Cerpen ini merupakan karya saya yang (tidak) lolos Kampus Fiksi (KF), Diva Press 2014.
Baju Dan Sepatu
Kasus kecelakaan dengan korban dua
orang tewas yang melibatkan RAR (22), putra bungsu Gubernur Y telah terbukti
melanggar dua pasal…
***
Dahiku
panas luar biasa. Waktu aku mengernyit tidak ada kerutan aku rasakan di dahi.
Mati rasa aku agaknya?.
Tusukan
jarum kecil di lengan bikin seluruh tanganku linu. Pelan- pelan mataku menutup.
Badanku sudah tidak terasa panas lagi.
Suara
tirai ditutup. Nyala redup lampu warna putih tepat di atas kepala. Semua terhidang
jelas di kuping dan sisa sudut kelopak mataku yang masih terbuka. Aku terbang…
“Bagaimana
Dok?” suara wanita di balik tirai.
“Terlambat…,”
Aku
terbang…
“Biar
saja. Tidak ada keluarga yang mencari dia. Dia pun tidak punya tanda pengenal
dan tinggal di perkampungan liar,”
***
Usiaku
delapan. Kali pertama aku melihat mobil- mobil gemuk dengan antena di atapnya parkir
sembarangan di sekeliling kampung.
Lapangan
bermain kami lama- lama habis di isi mobil- mobil gemuk yang jumlahnya makin
banyak tiap hari. Seorang lelaki yang namanya Suradi meniupi peluit. Dia
memerintahkan mobil- mobil itu mundur, maju, belok ke kiri dan ke kanan. Dia
dilempari dengan uang setelahnya.
Suradi.
Tetangga yang tinggalnya di lantai bawah kamar yang kami sewa.
Dulu,
kamar kami sehari- harinya penuh gelas plastik bekas siap jual. Sekarang, kamar
kami penuh kotak warna- warni berpita, sepatu- sepatu mengkilat seukuran aku, Kakak
dan dua adikku. Kertas kecil bertuliskan harga ratusan ribu menempel pada
benda- benda itu.
Kilat
kamera mulai menerpa muka kami tiap pukul enam pagi. Jam dimana biasanya Ibu
mulai mengomel karena kami telat bangun dan tidak bakal kebagian air di MCK.
Kami
jarang pergi sekolah. Kami jarang pergi bermain. Ibu bilang biar kami tidak
ketemu kilat kamera yang bisa membuat mata kami buta.
Berempat.
Seharian televisi kami pandangi. Disana selalu saja ada gambar kami. Orang-
orang ganteng dengan dasi di dada
selalu pasang tampang berkaca- kaca. Berulang- ulang mereka berkata,“Turut
prihatin. Kami akan berjuang bersama mereka”. Ibu bilang, mereka cuma pembaca
berita. Membaca apa yang ada di atas kertas baru kemudian bertutur.
Lama-
lama kami rajin mencobai baju dan sepatu yang berserakan di dalam kamar. Ibu
selalu menangis. Baju dan sepatu yang tengah kami genggam direbut kemudian di
lempar ke lantai.
“Bapak
kalian tidak akan pernah bisa ditukar dengan baju dan sepatu ini!. Kita bisa
menyusul bapak karena semua ini!” Ibu selalu menjeritkan hal yang sama berulang-
ulang.
Tiap
Ibu menjerit, kami duduk meringkuk di sudut kamar. Kami ketakutan. Baju dan
sepatu cuma berani kami coba waktu Ibu tidak ada.
“Lalu,
apa rencana Ibu setelah ini?” wanita berambut hitam kemerahan dengan lambang
stasiun televisi X di lengannya, mulai memasang muka sendu dan nada sedih waktu
menanyai Ibu.
“Saya
akan mengutamakan pendidikan anak- anak,” Ibu selalu berkata begitu sambil
memeluk siapa saja di antara kami yang sedang ada di sisi kiri dan kanannya.
Tiap
akhir pekan pemuda- pemuda usia dua puluhan datang juga membawa kamera. Ibu
tidak pernah menjawab pertanyaan mereka. Keningnya sudah di tempeli koyo dan
matanya merah tiap menolak keinginan mereka buat menanyai Ibu.
Kami
makin malas keluar rumah. Tiap keluar rumah, pemuda- pemuda yang tidak berhasil
mendapat izin Ibu untuk bertanya itu mengerumuni kami bersama para tetangga.
Kueja
pelan nama di dada pemuda- pemuda itu, ‘Per-s Ma-has-iwa’ tulisannya. Usiaku
delapan. Aku masih mengeja.
Kertas-
kertas warna hijau bergambar foto kami, selalu ada di tangan para tetangga tiap
hari senin. ‘Keadilan Roboh. Kami Akan berjuang Bersama Mereka’. Selalu ditulis
kalimat yang sama di bawah foto kami. Kakak selalu bilang bahwa mereka yang
menulis dan mengambil foto kami itu bakal membantu kami, makanya mereka menulis
hal yang sama di bawah foto itu.
***
“Menurut
saya, Ibu mesti menuntut biaya pendidikan anak- anak sampai mahasiswa!” pria
berambut tipis bicaranya berapi- api.
“Oh.
Malah menurut saya, Ibu lebih baik juga menuntut tunjangan tiap bulan untuk
anak- anak,” pria yang sepertinya paling tua umurnya, berusaha bicara lebih
kalem.
Mereka.
Dua dari tiga pengacara yang berkunjung di kamar kontrakan kami hari ini.
“Tidak…
tidak Tuan- Tuan. Saya cuma ingin orang yang sudah membuat suami saya meninggal
dihukum. Itu saja,” mata Ibu berkaca- kaca.
“Ya.
Bisa. Saya sudah sering menangani kasus semacam keluarga Ibu. Akan tetapi,
kasus- kasus tersebut tidak ditampilkan besar- besaran di media. Pelaku itu
pasti bisa di hukum. Ibu tinggal pilih pengacara. Saya sendiri bersedia untuk
tidak dibayar. Ini tragedi kemanusiaan yang luar biasa,” satu- satunya pria
berpakaian putih berkata paling akhir. Mata Ibu simpatik padanya. Mereka saling
bersalaman. Dua pengacara lain melirik marah.
“Terimakasih
kepercayaan Ibu. Saya akan berjuang bersama keluarga ini. Ini tragedi…,”
“Terimakasih
Tuan Bima… terimakasih…,” Ibu menangis.
Bima.
Nama pengacara yang di pilih Ibu.
***
Tok Tok Tok
Palu
diketuk. Jerit memuji- muji Tuhan menggema dimana mana.
“Hukuman
percobaan satu tahun…,” banyak orang berbisik. Kakakku cuma diam. Dua adikku sibuk
bermain puzzle baru, salah satu isi dari kotak warna- warni berpita di kamar
sewaan kami.
***
“Tuan
Bima… Tuan Bima… cuma begini saja?” Ibu menarik- narik baju putih Tuan Bima.
Tuan
Bima mukanya dingin. Dia tersenyum sopan, mengangguk kemudian pergi.
Pemuda
berbaju oranye bertulis ‘TAHANAN’ tersenyum seperti orang menang perang. Sisi
kiri kanannya ada pria tampan berdasi. Mereka seingatku pengacara yang tidak
dipilih Ibu.
Mereka
semua buru- buru keluar ruangan. Mereka masuk ke sebuah mobil hitam mengkilat.
Seorang wanita paruh baya berkulit putih menyambut si pemuda di pintu mobil. Pemuda
itu di hujani pelukan dan ciuman.Wanita itu barangkali Ibunya. Sering dia
dipanggil ‘Ibu Gubernur’.
***
Mobil-
mobil gemuk dengan antena di atapnya mulai jarang masuk ke dalam kampung. Wanita-
wanita dengan tulisan televisi X di lengan jumlahnya jauh berkurang. Kilatan
kamera cuma datang sehari sekali sekarang. Para tetangga mulai sibuk di rumah
masing- masing. Rumah mereka dipenuhi dengan gelas- gelas plastik kosong, sama
seperti kamar sewaan kami. Pemuda- pemuda yang ngotot menanyai Ibu dan datang
tiap akhir pekan bahkan sudah menghilang.
Kami
sudah tenang berkeliaran di jalanan kampung. Televisi sudah tidak menayangkan
gambar kami seharian.
Mendadak
siang itu Ibu menyuruh kami berkumpul di kamar. Seorang perempuan mencecar kami
semua dengan pertanyaan seputar Bapak. Lelaki di sisi kirinya memanggul kamera.
Kami
semua muncul lagi di televisi malam harinya. Kakak bilang, hukuman yang di
dapat orang yang membuat Bapak meninggal tidak sebanding. Jadi kami muncul lagi
di televisi. Mereka bakal membantu kami kata Kakak. Ya. Mereka yang di televisi
bakal membantu kami.
Para
tetangga berkerumun kembali esoknya. Mobil gemuk dengan antena di atapnya datang
lagi meski tidak sebanyak dulu. Itu semua cuma tiga hari. Setelahnya para
tetangga kembali sibuk di rumah masing- masing. Mobil- mobil gemuk tidak ada
lagi yang datang.
***
Mulutku
dibekap Kakak. Dua adikku di masukkan dalam truk. Ibu badannya tidak bergerak.
Badannya diseret dari semak- semak ke dalam truk.
“Sudah
enak anak- anakmu dapat biaya hidup. Masih saja ngoceh soal keadilan- keadilan,”
pria berkepala pelontos terus mengomel sambil menarik badan Ibu makin masuk ke
dalam bak truk.
Mesin
truk menyala. Truk melaju dan hilang di jalan turunan. Malam itu kakakku mulai
menjerit kemudian tertawa. Pipi dan matannya makin basah. Badannya di banting
ke tanah. Dia berguling- guling.
“Bapak kalian tidak akan pernah
bisa ditukar dengan baju dan sepatu ini!. Kita bisa menyusul bapak karena semua
ini!” ucapan Ibu berulang- ulang masuk di kupingku.
Ini
pasti gara- gara kami. Kami suka menyentuh baju dan sepatu itu. Ibu menyusul
Bapak begitu juga dua adik kami. Dua kaki aku mundurkan kebelakang. Aku sangat
ketakutan. Kakakku terus menjerit dan menggeliat di tanah. Kemudian, aku lari
menjauhi dia. Sejauhnya.
***
“Tuan
Bima. Aku Bayu. Anak yang tinggal di kampung pemulung itu. Anak yang tinggal di
kamar sewaan lantai dua itu. Ibuku sudah pergi menyusul Bapak. Badannya dibawa
orang- orang berbadan besar yang terus mengomel. Dua adikku dibawa mereka juga,”
kupegang erat pundaknya. Dulu tinggiku sepinggangnya. Sekarang dia setinggi
kupingku saja.
“Oh
iya. Nomor telepon anda berapa? biar saya catat,” aku menyebut deretan nomor
telepon. Tuan Bima menuliskannya di sebuah kertas kemudian buru- buru masuk ke dalam
sebuah mobil mengkilat warna putih. Aku senang. Aku pasti dibantu.
Limabelas
detik kemudian. Kertas kosong yang aku kira digunakan buat menulis nomorku melayang
tepat di depan keningku. Jadi, dia cuma pura- pura menulis lantas membuang
kertas itu dari jendela mobil.
Kepala
aku tunduk. Kuambil tongkat pel. Tongkat pel aku gosokkan sekenannya di lantai.
Aku
sekarang seorang tukang pel.
***
Nyala
api membuat mataku silau sekali. Sekelilingku penuh asap hitam. Sesak. Badanku
panas. Kulitku mengelupas. Mataku tertutup.
Dahiku
panas luar biasa. Waktu aku mengernyit tidak ada kerutan aku rasakan di dahi.
Mati rasa aku agaknya?.
Tusukan
jarum kecil di lengan bikin seluruh tanganku linu. Pelan- pelan mataku menutup.
Badanku sudah tidak terasa panas lagi.
Suara
tirai ditutup. Nyala redup lampu warna putih tepat di atas kepala. Semua
terhidang jelas di kuping dan sisa sudut kelopak mataku yang masih terbuka. Aku
terbang…
“Bagaimana Dok?” suara wanita di balik tirai.
“Terlambat…,”
Aku
terbang…
“Biar
saja. Tidak ada keluarga yang mencari dia. Dia pun tidak punya tanda pengenal dan
tinggal di perkampungan liar,”
***
Sebanyak 20 rumah semi permanen
pemulung terbakar sekitar pukul 15.00. Seluruh harta benda dalam rumah- rumah
semi permanen tersebut ikut di sapu si jago merah. Polisi menyimpulkan penyebab
kebakaran adalah karena korsleting listrik…
TAMAT