Coreted by: #AnomaliKreate |
Tulisan ini saya catut dari tulisan saya di Instagram, 23 September 2017. Tulisan tersebut telah saya arsipkan dari Instagram untuk merapikan feed saya di sana.
Teman saya di SMK, beda angkatan, mengoreksi teman-teman perempuannya yang berjilbab namun masih senang memasang foto tanpa jilbab di sosial media. Koreksian itu dituliskannya di status BBM. Hampir satu semester berikutnya, teman saya itu ternyata upload swafoto terbarunya tanpa jilbab dan jadi DP BBM. Kesehariannya? Jelas dia berjilbab, makanya sampai bikin status macam begitu di status BBM. Saya kemudian komen DPnya itu begini,”Loh… eman banget ada yang hilang ya…” Dan dia tidak paham maksud saya apa, katanya.
Jika saja teman saya ini sebelumnya tidak melayangkan penghakimannya pada sesama perempuan lebih dahulu, saya tidak bakal tertarik untuk menyentilnya dengan cara demikian.
Teman kampus saya, tidak bisa dibilang kenal karena kami tidak pernah bertegur sapa dan saya hanya sempat mengetahui dia di sebuah acara lantas follow Instagramnya, mengunggah postingan di Instagram dengan caption panjang sekali. Caption itu intinya mengoreksi teman-teman perempuannya, yang mengumumkan hijrahnya di sosial media. Padahal, si teman ini pun menunjukkan hijrahnya di media sosial, bahkan dipergunakannya buat berdagang pakaian yang katanya syar’i. Di bawah postingannya itu, saya hanya komen,”Soalnya postingan macam begitu (soal hijrah) bisa dipakai ‘jualan’.” Dan dia balik tanya maksud saya apa. Tersinggung bisa jadi.
Jika saja teman saya ini sebelumnya tidak melayangkan penghakimannya pada sesama perempuan lebih dahulu, saya tidak bakal tertarik untuk menyentilnya dengan cara demikian.
Agama
itu damai. Jadi, kapan kita mau berhenti saling menyakiti? Jadi, kapan kita
mulai berhenti saling merasa lebih baik? Sesama perempuan pula.
Bagi Tuhan, membolak-balik hati betapa mudah. Bisa jadi apa yang kita hakimi salah hari ini, besok hari kita lakukan juga. Oh iya, tolak ukur yang saya pergunakan dalam kejadian ini soal penghakiman, adalah mereka yang ucapan dengan praktiknya tidak sejalan, namun sudah merasa berhak menuding selain dirinya adalah salah.
Sesungguhnya, jilbab bukan alat untuk para perempuan berbalap merasa baik. Jilbab adalah salah satu anjuran kebaikan dalam beragama, jika betul-betul dimaknai. Masing-masing di antara kita sendiri; perempuan, yang menjadikan jilbab sebagai alat saling menyakiti dengan perempuan lain.
“There is no bad religion, they are only bad people.” –Instagram 9Gag-
Sabtu, 02 April 2022
Lupa tahun berapa. Sepertinya tiga tahun lalu. Teman yang saya bahas ini sudah tahu tulisan ini ada dan dia sudah berkembang jauh. Dia mengakui memang melakukan cerita di atas lalu menertawakan dirinya sendiri,"Hahaha... Aku dulu emang masih muda, Mbak."
Saya juga belajar dari teman-teman yang mau mengakui kelakuan sendiri seperti si teman ini. Soalnya saya dulu antri kritik parah sebelum luka inner child selesai. Mencerna saran? Heuh, yang ada mengira semua orang yang berpikir berlawanan sebagai si penyerang.
Sejak 2019 saya juga berusaha menemukan titik rekonsiliasi dengan banyak teman. Masih ada nama-nama yang masih saya cari sebetulnya. Tapi ya, membiasakan diri mengakui kesalahan ternyata bikin hidup rasanya lebih ringan.
Sayangnya, sejauh 2021-2022 ada dua teman yang tidak bisa bareng di titik rekonsiliasi. Dan ya, harus diakui tidak semua rekonsiliasi bakal berhasil. Bisa jadi saya yang kurang pas dalam berkomunikasi atau salah satu pihak masih perlu proses buat mencerna porsi kesalahan masing-masing.