Nama dia
Aliman, kau panggil dia Iman saja biar mudah kalau- kalau kau mau mencari dia karena
warga sekampung pun panggil dia Iman. Aliman bocah SMP akhir perawakannya
dekil, mata bulatnya menonjol dari kelopak matanya dengan warna sembur merah
seperti orang yang selalu lelah, tubuhnya kurus, kulitnya sawo matang,
rambutnya cepak sedikit ikal dan agak kemerahan, tubuhnya pun tidak terlalu
tinggi buat bocah seusianya. Bapak Aliman guru sejarah dengan status PNS yang
di perbantukan di sebuah sekolah swasta di kampung sebelah yang berjarak dua
kilo dari rumah keluarga Aliman. Ibu Aliman salah satu buruh rakit kardus sabun
mandi dari ratusan perempuan seprofesi di kampungnya. Keluarga Aliman sendiri
tingal di rumah yang cukup luas, berdinding bata dengan pagar tanaman yang
mengelilingi sekitaran rumah.
***
“Man..
jangan lupa bungkusan hijau dekat penggorengan,” kata ibu Aliman.
“Kenapa
mesti aku wajib mengaitkan bungkusan itu di celana dalam Mak?,” Aliman mencoba
sedikit mengelak.
“Sudahlah
Man, kau tahu apa? Kau belum banyak makan asam garam, nurut sajalah sama Emak,”
ibu Aliman menyahut dengan sedikit ketus dan tersinggung.
Aliman mengambil
bungkusan hijau yang besarnya tidak lebih dari separuh jari kelingkingnya.
Bungkusan itu sebenarnya tidak lagi berwarna hijau muda seperti awal Aliman
membawanya kemana- mana. Bungkusan itu lebih seperti warna hitam kehijauan
dengan peniti kecil yang juga jadi kehitaman karena warna aslinya yang keabuan
sudah terkelupas saking lamanya sepasang benda ini jadi pegangan Aliman.
Teriakan kencang
yang memekakan telinga Aliman terdengar tiba- tiba.
“Man..
cepat.. ini hari penting.. cepat berangkat.. abang ojek sudah tunggu kita,”
ternyata itu teriakan ibu Aliman.
Aliman
cepat- cepat memelorotkan celana birunya, ia segara mengaitkan bungkusan hijau beserta
peniti kecil tersebut di celana dalamnya. Stelah bungkusan itu terkait, Aliman
menaikkan kembali celana birunya sekaligus kemeja putih miliknya sebelum
berlali menghampiri ibunya yang sudah berada di halaman.
***
“Man..
lulus Man lulusssss,” ibu Aliman memeluk tubuh Aliman yang tingginya hanya
sekuping ibunya.
Aliman
pandangan matanya kosong, ia merasa biasa saja apalagi melihat rata- rata
nilainya yang cuma enam koma sekian. Aliman sendiri dalam keseharianya merasa
selalu sakit kepala dengan keterangan guru di sekolahnya sekalipun ia berusaha
sekuat hati memusatkan perhatian kepada seluruh keterangan guru, apa daya
Aliman yang memang di lahirkan kedua dengan otak sangat pas- pasan. Beruntung
saja dia masih banyak guru yang sayang pada dia karena kesehariannya yang rajin
dan penurut meskipun untuk dapat nilai lima saja Aliman mesti peras keringat
sekencangnya. Jadilah saya yakin bahwa yang menyelamatkan Aliman dari ujian
nasional tahun ini adalah aliran doa dari guru- guru yang menyayangi dia meski
tanpa doa ibu kandungnya sendiri. Ibu kandungnya tak mendoakan Aliman, kau
percaya?.
***
“Bah,
terimakasih.. terimakasi banyak atas bantuan doanya. Aliman lulus Bah,” ibu
Aliman bicara dengan bola mata yang tampak sangat memuja pria berkulit kuning
yang memaki baju taqwa sekaligus peci di hadapanya.
“Mana
bungksan ijo itu Man?,” pria yang di panggil abah itu menatap Aliman tajam.
Yang di tatap cuma balas memandang dengan padangan kosong.
“Ini, ini
saya bawa Bah,” ibu Aliman menyodorkan sesuatu keatas meja, sesuatu itu agaknya
bungkusan hijau yang biasa dikaitkan di celana dalam Aliman beserta dua lipatan
kertas warna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai di bawahnya.
Pria yang
di panggil Abah itu mulai mengambil spidol hitam, ia menulis lafal Al- Qur’an
tanpa harakat di atas bungkusan hijau yang ia pegang stelah sebelumnya ia
memindahkan dua linting kertas warna biru bergambar I Gusti Ngurah Rai itu ke
dalam saku baju taqwa yang ia pakai. Lafal tersebut menindas lafal sbelumnya
yang pernah di tulis dan sudah pudar dimakan tahun.
Setelah
selesai, bungkusan hijau tersebut di lempar pada Aliman. Aliman lengah hingga
bungkusan itu jatuh ke lantai. Ibu Aliman mencubit keras paha kurus Aliman
tanda supaya ia mestinya segera mengambil bungkusan tersebut dari atas lantai.
Dengan
malas Aliman mengambil bungkusan hijau yang tergeletak di lantai tanpa
menggeser duduknya sama sekali. Setelahnya, Aliman segera berdiri untuk memelorotkan
celana jeans abu- abunya dan mengaitkan bungkusan tersebut pada celana dalamnya
kemudian segera ia pakai lagi celana
jeans tersebut dan ia pun segera kembali duduk dikursi.
“Kelakuan
anakmu Luk!,” bentak Abah dengan pandangan mata terarah pada ibu Aliman.
“Man..
kamu lulus itu berkat bantuan doanya Abah, yang sopan lain kali,” ibu Aliman
merangkul pundak kurus Aliman.
“Masa
kamu ndak percaya doa Man? Percuma ibu dorong- dorong kamu ngaji tiap sore di
laggar kalau begitu,” lanjut ibu Aliman. Aliman cuma diam dengan tatapn datar.
***
Sekarang
Aliman sudah berusia dua puluhan. Namun, bungkusan hijau yang biasa ia kaitnya
di celana dalamnya tetap sama, peniti pengaitnya pun sama. Hari ini Aliman akan
mengikuti tes CPNS di aula balai kelurahan demi tujuanya masuk ke dinas kebersihan
kabupaten.
Aliman
ternyata berdebar tidak karuan. Aliman melajukan sepeda bebeknya perlahan
sekali menuju balai kelurahan. Tiba- tiba seluruh bayang tiga hari yang lalu
melintas di bayangan Aliman.
“Abah
tahu kan bahwa putra saya ini otaknya pas- pasan.. jadi mohon bantuan doanya..,”
suara ibu Aliman yang mendominasi awalan percakapan.
“Yo..
nanti anakmu bakal kuberi amalan surat- surat Luk. Tapi ada tata caranya
sendiri dan dia mesti ikuti kalau memang mau lolos tes..,” sahut pria yang di
panggil Abah.
“Kamu
mesti mau ya Man?,” nada bicara bu Aliman terdengar memastikan. Aliman Cuma mengangguk
berat. Dalam hatinya, Aliman menjerit sekuatnya menahan semua tekanan antara
hati kecil atau permintaan sang ibu. Aliman ingat apa yang di ajarkan Cak Wawan
tiap sore ketika ia masih rutin mengaji di langgar, Cak Wawan selalu bilang
bahwa Tuhan itu cuma satu, Cak Wawan selalu bilang bahwa perantara hubungan
kita pada Tuhan bukan lewat benda- benda bersampul ayat Al- Qur’an seperti yang
selalu di pakai di celana dalam Aliman sejak usianya sepuluh tahun.
“Man..
dengar man.. ojo ngelamun Man..” hardikan Abah membuyarkan rekaman ingatan Aliman.
“Ngge..
Bah,” Aliman memberanikan diri menyahut hardikan Abah.
“Dengar..
Kamu baca surat **** 3 kali, surat **** 7 kali sambil memusatkan padangan mata
pada bungkusan hijau ini, khusus hari itu.. taruh bungkusan hijau itu di meja
tempat kamu tes ya Man. Kemudian segera setelah tes, pasang lagi bungkusan ini
di celana dalam milikmu,” Abah mulai menerangkan.
“Ngge Bah..,”
Aliman menyanggupi meskipun hatinya sakit karena pertentangan yang begitu kuat.
Sosok
lelaki tua dengan pikulan berisi kelapa muda yang terguling di tengah jalan
membuyarkan lamunan Aliman untuk tiga hari yang lalu. Aliman sesegera mungkin
meminggirkan sepeda bebek warna merahnya di pinggir jalan dekat tenda warung-
warung berjajar.
Oplet
yang menyerempet tubuh renta kakek pembawa pikulan itu sudah ramai di kerubuti
warga yang mengadang laju oplet itu sebagi usaha untuk kabur dari tanggung
jawab. Aliman dan beberapa orang lainnya menghampiri kakek tua itu, beberapa
orang menyelamatkan pikulan kakek itu sedang Aliman sendiri membopong tubuh
kakek itu ke pinggir jalan. Tak sadar Aliman bahwa waktu untuk tes kurang dua
puluh lima menit lagi.
“Sudah
nak.. biar kakek di sini saja. Banyak yang mengurus kakek. Pergilah segera ke
tempat tujuanmu,” bisik kakek itu di kuping Aliman. Aliman kaget sekali, ia tak
menyangka bahwa kakek itu mengetahui ia tengah buru- buru mesti pergi.
“Mas,
njenengan tolong kakek ini ya? Saya mesti buru- buru pergi ke balai
kelurahan..,” teriak Aliman pada salah seorang pria di dalam warung. Pria tersebut
segera menghampiri Aliman dan kakek tersebut. Aliman segera menghidupkan mesin
sepedanya.
“Pasti
berhasil nak. Aku mendoakanmu, terimakasih sudah membantu aku..,” teriak kakek
tersebut ketika Aliman sudah mulai melajukan motornya.
Aliman
mendengar itu, namun Aliman tak terlalu menggubris ucapan kakek tua itu. Aliman
cuma ingin segera sampai di tempat tujuan, mengamalkan ucapan Abah kemudian
mengerjakan soal tes.
***
Beberapa
minggu kemudian, tetangga Aliman yang kebetulan bekerja di dinas kebersihan
memberi bocoran pada Aliman bahwa ia lolos tes CPNS. Aliman dan keluarganya bersorak
kemudian atas inisiatif Aliman untuk pertama kalinya ia mengajak sang ibu untuk
pergi kerumah Abah dengan tujuan berterimakasih atas keberhasilan Aliman.
Cepat- cepat Aliman menyalakan motor bebek warna merahnya kemudian ia lajukan
motor tersebut dengan membonceng ibunya menuju rumah Abah.
Di tengah
perjalanan, Aliman sadar ada sesuatu yang hilang. Ia sadar bungkusan hijau itu
tidak terkait seperti biasa di celana dalamnya, yang terkait cuma peniti kusam
pasangan bungkusan itu. Aliman gelisah luar biasa.. ia tiba- tiba merasa bahwa
bungkusan itu merupaka juru selamatnya. Aliman tak sadar bahwa ada oplet
berhenti mendadak di depan motor miliknya. Aliman menabrak oplet tersebut.
Aliman terguling ke dalam parit sedangkan ibunya terlepar ke jalan raya bersama
motor Aliman.
“Bungkusan
itu..,” desah Aliman dalam napas- napas terakhirnya. Aliman pikir karena hilang
bungkusan itu, ia dan ibunya jadi tertimpa sial. Di tengah kecamuk pikirannya
yang seperti itu, Aliman berhenti bernapas.
“Imaaaaaaaaaaaaan!,”
teriak ibu Aliman yang hanya terluka ringan di lengan kanannya ketika jenazah
Aliman di angkut ke dalam Bajaj.
Aku di
angkut bersama tubuh Aliman. Kau tahu? Aku lah yang paling dekat dengan Aliman
selama ini, aku.. peniti bungkusan hijau yang biasa di kaitkan Aliman di celana
dalamnya. Kelak aku adalah salah satu yang berhak jadi saksi di depan Tuhan atas apa yang
di perbuat Aliman selama di dunia..
..SELESAI..