“Ka..
kami.. ingin punya keturunan dari darah Kyai,” Bapak terus merangkul dengkul
pria empat puluhan yang di panggil- panggil Kyai.
“Ya…… “ Sang
Kyai belum usai bicara. Bapak sengaja mengusap- usap mukanya di dengkul Kyai.
Dengan rasa geli yang menggaruki dengkul, Kyai memutar mukanya kekanan.
Kearahku.
Mukaku
merah. Hangat matanya menerpa muka.
“Esok
datanglah lagi bersama Waluya. Kau bakal temukan jawabannya esok ,” Kyai
menyelesaikan ucapannya.
Jantungku
terasa panas. Detaknya berkejaran.
***
Pagi
menggigiti kulitku yang Sembilan belas tahun lalu berwarna kuning langsat.
Warna itu. Hilang. Sudah tergerus matahari saban siang di ladang. Dua gelas teh
aku hantarkan depan muka Waluya dan suamiku.
“Piye Pak? ,” dua tanganku menyeret kursi
kayu. Aku duduk diatasnya.
Bibir
suamiku meniupi kepulan asap di atas gelas. Matanya dipejam rapat- rapat.
Waluya memandang tandas mukaku sekalian muka Bapaknya.
“Kami
disuruh balik lagi ke griya Pak Kyai pagi ini ,” muka Waluya merah.
“Oh. Ya.
,” telunjukku mengetuki meja. Rasanya gatal.
***
Malam.
Bapak pulang dibonceng Waluyo. Tubuh tambun Bapak melenggang masuk duluan dalam
rumah. Mataku beralih ke balik punggung Bapak. Mana Waluya?
Napas
Bapak dihela cepat- cepat. Punggungnya di hempas ke dipan rotan di ruang depan.
Suara
rantai sepeda dan roda yang menabrak dinding membuat mataku beralih lagi
menjuju pintu. Waluya muncul. Napasnya saling berkejar. Punggung tangan kirinya
menyeka aliran keringat di kening yang tak lazim muncul di malam dingin.
Hangat dua
bola mataku menyambut Waluya. Dia sama. Kami seperti berangkulan dari tatap
mata saja.
“Piye Pak? ,” Emak ada di sebelahku. Ia
meremas pahaku. Mataku teralih kearah Bapak. Waluya membuka kelambu hijau kamar
di samping ruang depan. Ia masuk. Kelambu itu di tutupnya lagi.
“Besok
saja kita bahas. Besok pagi. Bapak janji. Bapak lelah. Sungguh ,” Bapak
memelorotkan punggungnya.
Napas aku
tarik dan aku lepas cepat- cepat. Tiga kali.
***
“Saya ini
dulunya orang neko- neko Pak ,” Kyai
mulai memotong percakapan basa- basi bikinan Bapak.
“Tapi
sungguh Pak Kyai. Ingin sekali saya punya keturunan dari darah Pak Kyai. Biar
terjunjung derajat keluarga kami ,” Bapak mulai mendekat. Hendak merangkul
dengkul Kyai.
Telapak
tangan Kyai di tampakkan kedepan. Tanda ia tidak berkenan dengan laku yang
hendak Bapak bikin. Bapak mundur dengan muka tertunduk dalam.
“Saya
ini. Jadi begini karena hidayah Pak ,” Kyai memandang aku. Mukaku merah.
Selalu. Lagi. Entah..
“Dan.
Hidayah tidak dapat diturunkan pada keturunan. Hidayah asalnya dari Tuhan. Itu
juga kalau manusianya punya mau. Bapak berharap keturunan baik, tapi bagaimana
kalau.. ,” Kyai mengalihkan pandangannya
ke kepala Bapak yang tertunduk.
Seperti
ada cambuk panjang yang biasa di pakai dalam pertunjukan kuda lumping di Balai
Desa yang membelit jantungku. Panas. Sakit. Berkedut. Usai Kyai menyelesaikan
kalimatnya.
Bapak
cuma diam. Bukan tidak punya kata. Bukan juga karena kupingnya tidak dengar
ucapan terakhir Kyai. Tapi. Dia tidak mengerti seluruh ucapan Kyai barusan.
Kyai-
keturunan- derajat. Cuma itu yang ada dalam kepala Bapak.
“Saya
juga tidak bakal lama disini. Saya mesti kembali pada anak dan istri di seberang
pulau ,” Kyai berucap hati- hati. Kaku. Seperti takut salah ucap.
Aku tidak
punya hak bicara. Cuma kakiku yang punya hak mengayuh sepeda. Membonceng Bapak
sampai ada di bawah atap rumah berdinding separuh tembok dan separuh bambu ini.
“Bukan
masalah Pak Kyai. Saya cuma ingin keturunan dari darah Kyai. Cuma itu ,” kepala
Bapak ditundukkan makin dalam. Suaranya polos. Mantap.
Kulit
kuning langsat. Mata bening. Perut datar. Bibir tipis Dewi. Kakakku. Berlarian
depan mata Kyai. Sekali dia lihat Dewi dengan tudung hijau di kepalanya. Ingin
tahu ia. Warna apa di balik tudung itu.
“Waluya
,” panggil Kyai. Kali ini benar tertuju padaku.
“Nggeh.. ,” kepala yang dari tadi hampir
mendongak mendengar ucap polos tapi mantap dari Bapak tiba- tiba melesak
tertunduk. Mukaku merah. Mata hangat Kyai menerpa lagi muka merahku.
“Ajak
Bapak sampeyan menemui Ponari. Ponari
itu muridku. Dia berdiri di luar pintu ini. Atur segalanya dengan dia ,”
Buru-
buru aku mengangguk sopan. Aku menarik lengan Bapak yang masih tidak paham
dengan ucapan terakhir Kyai.
“Semua
keinginan Bapak terwujud ,” bisikku ketika bantu Bapak berdiri. Mata Bapak
berbinar. Kantung matanya berair.
Bersama
Bapak aku keluar ruangan. Di depan sudah ada Ponari. Dia pakai baju putih.
Kepalanya pelontos. Menutupi sepanjang kakinya, sarung warna biru tua yang
sudah hilang motifnya di telan banting tulang di ladang saban hari seperti menyapu
lantai saking lamanya ia duduk.
Muka
Ponari lega menyambut kami.
“Tidak..
tidak usah menjelaskan. Saya sudah tahu. Besok kembalilah kemari. Langsung ke pelataran
bilik tempat saya tidur ,” Ponari menunjuk sebuah bilik bambu di seberang ubin
tempatku dan Bapak berdiri saat ini. Ia buru- buru bicara waktu melihat bibirku
hendak membuka waktu pertama keluar dari ruangan.
***
Kyai itu.
Matanya teduh. Ia tidur di sebelah badanku. Ia tidak berucap apa- apa sejak
belasan orang berteriak “Sah!,” di susul hamdalah.
Mata
kupejam rapat- rapat. Dia tetap tidak bicara. Sampai aku benar- benar tidur. Ia
hilang dari samping badanku.
Sebulan.
Perutku mulai membuncit. Makin buncit. Dia tidak kembali. Tinggallah sekotak
uang, sekotak emas dan seperangkat pakaian sholat tersimpan tidak beraturan di
bawah dipan.
Lahir
Dewi. Kulitnya kuning langsat seperti aku. Pintar mengaji persis Bapaknya.
***
“Siapa
mereka Ponari? ,” aku melirik halus kearah kanan tanpa memutar kepala.
“Mereka
punya mau serupa dengan Bapakmu ,” Ponari menyilangkan kaki di atas dipan bambu
di pelataran bilik tempat ia tidur.
“Akankah
diwujudkan oleh Kyai? ,”
“Mana aku
tahu?. Anak gadis mereka serupa kakakmu. Berkulit kuning langsat. Memakai
tudung. Pemalu. Pandai pula mengaji ,”
“Apa
tidak sakit bila ternyata inginnya Bapakku dan inginnya Bapak gadis itu
diwujudkan keduanya oleh Kyai? ,”
“Mana aku
tahu?. Sakit bagi siapa?. Bukankah bangga bisa punya darah Kyai?.
Pandai anak
keturunannya mengaji ,” Ponari berkata polos tapi mantap. Persis ucapan Bapakku
biasanya.
“Kasih sayang
yang di bagi. Apa itu tidak sakit Ponari?. Kasih orang tua yang di bagi saja
sebegitu sakitnya, apalagi.. kasih pendampingmu kelak ,” Ponari menanggapi
ucapanku dengan mengetukkan jari telunjuknya di dipan bambu. Serupa nada. Nada
tak sabar menyelesaikan obrolan yang tidak ia mengerti bakal digulir kemana.
“Rupa
kakakku memukau. Serupa Ibuku. Ia pandai mengaji serupa Bapaknya. Rupaku buruk
serupa Bapakku. Aku tak pandai mengaji juga serupa dia. Mata bening Ibu yang
masih beruntung tertinggal di mukaku. Aku dapat kasih yang terbelah. Mereka
bangga akan kakakku. Dewi. Tapi tidak dengan aku ,” aku melanjutkan ucapanku.
Ketukan jari Ponari makin memburu.
“Kau
kesini buat mewakili Bapakmu menentukan tanggal bukan? ,”
“Kasih
orang tua yang terbelah saja sebegitu sakitnya. Bagaimana dengan kasih
pendampingmu kelak? ,” aku melanjutkan ucapan. Kalimat Ponari sebelumnya,
nyaris tak terdengar olehku.
“Kau cuma
ingin tau. Apa Bapak yang baru masuk ruangan Kyai tadi di kabulkan keinginannya
atau tidak bukan? ,”
“Ya…… ,”
sungguh ucapanku belum selesai.
“Tunggu
dua jam lagi. Disini. Aku hendak pergi ke ladang ,” Ponari turun dari dipan. Dia
menjinjing arit.
***
Buruk
rupa pemuda itu. Berbinar muka dia lihat kulit kuning langsatku. Hampir tidak
kelihatan oleh matanya dua lenganku memeluk bayi.
“Rokim.
Ini Dian dan putrinya, Dewi ,” Emakku berujar. Datar.
Mata
Rokim mengikuti tiap gerakku. Seluruh tubuhku dia jelajah dengan matanya.
Roman
mata Rokim tertangkap Bapaknya.
“Kapan
tanggalnya? ,” Bapak Rokim memandang lekat Bapak dan Emakku.
Rokim
berbinar.
***
“Kembalillah
besok pagi. Temui Ponari. Dia muridku. Dia tinggal di bilik seberang tempat ini
,”
Bapak itu
mengangguk sopan. Matanya berbinar. Kakinya yang pincang di seret keluar
ruangan.
Gadis itu
serupa Dewi kata Ponari. Tapi, tudungnya kuning. Kyai penasaran warna apa di
balik tudung kuning itu.
***
“Aku cuma
melihat Bapak itu keluar ruangan. Tanpa tahu apa inginnya tidak terkabul? ,”
kata tidak terkabul aku tekan.
“Terkabul.
Sekembalinya dari ladang aku merapat ke pintu sebelum menemuimu disini. Aku dengar
,”
“Bisakah
aku kembali kesini besok?. Ingin aku bicara dulu dengan Bapakku soal ini ,”
“Yang
memutuskan perkara bukan kau Waluya. Bukan pula Dewi. Tapi Emak dan Bapakmu ,”
Aku
menunduk. Kureka tanggal yang tepat.
***
Suara
rantai sepeda yang berputar. Roda menabrak dinding bambu. Ekor mataku menangkap
Waluya menyeret kaki ke dalam rumah. Kantung mata adikku itu di genangi air.
Kaki
Waluya langsung menuju dapur. Tidak dipeluknya aku dengan pandangannya seperti
biasa.
“Alhamdulillah!.
Tanggal 18 ,” jerit Emak dari arah dapur.
“Apa?!.
Anak Pak Resik agaknya tanggal 20? ,” Emak menjerit lagi.
“Bukan
masalah! ,” ucapan terakhir Emak bersahutan dengan langkah kaki Waluya menuju
tempatku duduk.
Makin
banyak genangan air di kantung matanya. Waluya. Dia terisak. Tertahan.
Kepalanya bersimpuh di dengkulku.
“Tidak
akan ada apa- apa. Mbakmu ini tidak
akan sakit ,” kuelus kepala Waluya. Pecut kuda lumping yang biasa bermain di
Balai Desa seperti membelit jantungku. Perih. Panas.
Waluya
makin membenamkan mukanya di antara dua dengkulku. Kusentuh pundaknya. Kurus.
Serupa Bapakku. Kuangkat mukanya. Hitam. Serupa Bapakku. Kuseka matanya.
Bening. Serupa Ibuku. Aku memeluk Waluya sekuatnya dua tanganku.
Tidak.
Aku tidak terisak.
***
“Sah!
,” jerit belasan orang disusul hamdalah. Raut mata bangga memenuhi seluruh
langgar. Aku juga.
Tangan
kananku menggamit lengan kiri Dewi dari dalam ruangan yang biasa dipergunakan
menyimpan sapu ijuk di langgar. Ruangan itu. Di sulap jadi ruang rias.
Dewi
aku dudukkan di samping Kyai. Kupasang selendang di atas kepala mereka berdua.
Muka Dewi datar.
Mataku
berkeliling. Kulihat mata suamiku. Berbinar. Waluya ada di sebelah kirinya.
Muka dia serupa Dewi.
Mana aku
perduli.
***
Di
kali. Waluya tertawa terkikik bersama seorang gadis. Kulitnya serupa Waluya. Wajahnya
seburuk Waluya. Matanya tulus. Serupa Waluya. Dua giginya maju kedepan. Bukan
serupa gigi Waluya yang rapi persis gigiku. Aku tersenyum.
“Waluya!.
Kumpulkan modal. Lamar gadis itu. Nanti Mbak
bantu bicara pada Emak ,” dua tanganku berhenti menggilas baju di atas batu.
“I..
Iya ,” Waluya gugup. Baru tahu ia bahwa aku sudah disitu cukup lama. Melihat
dia.
Bahagia.
***
Seminggu
tiga kali. Kyai. Suamiku. Datang kerumah berdinding bambu ini. Di hari lain,
dia pergi kerumah Rahmawati. Anak Pak Resik.
Dan hari
lain itu adalah hari ini. Hari ini, Waluya pergi ke kota. Menumpang pick up carik lurah.
“Baik-
baiklah ,” Waluya mencium perutku yang mulai buncit.
Kaki
adikku itu melompat masuk badan belakang pick up. Dia melambai. Ceria.
Menghilang di jalan menurun.
“Carilah
modal di kota ,” bisikku tanpa mungkin Waluya mendengar.
***
Makin
membuncit. Suamiku tidak pernah lagi datang. Ponari bilang, gurunya itu kembali
pada keluarganya.
Aliman
lahir. Dia anakku.
***
Mukaku
pucat. Beruntung bertemu mantan carik lurah
di terminal. Aku di angkut pick upnya bersama bumbu- bumbu dapur. Dudukanku di
samping bangku supir.
“Duh
Gusti!. Untung tidak banyak saya simpan uang di kantung itu Pak! ,” napasku
berkejaran.
“Sudahlah.
Bisa di urus nanti. Memangnya, seperti apa orang yang mengambil kantung uangmu
itu Waluya? ,”
“Anak
kecil. Usianya kira- kira enam atau tujuh tahun. Kulitnya kuning, matanya
bening ,”
Napas
mantan carik lurah seperti berhenti
tiga detik.
“Kenapa
Pak? ,”
“Tidak.
Tidak. Beristirahatlah Waluya. Tiga puluh menit lagi kita sampai ,” urat leher
lawan bicaraku ini nampak menonjol.
***
“Alimaaaaaan!
,” jerit Emak sejadi- jadinya. Kuali, piring, gelas dan segala yang ada di
dekatnya di lempar pada anakku.
Anak itu
tidak menangis. Mukanya datar.
“Kantung
siapa itu?. Uang siapa itu ,” Emak menjerit. Lagi.
Aku
tengkurap di atas kasur. Mukaku menekan bantal. Bantal benar- benar basah.
Sakit.
***
“Rahmawati!
,” teriakku pada seorang wanita yang tengah menggandeng anak usia tujuh tahun
di genggamannya.
“Waluya!
,”
Mantan carik membuat laju pick upnya lebih
lambat.
“Dari
mana kau? ,” laju pick up sama lambannya dengan langkah Rahmawati berikut anak
laki- laki yang ia gandeng.
“Ini ,”
Rahmawati menunjukkan sebuah piala.
“Putramu?
,”
“Ya. Dari
mengaji ,”
“Wah
selamat ya nak ,” aku memandang muka anak Rahmawati. Dia balas senyum. Sapuan
matanya bikin mukaku merah. Hangat. Persis Kyai. Bapaknya.
***
Berlari
kecil aku menghampiri sosok kurus itu. Dia. Waluya. Pandangan kami saling
rangkul seperti biasa. Tangan aku lambai. Dia mendekat ke pelataran.
“Alimaaaaaaaan
,” Emak menjerit.
Putraku
menerobos belakang punggungku. Dia lari. Membawa kantung uang. Waluya di tabraknya
hingga nyaris oleng. Anak itu menghilang di jalan turunan. Matanya seperti
singa lapar.
“Anak
itu.. ,” Waluya berbisik.
Ingat dia
apa kata Kyai.
“Saya ini dulunya orang neko- neko Pak ,”
“Saya ini. Jadi begini karena hidayah Pak ,”
“Dan. Hidayah tidak dapat diturunkan pada
keturunan. Hidayah asalnya dari Tuhan. Itu juga kalau manusianya punya mau.
Bapak berharap keturunan baik, tapi bagaimana kalau.. ,”
***
Kenapa Embah selalu marah pada Aliman?. Aliman
tidak pernah ingat kapan pernah
minta ingin lahir. Kenapa Emak selalu menangis
tiap Embah marah?. Kenapa Embah sebut- sebut anak orang yang
namanya Rahmawati itu hebat?. Anak itu sama dengan Aliman. Pandai mengaji. Apa
piala yang Aliman punya kurang?. Oh?
TAMAT