Sumber: Gugel |
Tahun lalu, saya menerima sebuah kesadaran baru. Bahwa ternyata spektrum orientasi seksual saya hetero, namun ada namun ada demiseksualnya** juga. Salah satu indikasinya, tanpa sadar saya menerapkan hubungan platonis pada siapa saja dan inilah sumber masalahnya...
Mula-mula sebuah email saya kirimkan pada yu Siti akhir
tahun lalu. Saya jabarkan pemahaman-pemahaman baru ini. Saya tarik pula
limpahan kekesalahan pada teman lawan jenis yang kerap tiba-tiba pergi tanpa
sebab jelas. Ya, dulunya saya menggerutu soal mereka itu begini, kenapa berteman
saja susah sekali sih mereka ini? Kalau memang ada rasa sekalipun, berteman aja
terus tetap saling dukung. Susahnya di mana sih?
“Bukannya biasanya ada bedanya ya? Antara teman dan
bukan?” salah satu balasan yu Siti lewat email.
Tidak. Nyatanya tidak ada beda sikap saya dengan siapa
saja. Cinta saya adalah cinta pertemanan yang celakanya, saya betul tidak paham
bagi mayoritas orang ini ganjil. Bagi orang-orang dominan hetero, tanpa status milik
ternyata hal menyakitkan.
Hingga dalam kesadaran baru itu, saya menemukan jalan
tengah. Saya tidak mungkin memaksa diri menerima ikatan-ikatan ala dominan
hetero, pun mereka tidak mungkin memaksa diri menerima hubungan platonis ala
aseksual. Jalan tengah ini hendak saya terapkan ketika kelak bertemu entah
siapa lagi di depan sana.
Ternyata tanggal 10 Februari 2021, teman lama saya
menelepon malam-malam. Kami terakhir berkirim WA 2019...
“Harapannya, kita pacaran serius...” ucapnya di tengah
percakapan.
Teman saya ini mengakui, ia dulunya pergi karena
merasa tidak mendapat apa yang dia mau. Kami sepakat saling membuka pintu dan berdecak,
ini kenapa bisa waktunya pas?
Dia tetap seseorang yang saklek, apa-apa diekspresikan
langsung, tidak takut dengan penolakan juga. Lebih jauh, benar dia seorang hopeless
romantic, selama hampir sembilan tahun berjalan masing-masing dan makin
tambah parah saja. Sedang saya pun tetap pla...
Kemudian tanggal 12 Februari 2021, saya ajukan sebuah
proposal jalan tengah. Pernikahan adalah satu-satunya hubungan romantis yang terpikir
mampu saya jalani, tidak dengan pacaran. Maka kami pun sepakat, tiga bulan
komunikasi lalu istikharah adalah jalan paling adil.
Pada hari-hari berikutnya, saya mengenalinya sebagai seseorang
yang penuh kata cinta, hangat dan bisa diandalkan. Dan pada hari-hari
berikutnya ia mengenali saya yang ikatan-less.
“Aku pulang...” begitu kata si hopeless romantic
ini beberapa kali.
Dia memang selalu begitu, menjelma jadi tokoh utama,
mempercayai alam semesta sengaja memberikan pertemuan-pertemuan ajaib dalam
sebuah kisah cinta. Mengibaratkan saya sebagai rumahnya secara sepihak yang
ternyata berbalas...
“Seandainya aku katolik, aku mau jadi biarawati dan
seandainya aku budha, aku mau jadi bikkuni.”
Menariknya, kami yang sekarang sama-sama mampu saling
memahami. Saya yang tidak mungkin memaksa diri sepenuhnya dalam dunia hopeless
romantic dan dia tidak mungkin memaksa diri sepenuhnya dalam dunia plantonic.
Kami pun bersepakat, kelak jika jawaban dari semua
proses ini ternyata tidak; selanjutnya persaudaraan mesti terus dijalin.
Sebaliknya jika jawabannya iya; kami ingin saling dukung, membina diri
masing-masing meski sama tidak ingin menikah dalam waktu dekat.
Jadi... Makan es krim pinggir minimarket lagi yuk... Dan selamat 27 ya.
**Catatan:
Untuk spektrum orientasi seksual, masih dalam proses saya pelajari termasuk dengan melibatkan profesional. Hasil akurat belum didapatkan.
Sabtu, 08 Mei 2021.
Ego kepemilikan memang bikin sulit untuk saling bertemu.