Jepreted by tanganku sendiri di Kafe Pustaka UM (sekarang sudah pindah di luar UM). Pembatas buku ini digambar oleh Yuyun Nailufar. |
Aku mengoceh dua jam. Ku bilang teman-temanku baik di sini, lebih banyak ketimbang teman yang jahat. Aku nggak ingin kamu khawatir, meski kenyataannya banyak kesakitan yang nggak aku ceritakan. Dan kamu lebih banyak diam. Ada sedih yang dalam semakin waktu berjalan. Sering aku menangkap tatapanmu terpaku pada satu titik di wajahku, nggak ada keceriaan.
"Kamu kelihatannya sedih. Mau nangis ya?" ejekku dan kamu hanya mengeleng.
Hingga dua jam benar-benar habis, kamu mengantarku ke gerbang kampus dan kita langsung berdebat soal siapa yang mesti berbalik punggung terlebih dahulu. Aku nggak rela berbalik punggung lebih dahulu, bagiku itu nggak adil dan sebaliknya kamu pun berpikir begitu.
"Kita hompimpah sekali. Hmm... yang kalah balik punggung lebih dulu, oke?" tawarku, lebih kepada memaksa.
Dan akhirnya aku mengeluarkan semut sedang kamu mengeluarkan manusia. Kelingking lawan telunjuk, aku kalah. Tuhan maha baik, dua tahunmu yang akan datang di Jepang masih diganjar juga bisa melihat punggungku berbalik terakhir kalinya.
Aku pura-pura berjalan tegak, namun buru-buru lari kemudian dan sembunyi di gapura gerbang kampus. Kepala aku longokkan dari salah satu gapura dan aku melihatmu sudah berbalik punggung. Aku masih bisa melihat punggungmu dengan kecurangan, setidaknya.