Dalam imajinasi Fahirrah, kelak ketika ia berusia 24, dipukulinya Farrahnandah dengan tongkat golf hingga gadis itu menjerit memohon ampun. Farra masih dalam imajinasinya, akan mengaku kalah dan lemah, persis seperti papinya yang saban hari bergelung di lantai rumah dengan punggung dan leher memar berwarna ungu tepat di kaki sang mami.
Anak lelaki berkulit putih dan berambut keriting sebahu itu, sedemikian membenci Farra tanpa mengerti harus menamai apa perasaannya itu. Karena sebelum gadis itu masuk di kelas B-Matahari, semua orang dewasa memuji-muji Fahir sebagai anak baik, pintar dan sopan yang nomor satu. Para guru membicarakannya lintas kelas dan maminya pula dibagikan berita membanggakan itu. Meski berita membanggakan itu tidak mengurangi tamparan dan umpatan mami padanya saban hari juga. Tapi setidaknya, dada Fahir jadi menghangat akibat semua pujian itu. Walau sebaliknya, semua teman sekelas justru takut sekali pada lelaki kecil bermata coklat itu.
Fahir memang memenuhi segala ekspektasi moral yang dibuat orang dewasa. Mau berbagi bekal, membaca dengan lancar sejak awal masuk kelas A, mencuci tangan sebelum makan, melahap sayur tanpa protes dan tidak pernah berkelahi. Tapi semenjak gadis berkuncir tiga itu masuk dalam kelas yang sama, orang-orang dewasa jadi berbisik,”Fahir ini kecanggihan taktiknya melebihi anak seusianya ya ternyata? Ngeri juga, kalau gede jadi gimana dia nanti? Eh, dengar-dengar mami dia IQnya jenius sih memang...”
Dulu sekali, sebelum kemunculan Farra, Fahir bisa membagi bekal kepada temannya yang lupa tidak dibawakan kotak berisi makanan itu dari rumah. Kalau sudah begitu, orang dewasa, ah maksudnya bu guru akan memujinya besar-besaran di depan kelas. Namun ketika bu guru balik badan, Fahir mengambil lagi bekal yang dibaginya itu dengan wajah datar. Seorang teman lain yang coba memberitahukan kejadian itu pada bu guru, esok hari kepalanya memar karena sandungan kaki Fahir yang pura-pura tidak disengaja ketika jam senam.
Ketika anak-anak lain memahami tepuk tangan atas kebaikan Fahir seperti, ah, aku berarti juga mesti berbuat baik seperti itu karena perbuatan itu benar. Justru Fahir memahaminya begini, ah, aku mesti mendapat tepuk tangan itu. Harus...
Masih dulu sekali, lagi-lagi sebelum Farra muncul. Bu guru mengumumkan kehebatan Fahir di depan kelas karena berhasil menghabiskan sayur saat jam makan bersama. Dengan lahap anak lelaki bermata sayu itu memakan seluruh porsi sayur. Namun ketika bu guru memalingkan muka, anak itu ternyata memuntahkan sayurnya di mangkuk seorang teman yang beda meja dengannya. Semua anak senyap, ketakutan. Apalagi sayuran di mangkuk si teman beda bangku itu, sebenarnya sudah habis tanpa bu guru tahu. Marahlah bu guru terhadap anak itu dan terpujilah Fahir dengan segala kehebatannya memakan sayur tanpa muntah.
Hingga hari itu pun tiba, si gadis berkuncir tiga datang di kelas B-Matahari. Sekali ketika bu guru balik badan dan semua anak dibiarkan mencuci tangan masing-masing sebelum makan, Farra melihat Fahir sengaja tidak mencuci tangannya. Anak-anak lain senyap dan hanya memandang takut-takut ketika Fahir dengan mata sayunya menatap mereka semua. Tapi Farra tiba-tiba berucap pada seorang anak lelaki dan perempuan yang ada di kanan dan kirinya begini, Fahir nggak cuci tangan ih jijik...
Ucapan Farra tidak begitu keras, namun cukup didengar Fahir yang berdiri tidak jauh darinya. Kemudian ucapan-ucapan itu melebar hingga membikin Fahir mendelik. Bu guru yang mendengar ceracau ramai begitu, tentu langsung menghampiri anak-anak yang tengah antre di wastafel. Bu guru menegur ada kejadian apa? Kemudian seorang anak yang kepalanya pernah memar oleh Fahir, entah bagaimana mendapat keberanian untuk mengatakan, Fahir nggak cuci tangan, Bu. Dan disambut kor persetujuan anak-anak yang lain.
Pernah juga, Fahir mendatangi bangku Farra sambil mendelik. Kelas tengah kosong karena semua anak bermain di taman belakang. Farra kembali hanya untuk mengambil minumannya di meja. Fahir bilang, bakal mencolok mata Farra jika dia berani mengadu seperti kemarin. Farra diam dan mendelik balik, cukup lama mereka bertatapan sambil Fahir berkali menggebrak meja, mengancam. Keberanian Farra benar-benar membuatnya ingin sekali menumbangkan gadis itu sekali terkam. Hingga tiba-tiba Farra berkaca-kaca dan menangis. Fahir pikir dirinya telah menang, namun tiga teman sekelas ternyata sudah ada di pintu dari tadi. Jumlah anak semakin banyak, seiring tangis Farra yang makin keras. Hingga anak yang mangkuknya pernah diberi muntahan Fahir menjerit,”Bu guru! Farra dipukul Fahir!”
Anak itu tentu baru datang dan tidak melihat seutuhnya kejadian. Namun ia tidak berbohong juga. Konsep dalam kepalanya mengatakan, tangisan serupa Farra tentu terjadi akibat dipukul teman. Entah keberanian dari mana didapatnya untuk mengadu. Hingga para guru datang, tidak hanya dari B-Matahari namun juga dari kelas-kelas sebelah. Farra makin histeris bahkan ketika tubuhnya diangkat bu guru. Badan Fahir gemetaran ketika dengan lembut beberapa guru mengerumuni dan memberinya nasihat, mereka berusaha habis-habisan agar kata ‘nakal’ tidak keluar. Kata itu haram keluar dari mulut para guru terhadap murid, karena katanya itu dinamakan pelabelan yang tidak baik bagi perkembangan anak.
Tapi tanpa semua orang tahu, di balik ketiak bu guru yang menggendong dan menenangkannya, lidah Farra menjulur pada Fahir, mengejeknya yang tengah dihajar nasihat bertubi-tubi. Apalagi teman-teman yang lain berebut mengerubungi Farra dan mengamini kenakalan Fahir yang menyerang tanpa sebab. Dirasakan Fahir, tangisan gadis cilik itu ternyata bukan sebenar-benarnya tangisan karena merasa takut atau kalah darinya.
Ya, semenjak kehadiran Farra, semua anak jadi berani mengadukan Fahir dan bahkan menanganinya sendiri beramai-ramai. Menyepak Fahir bersama tiga orang sekaligus ketika jam senam, tidak pernah lagi jadi keliru, karena anak-anak yang lain kini berani bersaksi bagaimana kelakuan Fahir sesungguhnya. Anak-anak tidak pernah mengingat siapa yang memulai keberanian mereka melawan Fahir. Farra si anak pindahan hanya diingat sebagai gadis berkuncir tiga yang membaca saja masih mengeja karena di rumah, kedua orang tuanya sibuk bekerja.
Bu guru yang penasaran bagaimana Fahir yang tenang dan dewasa jadi membuat begitu banyak masalah, lebih memerhatikan gerak-gerik anak lelaki itu pada berikutnya. Dan benar saja, dia mengambil bekal yang sudah dia bagikan pada temannya, pula tidak mau cuci tangan jika tanpa pengawasan guru, masih dia lagi yang sengaja menyandung kaki seorang anak yang mengadukannya kemarin lusa. Maka bu guru, mulai mereka-reka ulang konsep kepolosan anak-anak. Barangkali yang dimaksud polos adalah, anak-anak belum begitu jago menutupi watak aslinya seperti orang dewasa dan bukannya semua ucapan juga perilaku mereka selalu jujur. Tapi serupa Mr. Kobayashi dalam kisah Totto Chan, bu guru yakin anak-anak sangat bisa diubah oleh lingkungan. Maka esok hari, bu guru sengaja mengobrol dengan maminya Fahir dan menceritakan semuanya. Mami Fahir berusia 24, sama berambut keriting dan berkulit putih, pula sopan seperti mula-mula Fahir masuk ke Taman Kanak-kanak itu.
Fahir gemetaran hebat ketika mengetahui bu guru mengajak maminya mengobrol. Ia tahu, umpatan dan tamparan maminya bisa lebih hebat sepulangnya dari sekolah dan barangkali malah tongkat golf itu ganti mendarat di punggung dan lehernya, serupa nasib sang papi.
Dan Farra pun tetap dikenang sebagai anak yang membaca saja masih mengeja, sudah kelas B pula. Kali ini kabarnya, karena dia masih menjalani terapi disleksia. Lantas anak-anak kelas B-Matahari tetap saja tidak mengerti dari mana keberanian mereka menghadapi Fahir sebenarnya bermula...