tahun.


Catatan:

15 Februari 2021

Akhir-akhir ini, saya bukannya mengalami kebuntuan menulis tapi justru mengalami kebuntuan bikin judul. Ya sudah, pokoknya ada judulnya aja begitu...

Ini nyolong foto Valda karena dia fans berat Umbu Landu.

***

Umbu Landu meninggal dunia pada Selasa, 6 April 2021.

***

Ketika awal ditulis, fiksi mini ini berjudul Enaknya Dikasih Judul Apa Hyunk?

Jumat, 17 Juni 2022 baru nemu judul Pertalian.

Monday, February 8, 2021

Ada Kasus Kekerasan Seksual, Aku Harus Apa?

 


Ada kasus kekerasan seksual...

Aku nggak ngerti psikologi...

Nggak ngerti hukum...

Bukan aktivis...

Nggak punya akses membantu...

Lalu aku harus gimana?

1.   Nggak usah menegasikan kasus



Kita nulis di media sosial isinya,’Kalau aku nggak ikut bahas yang lagi ramai ya.’

Kalau nggak mau ikut bahas, diam. Penyintas ada di sekitar kita dan cara menulis macam demikian hanya membuat mereka merasa kejadiannya nggak valid. Ada perasaan,’Temanku menganggap ini nggak penting, berarti akunya aja yang bawa perasaan.’

Yakinlah di sekitar kita ada penyintas. Penyintas ini bahkan bisa dari teman terdekat kita sendiri atau orang yang nggak kita duga-duga. Mereka sedang melihat keberpihakan kita dan berani bersuara tergantung dari itu semua.



2.   Kita berhubungan baik dengan pelaku? Rem dulu



Selagi belum ada kejelasan nasib penyintas, nggak usah tunjukkan kedekatan dengan pelaku. Misalnya habis ngopi bareng lalu bikin story atau membagika  karya tulis pelaku di media sosial kita.

Ingat, para penyintas ada di sekitar. Bisa jadi itu teman terdekat kita sendiri ataupun orang yang nggak diduga-duga.

Menunjukkan hubungan baik dengan pelaku sangat tidak strategis bagi kondisi psikologis penyintas. Penyintas akan berpikir,’Temanku berteman baik dengan pelaku, jadi aku nggak boleh ngomong daripada merusak pertemanan mereka.’ Atau,’Temanku ngopi dan promo karya pelaku, berarti dia ada di pihak pelaku.’



3.   Punya cukup keberanian? Mari, tunjukkan sikap...



Yang berat ini sih. Apalagi kalau pelaku punya hubungan baik dengan kita, lebih-lebih yang selama ini hubungannya merasa pakai simbiose. Jadi ini hanya bisa dilakukan untuk kita yang cukup punya keberanian, yaitu dengan membagikan kasus pelaku di media sosial.

Mau kasih caption atau pernyataan sikap tapi berat? Nggak usah pakai pun nggak mengapa, cukup bagikan. Demikian membuat penyintas percaya diri untuk bersuara semacam,’Oh, temanku membagikan kasus ini. Berarti dia percaya denganku.’

Mengutip Anindya Restuviani Holaback Jakarta via Asumsi.co...

“Percaya pada korban sebelum terbukti sebaliknya adalah kunci utama, bukan malah menuduh aduan tidak berdasar. Butuh waktu dan kekuatan yang besar bagi korban  untik mengungkap kejadian yang mereka alami.”



4.   Nggak punya kapasitas tapi kepo? Rem dulu...



Berapa banyak dari kita yang ketika kasus naik, malah kepo seiapa yang menaikkan kasusnya dan siapa penyintasnya? Kalau ada perasaan seperti ini, tahan dulu. Apalagi tujuannya hanya kepo, tanpa kapasitas mendampingi secara psikologis maupun hukum.

Memangnya selain memenuhi rasa penasaran kita, hal apa sih yang dicari dari kepo-kepo begini? Kalau sudah tahu siapa yang menaikkan kasusnya lalu apa? Kalau sudah tahu profil penyintasnya lalu apa? Dijadikan bahan obrolan di tempat kita nongkrong supaya terlihat,’Aku lho yang paling tahu banyak informasi.’ Begitu?

Jadi hal apapun yang kita rasa nggak menyumbang pemulihan penyintas, baiknya direm dulu.


Catatan: Pernah diunggah di Instagram story dan feed, pertengahan 2020.

Wednesday, February 3, 2021

Perayaan Moral

 

Sumber: Gugel


Teman saya satu fakultas, Iwed, dua hari lalu menceritakan pengalaman buruknya dengan seorang teman kos. Si teman ini menegur siapa saja anak kos yang keluar tanpa jilbab, di depan umum. Lebih jauh ia memarahi, bukan hanya menegur.

Iwed tentu saja pernah kena. Ia kala itu membeli gorengan di depan kos, tanpa jilbab. Meski sekali lagi, dia bukan satu-satunya. Hingga entah bagaimana warga satu kos akhirnya tahu si ia ini punya foto ciuman dengan pacarnya, juga foto tidak berjilbab di tempat umum. Semua heboh dan hilang respek.

Kehebohan dan hilang respek itu berakhir dengan kalimat,”Kenapa sebagai sesama pendosa saling menghakimi?”

Namun saya justru menggarisbawahi bahwa teman Iwed sesungguhnya adalah korban. Tapi bagaimana bisa?

2019 lalu, Celine mengobrol dengan saya soal temannya yang suka sekali berkomentar bahwa baju teman kami yang lain tidak sopan. Si teman lain ini adalah mbak-mbak berusia lebih tua, sama pintar dan produktif juga seperti yang berkomentar itu.

Sempat membatin sih saya, ini jangan-jangan yang memang nggak bermoral saya dan Celine. Jadinya waktu mbak tersebut pakai rok selutut dan baju tanpa lengan, ya menurut kami biasa saja. Meski teman-teman lain ternyata juga berpendapat sejenis tentang mbak tersebut. T... Tunggu, jangan-jangan moral kami yang bobrok berjamaah?

Padahal, Celine bilang banyak saksi soal temannya itu bertukar lidah dan permen dengan laki-laki di sembarang tempat tanpa peduli kenyamanan orang yang tidak punya kaitan dan ada di sekitarnya. Siapapun yang membaca tulisan ini barangkali akan membatin, dia aja begitu, terus kenapa pakai ngomen pakaian perempuan lain?

Komentar soal baju teman lain yang tidak sopan itu terus didengar Celine selagi masih diberi keakraban palsu dan dieksploitasi sepanjang 2018. Sedang setahun sebelumnya, teman Celine itu masih getol mendekati dan hendak mengeksploitasi saya. Ia saya ingat, sepanjang 2017 juga memberi komentar yang bertema moral tentang teman perempuan kami yang namanya Tiara...

Di depan saya, teman Celine kala itu mengomentari Tiara yang punya hubungan terbuka dengan pacarnya. Artinya, mereka berpacaran namun sama bebas berhubungan seksual dengan orang lain.

Mundur lagi setahun sebelumnya, 2016, si Tiara ini pernah juga mengomentari teman kami yang suka menulis fiksi bertema keperawanan. Ia terang-terangan penasaran apa si penulis betul mengalami yang katanya kehilangan keperawanan. Masih dengan terang-terangan, ia mengaku sedang mencari tahu. Ini belum soal si penulis itu ia katakan suntik putih setelah putus dengan pacarnya dan berubah jadi stylish sekali.

Tiara agaknya curiga, si penulis kehilangan sesuatu setelah berpacaran dengan lelaki yang waktu itu. Jadi setelahnya, si penulis dinilai Tiara move up habis-habisan.

Oh, tidak. Teman Celine dan Tiara bukan orang-orang tanpa akses belajar. Mereka justru kenal feminisme jauh sebelum saya. Malah temannya Celine yang meminjamkan buku soal feminisme dan Tiara yang memperkenalkan komunitas feminis kepada saya.

Tapi bagaimana bisa orang-orang yang memiliki akses pengetahuan soal feminisme justru menggunakan isu ketubuhan sesamanya untuk menjatuhkan?

Diakui atau tidak, teman Celine maupun Tiara adalah korban sekaligus pelaku patriarki. Secara teori mereka paham bahwa cara berpakaian, pula keperawanan dalam artian ‘utuhnya’ selaput dara, tidak boleh jadi indikator menilai moral seorang perempuan.

Kalau kamu tanya mereka tentang dua teori tadi, mereka akan menjawab lebih dari jelas soal kebiasaan menilai moral perempuan dari pakaian, bisa berujung kekerasan. Juga tidak semua perempuan terlahir dengan selaput dara...

Baik temannya Celine maupun Tiara, sesungguhnya kecewa dan tidak siap akan pilihan tentang ketubuhan mereka. Tubuh mereka menyenangi pilihan itu namun mental mereka sanksi. Meski mengetahui teorinya, mental mereka masih meyakini perempuan yang kontak fisik sebelum menikah artinya sudah tidak utuh sebagai manusia. Sebetulnya narasi ini jelas kita semua terima sepanjang hidup, semenjak kali pertama bisa mendengar. Bertebaran pula di keluarga, kerabat hingga masyarakat.

Teman Celine maupun Tiara, adalah korban narasi demikian hingga setelah keputusan atas ketubuhannya, mereka merasa tidak lagi utuh sebagai manusia meski sayangnya... Mereka pun kemudian menjadi pelaku. Kedua perempuan ini menutupi rasa tidak utuh atas tubuhnya dengan mempermasalahkan perempuan lain. Yang demikian tentu tidak mengobati, meredam sementara saja iya.

Jadi apakah teman satu kosnya Iwed mengalami hal serupa? Bisa jadi. Selama itu, ia menutupi rasa tidak utuh atas tubuhnya dengan mempermasalahkan perempuan lain. Dan ya... Mereka semua yang ada di kos itu menjadi korbannya.

Sekarang pertanyaan kembali kepada kita. Jika menyoal ketubuhan kita semua ternyata korban patriarki, akankah kita juga menjadi pelaku? Keputusan apa yang akan kita ambil terhadap tubuh masing-masing? Dan kesiapan seperti apa yang menyertai?

Catatan: sambil nunggu laptop bener, saya unggah tulisan-tulisan yang diketik lewat ponsel. Seluruh nama telah disamarkan.

Edit Rabu, 30 Februari 2021.

Ada nama-nama yang saya sebut ternyata bersikap abu-abu dan pura-pura tidak tahu ketika ada kasus kekerasan seksual (KS). Untukmu yang terlanjur terpantik membaca nama mereka sebelum diganti jadi alias, saya mohon maaf. Tulisan ini juga tidak akan dihapus karena sebagai pengingat.

Dengan ini saya menyatakan, selanjutnya tidak akan mendukung karya orang yang terlanjur disebut dalam bentuk apapun.

Monday, February 1, 2021

Yuhu, Gengs...

Setelah menikmati serunya kemungkinan lain soal menulis selama satu bulan, dah niat tuh saya unggah tulisan lagi di sini, dengan jadwal normal selama Februari. Eh, laptop yang isinya jadwal dan tulisan-tulisan malah sekong dongs.


Ya nggak mengapa, kalau hilang pun tinggal nulis lagi. Saya pernah kehilangan puluhan tulisan dari ponsel dan tetap lanjut nulis lagi kok, 2018 lalu.


Sehat selalu ea gengs...

Meski...

Meski luka, sakit dan kematian adalah sebuah keniscayaan yang mana...

Heuh, panjang kalau tema-tema begini diteruskan tuh.


Omong-omong, selain untuk simpan kontak biar nggak semua orang akses nomor WA, kamu ada usulan nggak sosial media saya mau dibuat apa?


Sejak 2019 saya sering bingung para sosial media ini hendak dipakai apa. Sering deaktif dan terakhir, Instagram isinya resensi.


Semalam, dosen jenius kesayangan jamaah PLS, Pak Guntur Waseso WA apa betul saya hilang dari Facebook. Memang sudah enam bulan... Ah, hampir delapan bulan malah.


Pak Guntur menyatakan kangen dengan komen-komen saya di Facebook. Memang untuk bapak dan ibu sepuh di fakultas tuh, jaminan rindu kalau dah kenal ritual komenan dengan saya.


Namun tetap saya bingung. Karena jika aktif pun sosial media hendak digunakan sebagai apa? Jadi baiklah, untuk simpan kontak saja kalau begitu, tetap. Diisi resensi bukunya teman sendiri juga harus.


Di tulisan yang entah kapan, saya akan ceritakan pengalaman menemukan kemungkinan lain dalam menulis. Juga soal akun Instagram yang baru saya buat untuk kemungkinan itu. Masih akun itu yang isinya hanya teman-teman yang betulan minat mengikuti atau sama-sama menulis. Itu pun nama akun saya bagikan lewat jaringan pribadi.


Setelah menjalani tuh, saya jadi tahu kalau menulis memang tergantung niat kita. Niat saya dapat teman misalnya, bersambut betulan di sana. Selama itu, saya memang dapat teman baru yang kualitas obrolannya menyentuh haticuuu... Yang meski foto profilnya bunga atau buku, yang meski mereka sempat hanya tahu foto muka saya yang cuma separuh itu.


Oalah, ini tulisan sebetulnya hanya mau mengabarkan bahwa saya masih hidup kok.


Love.