|
Catut: @avezahra |
Membaca
Parodia pada mulanya saya mesti memutuskan, membaca langsung cerita-cerita di dalamnya
atau membaca terlebih dahulu kata pengatar dari penerbit dan juga penulis.
Menjadi kebiasaan untuk membaca epilog (jika ada), usai membaca cerita,
ketimbang pengantarnya terlebih dahulu. Pengalaman pembacaan dari diri saya
sendiri akan membawa saya pada hal-hal seru. Prolog dan epilog seringkali
mengikat pikiran pada petualangan seru sebelumnya, apabila dibaca terlebih
dahulu sebelum cerita.
Dan
ternyata keputusan saya untuk membaca buku cantik ini langsung pada
cerita-cerita di dalamnya adalah tepat. Ketika usai membaca buku ini kali pertama,
saya coba membaca pengantar penerbit dan kecewa berat. Sepanjang saya ketahui,
bisanya pengantar tidak begitu bentukannya. Apabila asalnya dari penerbit,
isinya biasanya merupakan bagaimana buku tersebut sampai bisa terbit atau lain
sebagainya. Pun juga apabila asalnya dari tokoh lain, biasanya isinya adalah
analisis atas isi dari buku. Tapi ini… spoiler! Sungguhan saya tepat ketika
memutuskan membaca buku ini langsung pada cerita. Kata pengantar dari penerbit
bisa menghancurkan debaran saya ketika membaca cerita-cerita dalam buku ini.
Ugh… kata pengantar atas nama ANN itu betul-betul merusak imajinasi.
Ketika
kali pertama membaca, selain menikmati sajian cerita dalam buku ini dan sekadar
mengalir melihat jalan cerita yang diawali dan diakhiri, mata saya juga cukup
gatal dengan beberapa ejaan yang kurang konsisten, kurang huruf atau salah
ketik. Bagian mana saja yang bikin gatal ini? Tidak akan saya bahas di sini
karena tidak relevan dengan judul. Bahkan penulis luput menuliskan diyakini
menjadi ‘di yakini’ dalam kata pengantar yang ia buat. Ups!
Namun
dari delapan cerita yang disuguhkan dalam buku ini, saya justru paling mula mengingat
Rumah Kayu. Saya terkesan dengan cerpen tersebut karena dari cerpen yang saya
baca hingga dua kali tersebut, saya menemukan kerangka dari rangkaian cerita
yang disebut secara tidak jelas dalam pengantar penerbit sebagai; yang saling
berhubungan satu sama lain.
Seperti
hampir keseluruhan cerpen dalam Parodia, Rumah Kayu pun menjadikan seorang
perempuan sebagai tokoh sentral. Melalui cerpen tersebut saya mulai merangkai
kerangka cerpen-cerpen Istifari Hasan dimana obsesi menjadi
tajuk utamanya, setidaknya dalam pengalaman pembacaan saya.
Perempuan
dalam Rumah Kayu digambarkan gagal hidup bersama kekasihnya yang memilih hidup
dengan permpuan lain. Aku, si perempuan itu nyatanya menunjukkan tekad hingga
obsesinya memiliki dengan membangun rumah kayu sesuai impiannya dan kekasihnya
dahulu, meski ia juga harus menua bersama laki-laki lain yang terpaksa
ia terima pinangannya. Mimpi buruk dan pembunuhan yang menimpa sang suami dan
pemilik rumah kayu itu setelah si aku menjualnya, digambarkan Istifari dalam
bentuk nyata dimana hal tersebut mesti berurusan panjang dengan polisi, hingga
barangkali menimbulkan persepsi bagi pembaca bahwa pelaku adalah kekasih si aku
di masalalu.
Sedang
bagi saya, mimpi buruk dan pembunuhan yang terjadi di rumah kayu tersebut
adalah gambaran dari obsesi memiliki si aku sendiri, hingga ia bisa melihat
bayangan kekasih yang mendatanginya dalam wujud seusia dengannya, sama rapuh
dan tua di akhir cerita. Ya… meski agaknya lebih apik apabila penulis tidak
menjejalkan sebab-sebab kematian dirumah kayu di akhir cerita. Sebab kematian bisa
dijelaskan, sejak kematian pertama itu terjadi.
Parodia
juga menjadikan si aku yang seorang perempuan, lagi-lagi dalam rangkaian
obsesi. Jika Rumah Kayu obsesi memilikinya digambarkan Istifari dalam bentuk
pembunuhan, maka dalam Parodia, obsesi memiliki digambarkan dalam bentuk
kegilaan. Aku dalam Parodia juga mengalami perjalanan rumit dalam kepalanya
sendiri sebagai seorang pelacur, hingga diakhiri kesadaran soal kegilaan. Ya…
kegilaan yang justru puncak kesadaran bagi si tokoh aku. Lagi-lagi seperti
Rumah Kayu, kegilaan yang digambarkan Istifari bisa jadi diartikan nyata oleh
para pembaca, karena melibatkan para dokter, layaknya para polisi yang muncul
di akhir Rumah Kayu.
Dua
Kendi Satu Cinta, menjadikan kita seolah turut menggerakkan kisah antara Bronto
dan Mentari dengan sudut pandang orang ketiga yang disajikan. Kali ini seorang
lelaki dan perempuan menjadi tokoh sentral dalam satu cerita sekaligus. Meski
memiliki lintasan waktu yang sedikit membingungkan, obsesi memiliki Mentari
menjadikannya mampu mendatangi Bronto, bahkan dalam dunia yang berbeda. Penulis
kali ini menjadikan wujud nyata air dan kendi sebagai media Bronto dan Mentari
menyampaikan rasa saling memiliki. Pembaca bisa mengartikan air yang dihadirkan
di antara kerinduan Bronto dan Mentari, sebagai perwujudan air secara nyata
atau juga bisa mengartikannya sebagai obsesi memiliki yang diwujudkan dalam
bentuk air.
Tidak
ada cinta yang tidak memiliki, itulah pengalaman pembacaan saya terhadap
Parodia. Kalimat tersebut diwujudkan hampir dalam semua cerita yang disajikan
dalam Parodia. Obsesi, menjadi senjata memiliki cinta dalam Parodia, terlepas
para tokoh dengan bermacam akhir kisahnya. Ya… obsesi…
Simpan Mantraku.
Aku ingin melihat bunga cantik
dengan guyuran bait yang indah,
Seperti mimpiku bersanding dengan
syairmu,
Jika aku tidak kunjung bangun dari
tidur,
Aku ingin kau mengecup keningku,
Dan saat itu aku benar-benar
tertidur selamanya.
Mentari
kepada Bronto (hal 61)
Judul : Parodia
Penulis :
Istifari Hasan
ISBN : 978-602-50682-7-0
Terbit : Mei 2018
Ukuran :
13,5 x 20 cm
Halaman : 112
Penerbit : Stelkendo Kreatif Indonesia