Monday, December 5, 2022

Tak Melulu Nestapa: 5 FTV dengan Cerita Perempuan Berdaya

Sumber: Magdalene.co


Dapat pula dibaca di Magdalene.co

Film Televisi (FTV) dianggap dekat dengan ibu rumah tangga sebagai konsumennya, sehingga lebih menceritakan perempuan sebagai poros cerita. Salah satu penyedia FTV adalah stasiun televisi Indosiar dengan jam sangat padat.

Pada jam-jam utama di pagi hingga sore hari, FTV di Indosiar tayang dengan sejumlah topik: Pintu Berkah, Azab, Kisah Nyata, hingga Suara Hati Istri. Topik-topik ini menjadi penanda perbedaan jalan cerita. Pintu Berkah biasanya menayangkan kisah orang zalim yang kembali pada agama; Kisah Nyata tentang kehidupan sehari-hari seperti kehidupan rumah tangga dengan laki-laki yang bisa juga menjadi korban; Azab menayangkan orang-orang zalim yang mengingkari agama; sementara Suara Hati Istri, dapat ditebak, adalah tentang kehidupan berumah tangga dengan perempuan sebagai korban.

Sebuah artikel di Magdalene, “Sinema Indosiar, Perempuan Durhaka dan Derita Nestapa”, menunjukkan bagaimana FTV adalah tayangan patriarkal. Itu tidak dapat disangkal, tapi saya tidak sepenuhnya mendapat pengalaman menonton serupa. Dengan tim penulis yang semestinya terdiri dari banyak orang, tidak sedikit pula FTV yang menggambarkan perempuan dengan berbagai perlawanan dan pilihan hidupnya.
Dengan segala kekurangannya, berikut lima rekomendasi FTV yang menampilkan perempuan-perempuan berdaya.

1. Ego Tinggi yang Akhirnya Menghancurkan Pernikahanku

Astrid (Gita Sinaga) bersuamikan pengusaha sukses, dan keduanya dianugerahi seorang putri remaja. Masalah timbul saat Astrid memulai bisnis dari hobinya mendesain pakaian. Suaminya yang super sukses itu ternyata memiliki maskulinitas rapuh. Ia tidak ingin putri mereka menjadikan Astrid sebagai idola selain dirinya dan ia menganggap istrinya sendiri sebagai pesaing.

Kekerasan psikis pun mulai gencar dilakukan suami Astrid. Dalil agama seperti “kedudukan suami yang lebih tinggi”’, ejekan di depan putri mereka dengan kalimat “ibumu enggak bisa apa-apa”, hingga upaya selingkuh dengan alasan pelampiasan karena kesibukan istri, dilancarkan sang suami hingga Astrid sempat goyah dan melepas usahanya.

Namun berbagai teror dan usaha menjatuhkan dari sang suami masih terus diterima Astrid. Selingkuhan suaminya pun ternyata juga diperlakukan serupa Astrid ketika coba mengaktualisasikan diri lewat hobi memasak yang mulai menjadi bisnis.

Di akhir cerita, Astrid justru bangkit. Ia bangkit bukan dengan menikahi lelaki lain yang jadi penyelamat, namun justru dari bisnis dan kemandirian. Putrinya pun diajarkan untuk jangan pernah merasa saling mengalahkan dalam berumah tangga.

2. Saat Aku Miskin Suamiku Pergi Ketika Aku Kaya Suamiku Kembali

Penyanyi Dewi Perssik dan Dirly Idol berperan sebagai pasangan suami istri. Dewi digambarkan sebagai seorang istri yang sangat domestik, dengan seluruh kebutuhan ekonomi dipenuhi sang suami. Sebagai istri, Dewi pun sangat maksimal dalam mengurus rumah dan kebutuhan suami. Namun hal itu tidak mencegah suaminya untuk selingkuh.

Demi putri mereka satu-satunya, Dewi pun berusaha mempertahankan pernikahan. Tapi sang suami mengabaikan mereka berdua dan keduanya terlunta-lunta. Dewi mulai bangkit dengan membuka usaha kuliner. Ia mampu membuka lapangan kerja, menghidupi diri, juga putri semata wayangnya. Sang suami, yang bisnisnya jatuh, hadir kembali dan meminta maaf. Namun ia kemudian malah menjadi benalu. Pada akhirnya, Dewi menyadari ia mesti tegas memilih atau selamanya terluka.  

3. Kenapa Laki-laki Bebas Berkhianat dan Istri Harus Menerima?

Lagi-lagi cerita tentang perselingkuhan suami terhadap istri. Aktris Della Puspita berperan sebagai Diana, perempuan bekerja, yang difitnah suaminya berselingkuh untuk menutupi kebrengsekannya sendiri. Apakah Diana berbesar hati dan pasrah? Tidak, ia dengan penuh keberanian berpisah dari suami yang beracun.

4. Kesuksesanku Dijadikan Alasan Pengkhianatan Suamiku

Sama dengan “Ego Tinggi yang Akhirnya Menghancurkan Pernikahanku”, FTV ini juga mengusung tema suami yang memiliki maskulinitas rapuh. Suami tokoh utama, Astrid, menghadang keinginannya untuk berperan di ranah publik lewat pameran desain, dengan dalih “istri wajib melayani suami.” Sang suami kerap mengejeknya karena

Suami Astrid begitu tersinggung ketika mendapati undangan yang datang ke rumah mereka ditujukan “Kepada Astrid dan Suami’. Undangan-undangan tersebut memang datang dari relasi bisnis dan teman-teman Astrid. Sang suami menganggap namanya yang tidak disebut dalam undangan sebagai penghinaan.
Astrid kemudian dihadapkan pada perjuangan panjang ketika sang suami berselingkuh dengan dalih diabaikan istri yang sukses.

5. Penyesalanku Akibat Memilih Suami yang Salah

Berbeda dengan judul-judul sebelumnya, FTV ini bukan menceritakan suami sebagai sumber masalah. Cerita dimulai dengan Tania yang dianggap telat menikah oleh lingkungannya. Ia sebetulnya memiliki trauma akibat perselingkuhan ayahnya. Kecurigaannya pada laki-laki diperkuat dengan lingkaran pertemanan, yang terdiri dari perempuan mandiri secara finansial, yang selalu membisikkan kecemasan soal rumah tangga kepada Tania.

Saat menikah, Tania dan suaminya yang sebetulnya setia kemudian berpisah akibat pertengkaran dan rasa curiga terus menerus hadir. Takut dengan stigma janda, Tania kemudian menikah dengan suami kedua yang ternyata benalu. Ketika mengadu pada teman-teman, justru dia yang disalahkan.

Tania akhirnya memilih tegas mengakhiri hubungan dengan geng pertemanan dan suami keduanya yang beracun. Ia kembali kepada mantan suami pertama, dengan mengakui trauma masa lalu masing-masing. Tania telah berubah menjadi lebih kuat, mandiri, dan tidak ambil pusing dengan stigma masyarakat.

Sebetulnya masih ada judul-judul FTV lain yang tidak mengandung nilai patriarkal. Hal ini positif, menurut saya, karena tidak semua perempuan memiliki akses lingkungan dan pengetahuan untuk membaca Magdalene atau buku-buku pemikir feminis.

Barangkali nilai-nilai mengenai perempuan yang mendukung sesama perempuan, melawan lingkaran kekerasan, hingga kemandirian bisa teman-teman sekalian dapat dari bacaan dan tontonan yang jauh dari FTV, tapi bagaimana dengan perempuan lain? Belum tentu. FTV di sini justru bisa menjadi media yang lebih membumi dalam menyebarkan nilai-nilai tadi.

Jalan cerita dari judul-judul FTV di atas pun tidak hendak membandingkan mana yang lebih baik antara perempuan yang berperan di ranah domestik maupun publik. Perempuan dari kedua ranah tersebut masih juga bisa menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan, selagi para pelakunya memang memiliki itikad buruk. Perempuan yang memilih berperan di ranah domestik bukan berarti tidak berdaya, sedang yang memilih berperan di ranah publik pun bukan bertujuan untuk bersaing dengan para lelaki. Para perempuan ini memiliki pertimbangan yang sesuai dengan keadaan diri dan lingkungan yang melatarbelakangi hendak berperan di ranah mana. Berperan di ranah domestik maupun publik, keduanya sama mulia lagi progresif.

Monday, November 21, 2022

Bilang Cinta

Yeonhee dan Han Sinwoo Lookism. Sumber: Webtoon


Semua orang mampu bilang cinta dan memerlakukan orang lain seperti sedang dicintai.

Buku-buku bilang, orang mencintai dengan memberi kembang.

Film-film bilang, orang mencintai dengan mengelus rambut atau berciuman.

Para tetangga bilang, orang mencintai dengan membawa mahar.

Kamu mampu bilang cinta? 

Thursday, November 3, 2022

Totto Chan; Jumpa Jati Diri di Blog

 

Sumber: Dokumentasi pribadi

Main blog dari SMP dan baru 2015 betulan tahu apa yang mau ditulis di sana. Jadi seorang teman yang jadi salah satu guru menulis saya itu merekomendasikan harus baca Totto Chan. Si teman ini dah jam terbang tinggi begitu, jadi satu atau dua kali baca karya tulismu apapun itu, dia bisa bagi saran butuhmu apa bahkan lebih jauh bisa gali masa lalumu gimana.

Dan betul, butuhnya saya memang baca Totto Chan karena setelahnya saya jadi makin mantap menulis kenangan-kenangan masa kecil yang sebelumnya memang sudah dimulai sedikit di blog. Bedanya, format menulis saya itu kenangan masa kecil ditambah pemahaman ketika dewasa ditambah ilmu pola asuh.

Jadi ketika kamu baca tulisan saya yang jenis ini, bisa sekaligus ditemui tuh Poppy anak-anak dan Poppy dewasa. Kapan lagi kan dalam satu tulisan ada satu orang beda jaman, sedang bapak atau ibu kita sendiri banyak yang tumbuh dewasa dengan ingatan sebagai anak-anak yang terputus.

Salah satunya saya pernah menulis perbedaan pola asuh ibu dan nenek. Banyak dari kita pasti mengalami ini juga. Jadi ibu saya tuh super disiplin, rapi dan anti kotor, sedang nenek jauh lebih lunak, tidak teratur dan bukan masalah jadi kotor. Kalau dengan ibu, main air bersih saja saya betulan tidak berani, sebaliknya nenek yang justru santai saja menunjukkan serangga kepada saya dan bahkan membantu mengoleksi tutup botol.

Nah, setelah cerita ingatan ketika anak-anak begitu, saya tambah apa yang dicerna ketika dewasa plus ilmu pola asuh. Bahwa ibu punya maksud sendiri dengan kedisiplinannya, pula nenek dengan sikap santainya. Pola asuh keduanya sama-sama punya nilai kurang dan lebih. Sangat manusiawi ketika pola asuh memang tidak ada yang sempurna.

Upaya saya menulis macam begitu pun sebagai kartasis yang ampuh sekali sih ternyata. Karena memori saya terlalu detail sejak usia satu setengah tahun dan sempat bikin stress karena tidak terkendali.

Pengalaman personal setiap orang soal pola asuh tuh, dijamin tidak ada yang sama persis dan cerita model di atas adanya di rumah dijitel saya https://semangkaaaaa.blogspot.com dengan label ‘ngoceh pendidikan’.

Sunday, October 30, 2022

Potret Tanpa Kamera

 

Sumber: 30 Hari Bercerita

Tulisan ini adalah upaya mengurai ingatan yang terlalu detail sampai pernah bikin depresi di usia 21 tahun. Ya, bayangkan saja, saya dulunya nggak bisa memilih ingatan apa yang mesti tinggal dalam kepala. Sudah begitu, ingatan ini dimulai di usia satu setengah tahun.

Ini adalah denah kelas semasa saya Taman Kanak-kanak. Ada dua pintu yang kini saya kenali sebagai utara dan selatan. Pintu selatan menghadap ke halaman belakang yang isinya mainan semacam perahu perahu besar dan pintu utara menghadap ke halaman depan yang isinya mainan semacam perosotan.

Ada empat bangku yang terdiri dari dua persegi panjang dan dua persegi. Bangku persegi panjang diisi sepuluh anak, sedang bangku persegi diisi empat anak. Kalau kamu lihat lingkaran kuning itu, di situ saya duduk sampai lulus Taman Kanak-kanak.

Semalam, saya ingat Romadhon, teman yang SJW itu duduknya di mana. Tapi ternyata, pagi ini ingatan itu sudah lepas. Iya, Romadhon ini pembela kebenaran. Pernah saya ceritakan di blog bagaimana dia di antara perebutan kursi merah yang jumlahnya tidak banyak. Dia tidak mau kursi merah, tapi selalu mengembalikan kursi merah yang direbut pada pemiliknya.

Sedang di meja empat yang dekat pintu utara itu, ada... Sebut saja dia Mikasa begitu ya. Mikasa ini duduk tepat di kiri saya dan sama kuat dengan Romadhon. Anak ini bisa mempimpin, banyak bossynya juga dan budak cinta dengan teman sebangkunya bernama Eki.

Jadi tiap pagi, si Mikasa berburu kursi merah dengan merebut milik siapa saja untuk dirinya dan Eki. Nggak jarang, anak ini bertengkar juga dengan si SJW Romadhon, sudah begitu hampir selalu depan bangku saya pula.

Tentu saja semasa Taman Kanak-kanak, saya bukan tokoh utama seperti Romadhon, bukan juga Mikasa apalagi Eki. Sejak kecil saya memang sudah jahanam, suka nonton pertikaian, mengamati dan next levelnya... Hari ini dibuat bahan ghibah ketika dewasa. Bisa jadi jika di dunia shinobi, saya ini tipe ninja sensor macam Karin.

Akhir sembilan puluhan, kamera tentu saja mewah. Sekolah pun terlihat pegang kamera hanya ketika kegiatan besar saja. Dan ternyata, punya memori kegedean begini ada asyiknya juga.

Thursday, October 13, 2022

Tipu

Sumber: dokumentasi pribadi, pinjam properti Rifana


Siapa-siapa saja bisa dengan mudah mengaku cinta. Tapi siapa-siapa saja bakal pula sulit menipu ingatannya sendiri.

Seperti bagaimana sebuah kembang ungu keheranan pagi itu dipotret oleh seseorang. Kembang itu tahu banyak kelopak serupa dirinya dan orang-orang bahkan tidak menamai dia.

Selanjutnya ia melihat seseorang itu memencet-mencet tombol ponselnya, seperti mengirim foto dirinya pada yang lain.

Gunung terasa lebih dingin. Serupa bagaimana orang itu sekadar ingat pada yang lain.

Seperti bagaimana sebuah kembang putih keheranan pagi itu dipetik oleh seseorang. Kembang itu tahu tidak banyak kelopak serupa dirinya dan orang-orang menamai dia keabadian.

Selanjutnya ia melihat seseorang itu bergumam, bertekad bakal mengirim kembang itu ke rumah yang lain.

Gunung terasa lebih hangat. Serupa bagaimana orang itu betul-betul ingat pada yang lain.

Wednesday, September 28, 2022

Anak-anak itu yang layak dipilih... (Pengalaman Nonton Curahan Hati Perempuan TRANS TV)

 

Sumber: Gugel

2015 lalu, Maudy Koesnaedy sempat memandu acara yang cukup apik di Trans TV, Curahan Hati Perempuan. Salah satu episode yang paling saya ingat, seorang perempuan datang membawa putranya yang punya kelainan penyakit dalam. Putranya itu dia adopsi dari panti asuhan setelah menahun ia kesulitan punya anak.

Para pengurus panti sudah mengingatkan bahwa anak ini sakit, toh biasanya seseorang bisa dipastikan mengadopsi anak-anak yang sehat sebagai jaminan masa tua. Tapi perempuan ini malah menangis dan kembali ke kamar calon putranya itu tidur, memandanginya dari jauh. Namun dengan berbagai pertimbangan, ia pulang tanpa membawa si bayi.

Sesampainya di rumah, ia menceritakan pada ibunya bagaimana ikatan bisa tercipta antara hatinya dengan si bayi sakit. Hatinya menginginkan bayi itu, tapi apakah benar ia akan mengambil seorang bayi yang sakit? Hingga ibunya pun bertanya,”Apa niat kamu sebetulnya mengadopsi anak?”

Perempuan itu lagi-lagi menangis dan bertanya pada dirinya sendiri apa sesungguhnya niat dia memiliki anak? Apa sesungguhnya yang ia cari dari mengadopsi anak? Mengapa anak-anak sakit selalu jadi yang tidak terpilih?

Pada akhirnya, perempuan itu pun kembali ke panti. Si bayi sakit dibawa pulang, ia rawat dan biayai bersama suami hingga hari itu duduk dengan mata cerah di hadapan Maudy Koesnaedy, menyapa pemirsa Curahan Hati Perempuan. Saya menangis dan lagu Nobody’s Child seolah terdengar...

People come for children 

And take them for their own

But they all seem to pass me by 

And I am left alone

I know they'd like to take me 

But when they see I'm blind

They always take some other child 

And I am left behind

Saturday, September 17, 2022

Kereta (6)

Sumber: Dokumentasi Pribadi


Bau shamponya seolah menusuki hidungmu, meski ajaibnya air malah mengucur dari celah matamu.

Kereta terus berjalan. Sepatu bootsmu yang baru dibeli tiga minggu lalu menarik perhatian seorang balita di hadapan.

Dengan sungkan ibu balita itu menanyakan beli di mana, harga berapa, apa ada ukuran dua puluh empat juga pernyataan ia pernah juga patah hati.

Kamu terbahak dan bau shampo itu makin menusuki hidungmu.

“Nomor dua puluh empat ada, Mbak. Tunggu Tiktok mereka live saja biar dapat potongan harga.”


Monday, August 29, 2022

Istikharah, Pemaknaan Seni Mencintai Erich Fromm -4-)

Sumber: Seni Mencintai halaman 91

Ia ada bahkan jauh sebelum kulit dan daging dilekatkan pada tubuhmu. Jadi kamu tidak sendiri ketika merasa takut bertemu dengannya, sengaja menemui apalagi.

Sebagian orang sengaja bersekutu dengan jin demi bisa mencuri informasi, menjualnya lewat kodi-kodi dan diberi tepuk tangan oleh sesamanya. Sebagian lagi sengaja menjemput dengan sholat hajat, lainnya dengan istikharah. Tapi jika kamu percaya, ada juga para aulia yang bisa memasukinya karena diri mereka sememangnya dipilih.

Sayangnya ketika masing-masing dari kita lahir, ada ego kepemilikan yang disertakan. Ego itu menyatu dalam setiap darah dan nadi, sakit luar biasa apabila terpaksa diamputasi. Sebagian orang membiarkannya mengering lalu copot sendiri, sebagian lain terpaksa membawanya sampai mati. Sebagian melihatnya sebagi media mengenal Tuhan, sedang sebagiannya lagi malah terlilit habis-habisan.

Kamu barangkali bisa mencintai orang tuamu, ada lara ketika membayangkan mereka pergi darimu karena sakit, jadi kamu mengusahakan kesembuhan bagaimanapun caranya, entah dengan menyebar kembang atau pergi ke tabib yang katanya bisa memindah rasa sakit pada binatang. Lantas muncul pertanyaan, yang demikian dinamakan kepedulian atau ego kepemilikan?

Kamu barangkali bisa mencintai anakmu, kemudian dengan berbagai lobi, membiarkannya tidak bertanggungjawab atas kecelakaan yang menewaskan beberapa orang. Kamu takut anakmu kedinginan di lantai penjara, lantas muncul pertanyaan yang demikian dinamakan kepedulian atau ego kepemilikan?

Kamu barangkali bisa mencintai seseorang. Kemudian kamu katakan padanya bahwa kalian tidak cocok dan tidak perlu lagi menjemput jawaban. Sungguhkah kamu merasa kalian tidak cocok atau takut jika jawaban yang dicari-cari ternyata membikinmu tidak bisa memilikinya?

Bibirmu pun berbisik,” Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Alloh mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuz). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Alloh.”

Saturday, August 13, 2022

Karnaval

Sumber: Gugel

Saya ketemu Mila lagi, sekitar semester empat atau lima. Dari FB mula-mula, lalu kopi darat di rumah dia.

Dulunya, Mila ini pulang pergi bareng saya semasa Taman Kanak-kanak, jalan kaki. Rumah keluarga kami sempat satu RT dan sesungguhnya ada satu anak laki-laki yang melengkapi geng pulang pergi ini.

Dengan mata terkesan, Mila bilang kami dulu pernah ingin memakai baju karnaval serupa, betul-betul tidak mau pisah. Sayangnya, di persewaan hanya ada satu baju merah dan satu baju ungu. Baju merah pada akhirnya saya pakai dan baju ungu, Mila yang pakai.

Mila ingat, kami dulu sama-sama merengek karena tidak jadi memakai baju yang sama persis. Kemudian ibu bilang, baju saya sesungguhnya sama ungunya dengan punya Mila, hanya saja kena setrika hingga jadi merah begitu. Mila tenang, pula saya. Kami berangkat karnaval dengan Mila yang terus mengingat kejadian itu dan baru bisa mencernanya ketika dewasa kemudian.

“Kita dibohongi...” pungkas Mila sambil tergelak. 

Thursday, July 14, 2022

Ketakutan, Pemaknaan Seni Mencintai Erich Fromm -3-

Sumber: Seni Mencintai halaman 30-31


Pernah saya punya seorang sahabat perempuan. Kalau ditebak sih, kira-kira IQnya superior. Pintarnya pun rata begitu. Dia bisa eksak, kerajinan tangan, bahasa asing, sampai menulis. Dia bahkan dapat nilai sempurna di salah satu mata kuliah dosen yang terkenal sulit karena mengunggulkan analisa. Namun dia selalu takut berkonflik dengan orang lain. Semua permintaan orang dia iyakan.

Sepulang kuliah dengan mata cemas dia pernah bilang,”Soal pilihan jurusan waktu kuliah, kalau aku pasti pilih maunya orang tua. Karena kalau kita ada salah milihnya, kita masih bisa kembali ke orang tua. Beda kalau kita pilih jurusan sendiri, kalau ada salah pilihnya nggak bisa kembali ke orang tua.”

Pernah juga saya punya seorang sahabat laki-laki. Dia senang sekali dengan bidang bahasa namun malah pilih jurusan ekonomi. Saking jagonya, cara bicara dia mirip dengan native padahal tidak pernah ke luar negeri. Kesehariannya yang kerap berbahasa asing pun berdampak baik buat saya semasa sekolah. Bahasa asing saya jadi ikut meningkat.

“Kata abang sama si mamah, aku mau masuk Sastra Inggris ngapain? Mau jadi guru? Ekonomi lebih banyak prospeknya.” begitu katanya ketika kami berkomunikasi lagi setelah lulus kuliah.

Dia pun bercerita bagaimana upaya kerasnya lulus kuliah, bahkan hampir menyerah. Abangnya sempat menawarkan dia pindah jurusan saja, tapi ditolak, dia pilih bertahan meski lulus dengan IP kepala 2.

Bagaimana dengan kecerdasan dan pengetahuan suka di bidang apa, kedua teman saya ini tidak memperjuangkan apa yang mereka ingin? Berdialog dengan kedua orang tua agar menemukan titik tengah pun tidak.

Namun setelah membaca Seni Mencintainya Erich Fromm saya jadi paham, inilah penyatuan simbiotik masokisme. Orang tipe ini bukannya tidak mau mengambil keputusan karena tidak tahu apa yang mereka suka, bukan juga karena tidak cerdas. Namun orang jenis ini karena berbagai latar belakang, jadi takut risiko dari mengambil keputusan. Jadilah mereka memilih menimpakan risiko tadi pada orang lain  karena mereka takut terpisah dari yang mengarahkan, memandu dan melindungi; dalam cerita ini orang tua.

Sunday, June 5, 2022

Memaafkan

 

Coreted by: Jatayu @rrobvnii

Mimpi itu punya traffic macam sosial media. Tapi jika saja saya sembarang cerita sering memimpikan orang ini sepanjang 2019, orang-orang barangkali akan mudah menyimpulkan,”Kamu ngarep sama dia ya?”

Padahal lebih dari siapapun, saya yang paling tahu mimpi yang isinya orang ini adalah bentuk trauma. Saya kerap bangun jam dua atau tiga pagi dalam kondisi menangis, merasa sesak dan marah. Di dunia nyata, saya gagal melawan dia yang sayangnya, dalam mimpi pun masih gagal juga.

Dia selalu datang dalam mimpi, menarik saya kemanapun dia mau dan rasanya sakit sekali. Lama-lama, Noval, seorang sahabat semasa SMK turut masuk dalam mimpi dan dia menarik saya pergi dari orang ini. Setelahnya, saya masih suka bangun jam dua atau tiga pagi dalam kondisi menangis, sesak dan marah. Bedanya, Noval memotong durasi mimpi yang biasanya. Jadi tiap orang ini mulai menarik saya, Noval datang dan membuat mimpi lebih cepat berakhir.

Kenangan baik dengan Noval ternyata trafficnya banyak, terekam dalam otak dan bisa juga terbawa mimpi. Jadi ini semacam traffic melawan traffic, kenangan baik melawan kenangan buruk, eksekusinya dalam mimpi.

Awal 2020 orang ini muncul lagi, namun tidak ada upaya menarik paksa atau membuat sesak darinya. Saya justru mendatangi dan memeluknya. Saya bilang padanya,”Aku memaafkanmu... Aku memaafkanmu...” meski lagi-lagi bangun jam dua atau tiga pagi dengan kondisi menangis, kali ini beda. Tangisan saya terasa lega. Tidak ada sesak atau marah di dalamnya...

Langsung saja saya mengirim WA pada Noval,”Aku mimpi dia lagi. Tapi nggak ada kamu nolong aku. Aku meluk dia dan nangis, kubilang aku memaafkannya.”

Noval pun membalas,”Harusnya memang gitu. Kamu menolong dirimu sendiri.”

***

Selamat ulang tahun lagi, Pop. Selamat juga sudah menemukan bahagia yang bahagia. Ciye, masih hidup.


Thursday, May 5, 2022

Last Seen

Panderman Malang. Sumber: dokumentasi pribadi.

Hari pertama, saya melihat last seenmu. Apa kita sama-sama tidur jam 00.54? Atau kamu bangun lagi pukul sekian?

Hari pertama, saya melihat last seenmu. Apa kamu sedang merasai kepalamu yang sakit lagi? Atau kamu sengaja sedang bersujud?

Hari kedua, saya melihat last seenmu. 17.39 sedang saya melihatnya ketika 19.22. Apa kita...

Hari ke sepuluh, saya melihat last seenmu. Obatmu sudah habis?

Friday, April 29, 2022

Seandainya yang Bertemu Kakek Suhud Itu Saya

 

Sumber: Gugel

Hari itu, seorang laki-laki tua mengikuti Baim Wong dengan menaiki motor sampai ke rumahnya. Berikutnya, berita-berita di internet mengatakan Baim membentak pria itu. Video-video menunjukkan sang kakek terluka dan menangis setelah Baim membentaknya sebagai pengemis.

Kakek Suhud nama laki-laki tua itu. Berikutnya, perdebatan menyertai dengan terbagi jadi dua kubu. Kubu pertama menganggap cara kakek Suhud mengikuti Baim menakutkan, sedang kubu kedua menganggap cara Baim menanggapi sang kakek tidak manusiawi.

Saya pun tidak mendapat gambaran mesti memilih kubu mana. Abu-abu saja begitu rasanya. Sedang 2017 lalu, pernah saya diikuti dan direkam diam-diam waktu melawan pelaku pelecehan. Video itu lantas dibingkai sedemikian rupa hingga saya seolah marah tanpa sebab.

Di kolom komentar, orang-orang merisak (membully atau melakukan bullying) terhadap tubuh saya, mengomentari sikap sebagai perempuan yang dianggap kasar, hingga ancaman kekerasan fisik dan usaha mencari identitas.

Ya. Saya adalah penyintas KBGO.

Pelaku hingga hari ini tetap melenggang, tanpa regulasi apapun menjeratnya. Ia tetap membuat konten di media sosial, mengumpulkan lebih banyak pengikut.

Sedang saya, bertahun-tahun mesti berusaha sembuh. Sempat pula menghilang sama sekali dari media sosial dan hingga kini lebih merasa aman diet digital.

Akun Instagram utama saya @trisnayantip bahkan direncanakan deaktif permanen dan digantikan akun lain khusus DM, tanpa pengikut. Tujuannya pun hanya mempermudah orang menghubungi apabila punya keperluan.

Jadi ketika perdebatan mengenai kakek Suhud beredar, saya langsung memposisikan diri sebagai orang yang diikuti sampai rumah. Apa yang saya rasakan seandainya diikuti orang asing sampai ke rumah?

Takut. Hanya itu jawabannya. Sekalipun saya sudah pulih, kenangan diikuti, direkam diam-diam, dikonfrontasi orang asing dan dirisak sedemikian rupa di dunia siber tentu masih ada.

Bisa jadi reaksi saya terhadap kakek Suhud tidak sesuai standar kemanusiaan seperti yang jadi ekspektasi banyak orang. Barangkali saya akan meminta sang kakek berhenti, jika tetap diikuti bisa juga saya lari, jika ternyata masih juga diikuti, batu barangkali bisa saya ambil dan lempar.

Atau minimal berteriak dan mengumpat? Dengan berbagai latar belakang, sayangnya saya ternyata bukan orang yang pintar mempergunakan senjata satu ini buat membela diri.

Apalagi 2018 lalu saya mesti mengalami serangan panik. Teman-teman Gusdurian Malang waktu itu harus repot menenangkan saya yang menangis dan gemetar di tengah Alun-alun kota Batu. Keberadaan orang-orang yang lalu lalang dan ramai ternyata membuat serangan panik itu muncul. Lokasinya pun memang mirip dengan pelecehan 2017 lalu.

Meski nampak tenang, di tahun 2019 perasaan defensif jadi berlipat ganda. Satu waktu seorang teman perempuan nyaris menutup mata saya dari belakang serupa film India. Kami ada di acara bedah buku waktu itu dan saya menarik pergelangan tangannya ke depan, nyaris membanting dia. Dengan cengengesan teman saya itu berkata, kok kamu ternyata defensif.

Mata saya yang mulanya cemas dan marah mendadak cair. Saya sadar sikap tenang palsu bubar malam itu. Buru-buru tangan si teman tadi saya lepaskan, pembicaraan pun tidak membahas sikap defensif yang baru saja.

Sapaan serupa film India sebetulnya saya alami juga dari teman yang lain semasa mahasiswa baru. Namun di masa itu, belum ada hal yang membuat saya mesti merasa waspada di ruang publik. Jadilah bersama si teman tadi kami tertawa bersama.

Sayangnya, kita kerap kali menilai reaksi seseorang hanya berdasar kejadian hari itu. Padahal reaksi seseorang sebetulnya juga kumulasi atas hal-hal yang sebelumnya dia alami.

Apakah orang yang tiba-tiba menunduk atau menolak waktu ada perempuan paruh baya menawarkan barang di pinggir jalan itu jahat dan tidak peduli? Bagaimana jika orang tersebut di masa kecil, ternyata pernah mendapat kata-kata kasar dari pengasuhnya yang juga perempuan paruh baya? Jadi ketika ada yang sosoknya mirip, spontan ia menghindar.

Ini seperti 2017 lalu, saya melawan pelecehan dengan tindakan fisik karena pelaku tidak kunjung berhenti dengan kata-kata saja. Jadi bagaimana bisa saya melawan dengan tindakan fisik? Ternyata dalam proses penyembuhan, saya mendapati tumpukan ketidakberdayaan di tahun-tahun sebelumnya ketika nyaris jadi korban soft rape juga dilecehkan dalam bentuk disentuh secara fisik.

Tumpukan ketidakberdayaan itu ternyata harus saya bayar dengan berjumpa pelaku pelecehan lain di tahun 2017 tadi. Yang ketika keberanian melawan itu muncul, ternyata oleh para pelaku justru dibingkai sedemikian rupa hingga mendatangkan penonton dan uang.

Hingga hari ini pun, saya cenderung kebingungan ketika mendapati orang asing mendatangi meja di ruang publik. Entah itu pengamen, penjual kartu perdana, penjual kue, mahasiswa yang sedang praktik, rasanya buru-buru saya ingin menunduk atau pura-pura tidak melihat mereka ada.

Ya. Rasa takut itu belum pulih sepenuhnya ternyata.

Saya jadi ingat kejadian pengguna motor yang terseret arus air setelah banjir 2021 lalu. Seorang laki-laki dewasa dirisak karena dalam video ia terlihat diam saja, tidak terlihat ada inisiatif menolong. Belakangan laki-laki itu dinyatakan berkebutuhan khusus.

Jadi apakah Baim Wong punya latar belakang kejadian di masa lalu sehingga membentak kakek Suhud?

Jadi apakah kakek Suhud punya latar belakang kejadian di masa lalu sehingga minta bantuan dengan cara mengikuti ke rumah?

Apakah suatu saat reaksi saya yang tidak ideal atas suatu hal di ruang publik, kelak akan ada yang merekam lagi?

Dan apakah di saat itu perisakan serupa bakal saya alami?

Semoga teman-teman yang sedang membaca tulisan ini tidak akan pernah mengalaminya.


Catatan:

Selasa, 4 Oktober 2022

Nama-nama yang disebutkan dalam tulisan ini ternyata ada yang menjadikan KDRT sebagai candaan, konten penghasil uang.

Monday, April 25, 2022

Kerumunan

Sumber: Dokumentasi pribadi. Ngepas lagi ditraktir Wiwin Januaris.

C punya naskah novel. Berkali dia tawarkan pada penerbit mana saja dan gagal. Kemudian ia bikin media sosial, dilihatnya isu kesehatan mental sedang tren, lalu ia pelajari akun-akun yang lebih dulu ada, memperpendek kalimatnya, meletakkan di antara gambar latar warna-warni.

Orang-orang mendatangi akunnya, tulisan-tulisannya begitu ringkas dibaca, menawan ketika dibagikan ulang di Instagram dan mampu menyadarkan pentingnya kesehatan mental. Mereka yakin, kepeduliannya sudah diwakili C.

Tidak lama, akun C memiliki puluhan ribu pengikut. Setelah rombak sana-sini agar ada isu kesehatan mental nyangkut dalam novelnya, ia lantas mengumumkan novelnya akan terbit secara indie. Para pengikutnya membeli dengan senang hati.

Ada keterikatan dalam hati mereka setelah C dianggap selalu mewakili isi hati dan paling memahami. Bersama C, mereka merasa tercerahkan, paling berempati dan memahami isu kesehatan mental.

“Perasaan semua orang valid.” Demikian yang diamini mereka.

Sedang H punya channel Youtube. Ia pernah membahas kesehatan mental yang sedang tren melalui podcastnya, namun sepi. Ia pernah coba mengedit video dengan latar warna-warni dan intonasi khas, tetap sepi. Belakangan ternyata channel sejenis sudah ada dan ramai lebih dulu.

Kemudian H coba menegasikan isu kesehatan mental yang sudah ada. Ia mengajak pendengarnya yakin, isu kesehatan mental hanya milik anak manja yang mudah tersinggung. Bercanda dengan segala tema di sembarang tempat pada semua orang, mereka namakan tidak ribet.

Tidak lama, channel H subscribernya meningkat pesat. Mereka yang tidak merasa terwakili lewat akun-akun kesehatan mental, kini yakin easy goingnya sudah diwakili H. Jadi berapapun iklan yang muncul tidak pernah mereka lewati.

Ada keterikatan di hati mereka karena merasa H yang paling mewakili isi hati dan paling memahami. Bersama H, mereka merasa paling tercerahkan, paling rebel dan bagian dari klub anti ribet.

“Ketersinggunganmu bukan urusanku.” Demikian yang diamini mereka.

Sebuah kutipan yang umum kamu dengar dalam seminar-seminar seperti berkelebat;

Kalau mau buat produk, sama tapi lebih baik atau beda sekalian.

C dan H sekarang sama-sama memiliki 300 ribu pengikut. Orang-orang terus mengikuti mereka dengan keterikatan serupa; merasa diwakili.

Oleh mereka, jumlah kerumunan dianggap validasi kepakaran seseorang. Tidak jarang, antar pengikut memperdebatkan sebuah isu dengan membawa nilai dari apapun yang dibagikan C dan H.

Di balik layar, C dan H bisa bayar listrik dan makan bebek tiga kali sehari. Sedang tetangga kos C yang mestinya didiagnosa depresi terselubung, sedang meringkuk dalam selimut, tidak keluar kos berhari-hari. Ia pula mulai meragukan kesakitannya valid karena komentar-komentar para subscriber H.


Catatan:

Senin, 03 Oktober 2022

September lalu baru selesai baca novel Okky Madasari judulnya Kerumunan Terakhir dan ternyata temanya juga soal media sosial.

Friday, April 22, 2022

Saklar

Saat dia menapaki ruangan itu, cahaya lampu masih menyala. Pijarnya terang sekali sampai menembus kaca dan dinding. Namun ia ternyata pilih memutar saklar sehingga pijar lampu jadi remang-remang.

Dalam diri ia berkata, bukankah remang-remang mengganggu pandangan? Mata kita bisa memaksa melihat sesuatu sampai mendelik dan jadi minus esok dan esoknya. Yang terjadi berikutnya, justru ia mendekat lagi pada saklar lalu betul-betul memutarnya hingga lampu mati.

Dalam dirinya ia berkata, bukankah gelap menutup pandangan? Mata kita mula-mula tidak bisa melihat sesuatu sama sekali, namun lama-lama mata kita bakal terbiasa juga melihat sekitar dengan cahaya seadanya. Yang terjadi pada berikutnya, justru ia mencari-cari saklar itu kembali, berharap setidaknya bisa menemukan pijar yang remang-remang itu setidaknya.

Tapi...

Friday, April 15, 2022

Tutorial Mencintai Kekasih, Pemaknaan Seni Mencintai Erich Fromm -2-

Sumber: Seni Mencintai halaman 68

Waktu kecil, kita dijejali bahwa cinta bentuknya pasti lelaki dan perempuan, berlarian di taman, berciuman, lalu menikah dan bahagia selamanya.

Waktu remaja, kita bilang ciye pada siapapun lelaki dan perempuan yang nampak duduk berdua saja, seolah sudah pasti mereka sepasang kekasih.

Waktu dewasa, kita mengasihani orang-orang yang usianya 25 tahun atau lebih tapi tidak kunjung menikah, seolah mereka tidak buru-buru menjemput yang namanya bahagia.

Erich Fromm bilang, objek cinta ada lima; cinta diri, cinta keibuan, cinta Tuhan, cinta persaudaraan dan cinta erotis.

Tiga paragraf pertama tadi, objek cinta erotis, yang eksklusif antara dua orang saja. Barangkali ada yang menyebutnya pacaran, ada juga yang menyebutnya pernikahan.

Dan ini kisahnya A, dia suka bidang bahasa namun mengiyakan saja ketika keluarga menyuruhnya masuk ekonomi. Bidang bahasa hanya membawanya jadi guru, begitu nasihat yang ia terima.

Ia pilih tidak ngotot masuk bahasa, tidak juga mencari seberapa besar potensinya di sana dan peluang apa yang bisa diciptakan sendiri.

Hari-harinya berat karena jurusan ekonomi membuatnya banyak berhitung. Hitung-hitungan ternyata tidak seringan bahasa dalam kepalanya.

Lalu A masuk english club. Dengan cepat ia didapuk jadi pemateri karena kemampuannya dianggap lebih. Kemudian ia merasa bosan, tidak ada lagi jenjang kemana pun setelah jadi pemateri.

Teman-teman menyarankannya ikut MUN. Tapi ketika ia coba masuk, hal yang dipelajari katanya terlalu luas, jadi dia mundur. Tidak ada english club, tidak ada MUN, lalu ia bertemu kekasih yang tumpuan objek cintanya sama.

Bagi A, bertukar kata cinta tidak serepot memberi argumentasi pada keluarga soal lebih suka bidang bahasa, tidak juga serepot pindah dari english club ke MUN. Hanya ada mereka, tanpa pertanyaan siapa diri, siapa Tuhan. Tanpa keluarga, teman, hobi, komunitas dan tujuan hidup.

Ketika mereka sibuk hanya berdua saja, ada teman-teman kita yang lain, sibuk mencoba satu UKM ke UKM lain di kampus, mencari mana yang paling pas. Ada juga yang belajar membaca kitab, mulai bertanya apa benar ingin menganut agama yang tertera di KTP. Ada juga yang membawa kotak di perempatan, menyanyi dan orasi untuk korban bencana alam.

Kemudian kekasih A pergi, dengan lelaki lain yang punya objek cinta erotis yang ia cari; pernikahan. Pacaran tidak lagi membuatnya aman ternyata.

A seperti dirampas sayapnya. Ia baru sadar tumpuannya hanya si kekasih. Ia tidak kenal siapa dirinya, apa yang ia ingin dalam hidup, hal apa yang bisa dikembangkan dalam karirnya.

Pergi kerja pagi, pulang petang, tanpa ada lagi si kekasih, satu-satunya orang yang bisa diajak mengobrol. Tidur di kostan di akhir pekan, tanpa hobi yang menanti. Ia juga baru sadar, tidak satu pun tetangga kost dikenalnya.

Tuhan bahkan terkekeh melihatnya menangis sesak sambil berkata,”Ngobrol denganku kan sebenarnya bisa...”

Thursday, April 7, 2022

Absen Nyawa, Pemaknaan Seni Mencintai Erich Fromm -1-

Sumber: Dokumentasi Pribadi


“Aman kah?”“

Sehat?”“

Masih hidup?”

“Asu kon...”

Empat kalimat di atas bisa jadi cara menyapa teman. Absen nyawa istilah guyonnya (meski batinmu barangkali bilang, bukannya presensi istilah yang lebih tepat ya?).

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan, 29 orang pasien mengalami gejala ringan dari total 68 kasus baru Covid-19 akibat penularan varian Omicron.” Narasi berita mulai masuk ke trending Twitter, fyp Tiktok dan televisi.

Coba tarik nafas dalam-dalam, hembus pelan dan ketik kalimat semacam yang empat tadi, kirim pada teman.

Barangkali kepada mereka yang bulan lalu bilang, sudah boyong dari pondok jadi tidak akan lagi menginjakkan kaki ke kota tempat kalian satu kampus, kecuali waktu legalisir ijazah.

Barangkali kepada mereka yang bilang, bapaknya jadi sensitif sejak sakit paru-paru.

Barangkali kepada mereka yang tiga bulan lalu melihat cinta pertamanya bertunangan atau mereka yang demam setelah vaksin.

Atau bahkan, pada mereka yang menolak menceritakan kabar terkini dan hanya menjawab dengan,”Pokoknya doakan aku baik-baik aja ya...”

Apa yang kita rasakan setelahnya?

Erich Fromm bilang, dalam cinta ada orang-orang dengan karakter produktif;

“Memberi ialah ungkapan tertinggi potensi. Dalam memberi, aku merasakan kekuatanku, kemakmuranku, kekuasaanku. Perasaan daya hidup dan potensi memuncak ini mengisiku dengan kegembiraan. Kurasakan diriku melimpah, lepas, hidup, karenanya aku gembira. Memberi lebih menggembirakan daripada menerima, bukan karena aku kehilangan, tapi karena dalam tindakan memberi ada ungkapan kehidupanku.”

Bagaimana rasanya mencintai orang lain tanpa ‘karena’? Tanpa merasa perlu mengembalikan sesuatu karena ia pernah memberi? Tanpa merasa harus memberi sesuatu karena pasti diberi balik? Menyapa dan bertanya, lepas apapun tanggapannya. Yang demikian, orang-orang dengan karakter produktif.

Dan barangkali dadamu sedang terasa hangat sekarang.

Saturday, March 26, 2022

Silam

 

Coreted by: @destianrendra

Tidak ada yang tahan jadi pacar gadis itu lebih dari tiga bulan. Bagaimana bisa ada yang tahan? Jika usianya dua puluh empat dan kerap menjerit histeris ketika pacarnya melakukan satu hal; telat menjemput.

“Ayu sih, tapi kekanakan banget...”

“S2 sih, tapi suka membesarkan masalah.”

Hingga hari itu pun tiba, pacar gadis itu terlambat sembilan menit. Mereka dua bulan berpacaran, berjumpa karena ternyata satu gedung perkantoran. Obrolan mereka pun nyambung karena gadis itu punya pengetahuan luas namun...

Kuku si gadis yang cukup panjang sudah menancap di kedua lengan pacarnya itu kini. Matanya membulat, merah dan badannya gemetar. Ia pula nyaris histeris. Pacarnya itu pun buru-buru mengibas dua tangan si gadis dan berlalu pergi. Semua kontak gadis itu ia blok dari ponselnya.

Dengan dada sesak, gadis itu hampir jatuh terduduk. Di depan matanya hanya ada sang ayah yang menepuk kepala kecilnya suatu pagi dengan janji akan menjemputnya tepat jam dua belas siang, sepulang sekolah. Ayahnya itu ternyata tidak pernah menjemputnya kembali.

Gadis itu menjatuhkan tas kantornya dan tubuhnya pun makin gemetar. Seorang anak perempuan sembilan tahun, kini sedang berdiri di sampingnya. Anak itu tidak menangis. Ia justru memegangi tali tas ranselnya dan seolah berkata pada seseorang di hadapan,”Nggak apa-apa. Papa pasti masih sibuk...”

Wednesday, March 16, 2022

Ustad Pelaku Pelecehan, Benar Hanya Oknum?

Sumber: Tiktok Kevin Ngunyen

10 Januari 2022 lalu, Kevin Ngunyen mengunggah kasus pelecehan oleh seorang ustad berinisial M di Tiktok dan Twitter. Kevin menekankan yang demikian tentu saja oknum. Kevin juga menyebut Husain Basyaban sebagai salah satu uztad yang benar-benar membela isu perempuan.

“...korban-korbannya udah banyak, bukti-buktinya terlampir jelas dan nanti bakal gue sertakan di green screen. Dan disclamier ya temen-teman, ini hanya oknum-oknum aja, nggak semua kayak gini. Masih banyak kok pendakwah-pendakwah di luar sana yang bener-bener membela isu perempuan, Husein contohnya.” -Kevin Ngunyen, Tiktok 2022-

Penggunaan istilah oknum dalam kasus ustad M, seperti merujuk dirinya yang merupakan bagian dari umat islam. Hingga ketika ustad M kedoknya terbongkar, ia masih dianggap sebagian kecil dari umat islam yang sedang berbuat bejat.

Uztad M sendiri ternyata aktif di Instagram. Jadi Husain buat saya lebih familiar dan benar, video-video pendeknya cukup bisa dicerna orang awam sekalipun. Salah satu perspektif Husain soal pelecehan seksual bisa disimak dalam video berikut.

Sumber: Tiktok Husain Basyaban

“Aib ini terikat pada pelaku, bukan korban.” Husain, Tiktok 2021.

Tapi bagaimana dengan pernyataan Kevin soal ustad M yang oknum? Mari kembali membaca tulisan di blog ini yang berjudul Terimalah, Grooming Senjatanya Nggak Melulu Persona Baik untuk memahami citra bentukan pelaku kejahatan. Sebelum itu, mari kita memahami pengertian oknum lewat esai berjudul Oknumisasi Aparat dan Politik Bahasa.

Kata “oknum” tidak memiliki terjemahan yang pas dalam Bahasa Inggris. Padanan yang paling mendekati adalah “individual.” Tapi, dalam kata tersebut tak ada citra negatif seperti yang dicitrakan “oknum.” -Triyo Handoko, Remotivi 2021-

Sedikit rangkuman, ustad M sendiri kerap mendesak para perempuan pengikutnya di Instagram untuk video call. Hal ini berlawanan dengan dakwah M menyoal interaksi lawan jenis. Ustad M pun sudah memiliki istri.

Sumber: Tiktok Kevin Ngunyen

Dan ya, ustad semacam M sebetulnya sama dengan predator lain. Ia sengaja mengambil satu identitas tertentu sebagai citra. Islam tentu bukan tidak sengaja dia pilih.

Predator bisa dengan sengaja mengambil identitas apapun untuk membentuk sistem pendukung dan menjerat mangsa. Ustad M dengan identitas islamnya, sedang para predator lain dengan identitas nasionalis atau lainnya.

Bagaimana bisa seorang predator yang sengaja menggunakan identitas islam sebagai sekadar citra, bisa dianggap bagian dari umat yang sedang berbuat jahat?

Penyebutan oknum juga tidak tepat dipergunakan dalam kasus yang terjadi di lembaga. Apalagi ketika kasusnya menahun dengan jumlah korban tidak dua atau tiga.

"Demikianlah realitas dibentuk oleh bahasa. Dalam bahasa Inggris, kesalahan institusi tidak bisa dilimpahkan begitu saja ke individu seperti penggunaan kata “oknum” dalam Bahasa Indonesia." -Triyo Handoko, Remotivi 2021-

Padahal dalam lembaga demikian, biasanya terjadi kekerasan struktural. Sebuah kasus bisa tertutupi menahun, tidak mungkin kerja dari satu orang. Pasti banyak pihak terlibat menutupi kasus hingga membungkam korban. Pihak-pihak inilah yang lantas membentuk sistem. Dan ya, sistem yang menguntungkan pelaku, tentu saja.

Jadi untuk Husain dan siapapun teman-teman, lelaki dan perempuan yang menggunakan jalur dakwah kreatif, semoga kalian tetap baik-baik di jalan. Sedang untuk kita semua, yakin masih sudi memakai istilah oknum?

Eh, omong-omong kontennya Adela Surya Pertiwi bagus. Kali lain saya bahas yes. Konten Tiktok Adel tuh semacam,”Ya sudah, kami yang bercadar pun kesehariannya sama dan asyik aja kok.”

Tuesday, March 1, 2022

24

Sumber: Gugel

 

Kemarin lusa, tepat di hari ulang tahunmu. Dia saling bilang cinta dengan laki-laki lain.

Sebagai sang pangeran wanna be, kamu tentu merasa ada yang istimewa dari dia yang mengingat tanggal ulang tahunmu.

Tapi ya, entah bagaimana dia mengingat tanggal lahir siapa pun lelaki yang pernah lewat di hidupnya.

Ada dua lusin dan dia ingat semua...

Thursday, February 24, 2022

Kegilaan

Sumber: Dokumentasi pribadi


Di usia yang ke 25, teman-temannya mulai sibuk mempersiapkan pernikahan, daftar LPDP, bahkan mulai merantau ke berbagai kota. Namun ia justru gila.

Tidak ada ingatan tersisa soal siapa dirinya, yang mana ibu, di mana rumahnya. Ia hanya ingat kucing hitam putih itu miliknya, kesayangannya dan bapaknya yang terpaksa memelihara demi kesembuhannya juga.

Sebelumnya ia percaya, semua orang di muka bumi ini pada dasarnya baik. Ia juga terlampau percaya diri bahwa semua orang pasti bisa disentuh hatinya. Cinta itu nyata.

Hingga pertemuannya dengan kedua orang itu. Yang bagaimanapun ia sodorkan cinta buat mereka, tetap saja tikaman yang ia terima. Egonya bisa jadi terluka. Ia ternyata bukan si ajaib yang bisa menyentuh hati siapa saja dengan kekuatan cinta.

Kedua orang itu juga menikam siapa saja yang selain dia semaunya. Cinta yang ia sodorkan dilirik mereka saja tidak. Bagaimana bisa mereka tetap berjaya? Bukankah konsep yang ia terima sepanjang hidup, cinta selalu menang melawan yang batil?

Jadi dia gila.

Memutuskan gila juga tepat.

Sukmanya ada di antara dunia yang pekat biru langit dan dunia lain di bawahnya. Tersendat di sana, tidak ke atas, tidak ke bawah.

Dia menyerah tapi berdalih ingin dekat dengan yang maha kuasa. Konsep cintanya lebur lagi hancur tapi berdalih ingin ibadah ritual saja selamanya...

...tanpa terhubung lagi dengan manusia. Manusia yang hanya melukai konsep cintanya, mematahkan hati saja.

Tapi seorang uztad memberinya kisah 100 tahun beribadah. Ia tidak dimarahi. Ia juga tidak sedang diajak bersedih. Namun tangis dan rasa marahnya keluar serentak.

Kisah itu mencubit inti hatinya. Kisah itu adalah dia. Jadi air matanya berleleran.

Ia mengakui takut menghadapi kekecewaan, kerumitan hidup di dunia, jadi kabur dengan berdalih ingin dekat Tuhan saja.

Ia pengecut.

Ia tahu itu.

Jadi kisah 100 tahun beribadah membuat air matanya tidak juga berhenti. Ia ada di sana, dalam kisah itu. Manusia yang mengira ibadah ritual saja cukup aman dilakukan, tidak seberbahaya bersinggungan dengan manusia-manusia lain.

Kemudian pelan-pelan ingatannya kembali. Ia ingat siapa dirinya, yang mana ibunya, juga di mana rumahnya.

Erich Formm pernah berkata:

Maka dari itu, keinginan terdalam manusia adalah keinginan untuk mengatasi keterpisahannya, meninggalkan penjara kesendiriannya. Kegagalan mutlak dalam meraih tujuan ini berarti kegilaan, karena rasa panik akibat keterasingan total hanya dapat diatasi dengan menarik diri secara radikal dari dunia luar sehingga rasa terpisah itu sirna—karena dunia luar, tempat seseorang terasing itu juga sirna. (Seni Mencintai:18)

Ketika manusia lain melakukan hikikomori, dia malah meraga sukma.