Sumber: Gugel |
Menurut
cerita dari nenek, kaki-kakiku yang mengecil adalah akibat dari penyedap rasa.
Benda itu kecil dan halus, berwarna putih atau kuning dan bungkusnya bergambar
kambing atau daging.
Masih
menurut nenek, sejak kedatangan penyedap rasa, ibuku mulai menjadi gila dan
kakak-kakakku mulai kesusahan menghapal bahasa asing atau mengerjakan operasi
hitung. Aku masih termasuk yang beruntung, kaki-kakiku memang mengecil, tapi
aku masih bisa menghapal bahasa asing atau oprasi hitung dengan sangat
baik.
“Aku
selamat, karena tubuh tuaku bisa menjadi alasan. Kubilang pada mereka, aku
bahkan sudah tidak berani makan garam. Aku hanya boleh makan sayur yang
dikukus, bahkan tanpa bumbu. Maka, aku selamat…” ucap nenek.
Sebuah
kontes memasak menghadirkan penyedap-penyedap itu kali pertama di televisi. Seorang
ibu yang tinggal beda provinsi denganku, memenangi kontes itu pertama kali.
Setelah menang, ibu tersebut mendapat beasiswa penuh untuk ketiga putranya
bersekolah, dia kemudian justru menentang kontes memasak yang justru
berlangsung terus menerus menahun kemudian. Barangkali, dia memang hanya
mengincar beasiswa buat putra-putranya itu...[1]
“Orang-orang
mulai merasakan lebih kuatnya rasa makanan dari penyedap itu. Televisi terus
menayangkan mereka. Mereka bukan garam apalagi saripati daging. Hanya
serbuk-serbuk kecil yang mulai membuat para ibu keguguran dan para ilmuwan
ditembak mati setelah membeberkan hasil penelitian mereka.”
Belum
genap setahun, ibu berhenti menyusuiku. Masih menurut nenek, para tetangga
bahkan ayahku sendiri mengejek masakan ibu yang tidak ideal, tanpa penyedap
setelah aku lahir dan kaki-kakiku tidak sempurna. Setiap tahun, kontes memasak
yang disponsori produk penyedap itu diadakan dan setiap tahun itu pula, para
ibu berlomba membuat rasa masakan mereka sesuai standar dalam kontes memasak
itu.
Sebentar
kemudian, ibu masuk ke dalam kamar dengan wajah tegang. Di tangannya ada sebuah
mangkuk berisi sup. Nenek memundurkan kursi rodanya, makin menjauh dari kasur
tempatku duduk.
“Kamu
mesti makan, Saratini! Kamu tidak boleh lagi memuntahkannya!” jerit ibu.
Tangan
ibu mulai menyuapkan sup itu dalam mulutku, hingga aku hampir tidak sempat
mengunyahnya. Dua kakakku juga turut mengintil di belakang punggung ibu. Air
liur menetes terus menerus dari sudut bibir mereka. Tatapan mereka kosong, beda
betul dari sepuluh tahun lalu, di mana aku kali pertama bisa mengingat wajah
mereka di usia tiga tahun.
“Bagus,
Saratini. Bagus…” ibu tersenyum puas ketika mangkuk sup di tangannya tandas.
Sebentar kemudian, dia pergi keluar kamar diikuti kedua kakakku.
Rasa
mual mulai merambat dalam perutku. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak pernah
bisa menerima sup dengan penyedap rasa itu dalam perutku.
Televisi
yang diletakkan beberapa kaki dari kasur, menayangkan sebuah iklan kontes
kecantikan. Sketsa seorang perempuan bertubuh sangat kurus terpajang di dalam
sana. Rambutnya panjang, kulitnya pun putih. Produk handuk yang membuat kontes
itu. Masih menurut iklan, handuk-handuk itu katanya dapat memutihkan kulit dan
menguruskan tubuh.
Tubuhku
gemetaran, nenek mulai mendekatkan kembali kursi rodanya pada kasurku. Seperti
aku, badannya juga nampak gemetaran melihat iklan di televisi.
Apakah
setelah kontes kecantikan dengan standar yang telah dibuat itu, semua orang
akan ketakutan jika tidak identik dengan standar yang ditentukan? Apa ini akan
serupa dengan kontes memasak itu? Beberapa saat kemudian, perutku makin mual
dan isi perutku semuanya keluar. Apa ibu akan kembali marah?
[1]
Oleh sebab, kisah perempuan pemenang pertama sebuah kontes kecantikan yang
diadakan produk baju renang.