Sumber: Gugel |
Tidak ada pujian soal kecantikanku, saat dia menyatakan permintaanya buat menikahi aku. Dia hanya menyodorkan sebuah buku dengan salah satu halaman yang ditandainya dengan spidol warna biru.
Bukan kecantikan, yang jadi investasi sepanjang hayat dari seorang perempuan. Tapi, kecerdasan…
“Maka, saya memilihmu…” katanya mantap setelah aku selesai membaca sebaris kalimat yang ditandainya biru.
Pipiku terasa panas. Aku yakin, detik itu ada merah yang menyembur pada dua belahan pipiku.
Kecerdasan…
Itulah alasannya memilih aku. Sungguh beda dengan lelaki lain yang ragu mengajakku menikah, karena ukuran tubuhku yang tidak menarik dan kelewat besar. Setidaknya, memang begitu menurutku, saat itu…
***
Maka, kami pun menikah. Sehari-hari, aku hanya mendapatinya membaca sedemikian banyak buku-buku. Dia bisa menggerakkan dua bola matanya pada dua halaman buku sekaligus. Para mahasiswa banyak datang bertamu, memintanya berceloteh soal buku-buku yang begitu mudah dia ingat.
Saban hari, aku sendiri bekerja di kantor pemerintah sejak pagi hingga jelang petang. Namun, dia tetap berkutat dengan buku-bukunya atau sibuk mengoceh dengan para mahasiswa yang nampak betul memuja dirinya. Sering dengan senyum puas dan bangga, dia sebut dirinya mewarisi apa yang dimiliki ayahnya, dapat membaca dua halaman buku sekaligus.
Makanan yang aku masak selalu dilahapnya dengan rakus. Akan tetapi, tidak pernah ada pertanyaan kapan aku memasaknya atau kenapa, kadang aku menghilangkan menu cabai. Ya… aku terkadang menghilangkan menu cabai karena harganya yang kelewat tinggi di satu waktu tertentu. Ah… dia mana pernah mau tahu sih?
“Saya tidak menyajikan cabai hari ini…” ucapku, coba memancingnya bercakap-cakap.
“Oh… tentu. Bukan masalah.” Sahutnya tanpa berhenti mengunyah makanan.
“Kamu tidak coba tanya kenapa?” desakku dengan sedikit penekanan pada kata ‘kenapa’.
“Seperti tadi saya bilang, itu bukan masalah.” Balasnya dingin.
Aku mendekati meja tempatnya makan dan menggebrak dengan dua tangan sekuat mungkin. Mataku mendelik dengan bibir yang aku gigit kuat-kuat menahan tangis dan marah.
“Ini bukan masalah, oke?” sahutnya tanpa berhenti mengunyah makanan.
Kemudian disodorkannya sebuah buku dengan salah satu halamannya yang terbuka. Ada sebuah kalimat yang ditandainya dengan tinta biru.
…bagaimana semua orang bisa berpikir pragmatis?
***
Dia menatapku kelewat tajam saat aku menghempas tubuh di atas sofa bersama beberapa tas belanjaan. Tas belanjaan itu bertulis salah satu mall terbesar di kota. Keparatnya, tatapan itu diamini para mahasiswa pemujanya itu padaku.
Salah seorang mahasiswa berbisik pada mahasiswa lain di sebelahnya. Kemudian, bisikan mereka berlanjut menjadi saling bisik, hingga dia membuka sebuah halaman buku, ditandainya sebuah halaman dengan spidol warna biru. Diserahkannya kemudian buku itu, pada salah seorang mahasiswa yang duduk tepat di samping tumit kakinya. Dia berbisik sejenak sebelum membiarkan mahasiswa itu menyodorkan bukunya padaku.
Bab V. Borjuis dan Hedonis. Sebuah Bab Penjelas.
Keparat! Aku berdiri tanpa memerhatikan sorot mata semua orang yang menancap padaku, juga pada tas-tas belanjaan yang aku bawa. Apa mereka tidak paham? Mencari penjahit baju terpercaya sangat susah di jaman sekarang. Tubuhku sendiri sangat besar bahkan jauh sebelum aku menikah. Cuma mall terbesar di kota yang menyediakan baju-baju seukuran tubuhku. Meski harga yang aku tebus tidak murah mengingat ukuran tubuhku memang membutuhkan banyak bahan. Namun, setidaknya aku masih bisa berbaju dengan sejumlah uang dari gajiku sendiri! Bukan hasil nyolong!
***
Dia semakin hemat bicara pada aku. Cukup melegakan karena dia masih begitu rakus melahap semua yang aku masak.
Para mahasiswa yang datang mengerubunginya kian hari makin banyak. Ketika aku melakukan sesuatu yang kurang berkenan baginya, dia hanya menyodoriku sebuah buku yang salah satu halamannya ditandai warna biru. Hanya itu dan seterusnya begitu.
Sempat di satu malam di awal pernikahan kami, dia menceritakan bagaimana ayahnya terus-menerus membaca, meski berkali ibunya menggerutu soal harga cabai yang membengkak. Kemudian, didapatinya ayah dan ibunya yang tidak pernah lagi saling berbicara. Ayahnya hanya menandai sebuah halaman buku dengan tinta biru, jika ingin menegur ibunya, persis yang dirinya lakukan padaku. Setelahnya, ayahnya itu mulai mengemasi buku-buku, sedikit baju dan tidak lagi terlihat mengedar di sekeliling mereka. Hingga satu waktu, aku juga mendapati dirinya mengemas barang dari dalam almari baju kami, seperti ayahnya.
“Kamu mau kemana, Mas?” tanyaku.
Dia hanya diam, sambil terus mengemas baju.
“Mas…” panggilku.
Senyumnya terkembang tipis. Dia kemudian melewati aku begitu saja yang tengah berdiri di bibir pintu. Buru-buru dia meraup belasan bukunya yang ada di atas rak dekat ruang makan. Buku-buku itu selanjutnya dimasukkannya dalam koper, bercampur dengan beberapa helai pakaian yang tidak sebanyak buku yang dia bawa.
“Mas!” aku akhrinya membentak saat dia berlalu begitu saja, melenggang menuju ruang tamu sambil membawa koper.
Dilemparnya sebuah buku padaku kemudian. Seperti biasa, ada tinta biru sebagai penanda bagian mana yang semestinya aku baca.
Menghayati hidup, meski tidur tidak beralas keramik.
Tanganku gemetar. Dia menghilang dari balik pintu. Buku yang aku genggam terjatuh ke lantai. Lantai keramik yang aku bangun dengan gaji yang aku kumpulkan, hanya karena alasan sederhana, keramik membikin rumah menjadi mudah dibersihkan.
Namun, sebentar kemudian tanganku berhenti gemetar. Aku mendekat menuju jendela dan melihatnya yang kesusahan menenteng sebuah koper besar. Senyumku terkembang lebar. Aku penasaran, buku apa yang nanti jadi alasannya buat kembali pulang?