Dalam salah satu episode Hunter X Hunter, Gon berhadapan dengan Hisoka dalam ujian Hunter. Kesenjangan kemampuan mereka nampak jelas terlihat hingga tangan Gon dipatahkan oleh Hisoka. Para Hunter dan peserta berbisik-bisik soal kekejaman Hisoka, lantas lelaki berkulit pucat itu pun berkata bahwa, tulang Gon kelak akan tumbuh kembali bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Hisoka mematahkan tangan Gon dengan teknik yang tepat. Ia pula berjanji ingin menghadapi Gon lagi ketika anak lelaki dua belas tahun itu telah tumbuh dan setara dengannya.
***
Dua tahun ini, banyak orang merasa bersimpati terhadap hidup saya. Hidup yang bagaimana sih memangnya itu? Yang mati segan, hidup nggak ada tujuan.
Di tahun pertama, teman, saudara dan kenalan, sering terlihat jauh lebih mengusahakan bagaimana saya hidup ketimbang diri saya sendiri. Memang sih, serangan mental di tahun pertama ini luar biasa. Masih bisa menulis sepanjang tahun itu saja, sudah luar biasa. Hingga hari ini, saya suka tuh, buka-buka jejak tulisan lama di ige story maupun blog dan makin merasa... Oke juga ternyata daya tahan saya. Tulisan juga banyak yang ketche tuh meski dalam kondisi terdesak.
Saya bahkan lupa, berapa kali sudah ambil pisau dari dapur dan berencana mengakhiri hidup di tahun pertama itu. Saya juga lupa berapa kali usaha menjatuhkan diri dari lantai dua rumah atau menabrakkan diri ke mobil. Tapi semua rasa sakit yang datang selama dua tahun dan bahkan hingga hari ini masih jelas terekam. Meski ya... Rekaman itu hanya ada di kulit, tulang, daging dan darah. Tidak dengan otak, hati apalagi.
Tapi yang jelas, pertengahan tahun kedua ini saya malah merasa datar. Ketika tulisan saya dipuji misalnya, saya tahu emosi itu bisa diberi label senang. Namun yang ada, senang itu tidak membuat saya tertawa meledak, bangga sepanjang hari atau tersenyum sampai esok lusa. Senang itu sesaat saja dan hampir tanpa ekspresi yang kentara, kemudian redam lagi. Pula ketika saya mendengar cerita traumatis dari orang sekitar. Saya tahu emosi itu bisa diberi label empati, namun tidak ada tangisan, umpatan, apalagi jeritan.
Saya merasa aneh dengan kondisi yang makin datar itu. Tidak bisa marah, tidak bisa senang, emosi-emosi yang lain juga redam-redam saja dalam dada. Hingga saya bertanya pada teman SMK yang namanya Noval,”Kek, apa aku mati rasa? Kok aku sekarang datar ya?”
“Kamu masih suka kucing kan? Kalau iya, kamu nggak mati rasa berarti.” Jawab Noval.
Beberapa waktu setelahnya, saya bergabung dalam sebuah garapan yang mana ada dokter psikiatri di dalamnya. Demi memastikan semua yang terlibat baik secara mental, kami mendapat jadwal ngobrol masing-masing. Pada kesempatan itu, saya pun bertanya,”Bu, kenapa saya sekarang datar? Apa saya mati rasa karena kebanyakan disiksa?”
Pengalaman saya pun mulai digali. Mulai dari merasa biasa saja melihat orang yang pernah coba menyentuh saya tanpa konsensus bukunya laris, sampai persoalan lain-lain yang harusnya traumatis namun justru saya tidak lagi merasakan marah di sana. Bahkan ketika orang lain menceritakan beban-bebannya, tidak ada rasa lelah atau tenaga yang terkuras dari diri saya. Yang satu ini, sesuatu yang betul-betul baru saya rasakan setelah menjalani dua tahun terberat.
Dokter psikiatri yang tengah menggali pengalaman-pengalaman saya itu pun, mulai mengulas hasil kerja saya,”Pop, kalau kamu datar. Hasil tulisan kamu nggak mungkin sedetail ini. Sampai suara motor dan bahkan empati itu ada di sana.”
Saya terhenyak dan mengiyakan. Hasil pekerjaan yang bahkan tidak ingin saya baca ulang lagi itu, ternyata dinilai sedemikian dalam.
“Kamu itu mindfulness. Salah satu tahap kedewasaan. Kamu tahu gimana nggak terlalu senang ketika dapat berita gembira, juga nggak histeris ketika dengar berita traumatis.”
Usai mengobrol dengan dokter psikiatri, saya pun langsung menceritakan apa yang saya dapat kepada teman terdekat. Mbak Hani mengucap selamat atas apa yang saya capai, Zainul malah ingin curhat dan Yu Siti berkata,”Aku senang kamu mencapai ini. Dulu, aku mencapai ini dengan proses teater, sedang kamu mencapainya dengan proses penyembuhan.”
Jika ditanya, kado apa yang paling cantik dan saya dapat pada ulang tahun yang kali ini, tentu saja jawabannya mindfulness. Sesuatu yang bahkan belum pernah saya akses dari buku-buku mengingat kapasitas baca yang jauh sekali dibanding teman-teman lain. Namun saya menemukannya justru melalui pengalaman nyata.
Di lain waktu, seorang teman menelepon selama lima jam. Ia bercerita masa kecil hingga dewasanya dan... betul tidak ada tenaga yang terkuras. Begitu pula hari ini, ketika seorang teman yang lain mengirim teks WA begitu banyak mengenai kekecewaannya. Saya membalas pesan-pesannya sama banyak, tanpa kelelahan.
Satu waktu Desi mengatakan, hidup yang menunggu mati itu klise. Saya tahu itu benar karena... Saya yang sekarang meski tetap tidak punya rencana hidup dan pilih mengerjakan apa saja yang ada di depan mata, sudah menemukan tujuan. Kesakitan-kesakitan ini bukannya sekadar prosesi aniaya.
Dan bahwa saya tidak perlu menyajikan kalimat berbunga-bunga semacam ‘hidup ini hanya menunggu mati’, demi menutupi ketiadaan tujuan dan kemurungan oleh karenanya. Meski ya, jadi nihilis ala-ala nampak keren juga. Ehe.
Ini swafoto apresasi, karena sudah pada titik tidak merasa paling menderita dan berjuang. Semoga foto-foto ini tidak dicuri akun mesum yang fetishnya mbak-mbak overweight. Terus pikir saya, bakal matinya itu Januari 2019. Eh, ternyata sampai akhir tahun 2020 masih hidup juga.
|
Ekspresi favorit saya, tapi ibu nggak suka.
|
|
Ekspresi favorit ibu, tapi saya nggak suka banget. |
|
Suka pakai foto profil ekspresi begini. Ibu nggak terlalu banyak protes. |
|
Lagi-lagi ekspresi favorit saya dan ibu benci banget. |
|
Ekspresi yang antara suka dan nggak tuh, saya biasa saja. Ibu suka ekspresi ini, banget. |
|
Ekspresi favorit Mavalda. Ini saya pakai kalau lagi di kamar pas dan nggak mampu beli bajunya. |
|
Ekspresi favorit mbak Hani. Yang begini lebih suka saya simpan sendiri. |