Kemarin
lusa saya di sodori teman sekelas buat mengisi psikotes kecerdasan jamak.
Setelah hasilnya muncul, kecerdasan saya dominan di Intrapersonal. Urutan
kedua, Visual.
Seperti yang saya kutip dari penjelasan psikotes
tersebut,
KECERDASAN
INTRAPERSONAL adalah Kemampuan memahami, menganalisa, dan merefleksikan diri sendiri,
mengenali kekuatan dan keterbatasan diri sendiri, serta menyadari
perasaan, keinginan, harapan, dan tujuan hidup. Profesi: Pelatih, pengajar,
penulis, peneliti, konselor, psikolog, rohaniwan, entrepreneur, dsb.
Sedangkan, KECERDASAN VISUAL/ SPASIAL adalah Kemampuan
berpikir 2 atau 3 dimensi, termasuk pemahaman akan bentuk dan ruang serta
hubungan antar benda dalam ruangan, memiliki kepekaan akan arah atau lokasi tertentu.
Profesi: Arsitek,
designer, perencana tata kota, seniman, fotografer, animator, pelaut, pilot,
dsb.
Begitu
hasil keluar, saya langsung merefleksi diri. Refleksi diri ternyata salah satu
gambaran utama seseorang memiliki kecerdaan Intrapersonal. Saya sendiri sudah sering
melakukan refleksi diri tanpa tahu bahwa saya sebenarnya memiliki kecerdasan
Intrapersonal.
Saya
ingat waktu lulus SMP, saya memang sudah punya pandangan hidup sendiri. Saya ngeyel setengah mati pada Ibu, bahwa
saya mesti masuk di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) jurusan Pekerjaan Sosial
(PS/Peksos yang sekarang ganti nama menjadi Perawatan Sosial).
Waktu
itu, saya berpikir bahwa saya tertarik dengan dunia kejiwaan semenjak SMP.
Ketertarikan itu terbentuk setelah saya mengalami pembullyan dan juga lingkungan yang tidak menerima diri saya. Jadi,
saya harus masuk pada jurusan yang
berkaitan. Saya yakin saya bisa, saya cocok
dan saya juga punya rencana- rencana lain setelahnya. Setelah ‘debat ilmiah’
yang cukup cantik dengan Ibu saya, saya akhirnya berhasil masuk di SMK pilihan
saya tentunya dengan jurusan yang sejak awal ngeyel mesti saya ambil.
Ibu saya
terus terang saja tidak terlalu srek kalau
saya masuk SMK. Ibu punya kekhawatiran bahwa lulusan SMK pada kenyataannya
setengah matang di dunia kerja dan tidak punya dasar untuk lolos tes perguruan
tinggi. Ibu saya tidak sadar bahwa putrid semata wayang yang ada di hadapannya
ini pemikirannya di dasari kecerdasan Intrapersonal. Saya sendiri waktu itu
juga tidak sadar bahwa saya sebenarnya berpotensi dalam kecerdasan
Intrapersonal. Tentu saja wajar bila Ibu saya awalnya sangat ragu dengan
keputusan saya. Saya masih berusia 14 tahun dan masuk sekolah lanjutan dianggap
juga sebagai penentu masa depan.
Sejak
usia Taman Kanak- Kanak (TK), saya mulai suka menggambar. Saya tidak pernah
benar- benar pintar bermain gradasi seperti teman- teman saya yang les
menggambar atau melukis. Saya menggambar pada sobekan kertas atau papan tulis
kapus bikinan ayah saya. Saya menggambar segala yang saya lihat atau menyoal
perjalanan yang baru saya lakukan diluar rumah. Ayah mengakui bahwa gambar-
gambar saya memiliki konsep. Bisa dimengerti meskipun tentunya jauh lebih buruk
dari lukisan pelukis- pelukis amatiran. Gambar- gambar saya selalu menunujukkan
ruang, latar dan waktu yang berbeda.
Saya
benci sekali ketika saya mesti menggambar sesuai apa yang di contohkan oleh
guru. Sebaliknya, teman- teman saya banyak yang kebingungan waktu guru menyuruh
kami menggambar bebas.
Waktu
kelas dua SD, guru saya, Bu Nurul, memakai gambar saya sebagai contoh untuk
anak- anak kelas lima. Saya sangat terkesan karena Bu Nurul menyejajarkan
gambar karya saya dengan teman- teman yang pandai membuat gradasi dan bahkan
les menggambar. Bu Nurul seperti paham bahwa ada ‘konsep’ di dalam gambar saya.
Sepenuhnya saya mengerahkan imajinasi disana. Ketika saya menggambar, saya
merasa seperti bicara dengan gambar- gambar saya. Saya benar- benar menganggap
bahwa dalam gedung- gedung yang saya gambar, memang ada kehidupan.
Pertengahan
kelas tiga SD, saya mulai menulis. Menggambar terus saya lakukan meskipun pada
saat itu saya mulai merasa bahwa menggambar tidak sepenuhnya bisa menggambarkan
apa yang ada di pikiran saya. Jadilah saya menulis sebuah cerpen perdana
berjudul ‘Tiga Kurcaci Kecil’. Ceritanya sangat sederhana, bercerita soal Tiga
Kurcaci Kecil yang melawan Semut Jahat dengan di bantu nenek sihir baik hati.
Di akhir cerita, Tiga Kurcaci Kecil berhasil mengalahkan Semut Jahat. Cerpen
tersebut tidak lupa saya sertai dengan ilustrasi. Ilustrasi yang paling saya
ingat dimana Tiga Kurcaci Kecil menyelinap di balik tembok untuk mengintai
Semut Jahat.
Dalam
penamaan karakter pun, saya memaki nama yang aneh- aneh. Nesiba, sebutan bagi Nenek
Sihir Baik yang membantu Tiga Kurcaci Kecil melawan Semut Jahat. Kemudian,
Nesija, sebutan bagi Nenek Sihir Jahat yang membantu Semut Jahat melawan Tiga
Kurcaci Kecil. Tiap saya mengingat nama- nama ajaib ini, saya sering tertawa
sendiri. Saya sudah menyingkat nama- nama aneh jadi sebutan yang menarik tidak
kalah dengan mahasiswa- mahasiswa yang judul PKMnya lolos kwkwwkwk.
Saya
semakin gila menggambar dan menulis waktu SMP. Sebuah novel tulisan tangan
berjudul ’13 Miracle’ bercerita tentang seorang anak perempuan berusia 13 tahun
bernama Felminia Fonny yang memiliki kekuatan supranatural yang dia sendiri
susah untuk mengendalikannya. Tulisan itu saya buat juga ilustrasinya. Waktu
itu, selain membuat ilustrasinya sendiri, saya juga bekerjasama dengan teman
saya Lisa Sugiarto yang gambar karyanya saya akui jauh lebih memikat ketimbang
milik saya.
Setelah
sadar bahwa prestasi akademis saya sama sekali tidak terurus selama SD hingga
SMP, saya memutuskan berhenti menulis dan menggambar. Saya nyatanya tidak pernah
bisa sepenuhnya berhenti. Saya masih sempat menulis artikel untuk majalah
sekolah dan membuat komik untuk mading sekolah sebelum benar- benar mogok menggambar dan menulis. Saya juga
masih sempat menjadi asisten kecil guru seni budaya saya waktu kelas sepuluh. Bu
Putri nama guru saya itu, sempat beberapa waktu menunda tekad saya saya untuk
berhenti menggambar.
Saya
mulai sibuk mengejar nilai- nilai akademis dan bidang Pekerjaan Sosial yang
akrab dengan hubungan antar manusia, psikologi, sosial dan konseling. Saya
memang makin jatuh cinta pada bidang sosial dan kejiwaan setelahnya.
Sekitar tahun 2011 saya
sebenarnya juga sempat menulis beberapa cerpen dan aktif di salah satu forum
kepenulisan sajak bernama Bersajak dan Melawan. Saya sejujurnya aktif sekali
membuat sajak pada waktu itu. Saya bohong apabila saya benar- benar bilang
bahwa saya berhenti menulis pada waktu itu.
Lepas
SMK, lagi- lagi saya mesti berdebat dengan Ibu mengenai jurusan yang akan saya
pilih di Universitas. Saya ngeyel
masuk jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Jurusan tersebut saya rasa linear
dengan jurusan Pekerjaan Sosial. Jurusan PLS
juga masih menyangkut sosial dan
psikologi. Ibu saya lagi- lagi belum sadar bahwa anak usia 17 tahun yang ada di
hadapannya punya kecerdasan dominan Intrapersonal. Saya sendiri masih belum
menyadarinya. Yang pasti, saya mengerti sebab akibat dan juga memiliki berbagai
rencana yang sesuai dengan kemampuan yang saya kenal dalam diri.
Setelah
‘debat ilmiah’ dengan Ibu, saya berhasil mengikuti tes dan masuk pada jurusan
PLS. Saya benar- benar tidak salah memilih jurusan! Saya begitu menikmati dan
menadapat cukup banyak kenalan.
Jelang
semester 3, saya mendadak kangen untuk menulis. Saya mulai mengelola blog. Saya
kembali menggambar. Semua saya lakukan setelah saya merefleksi diri bahwa saya
mesti seimbang dalam bidang akademis maupun non akademis. Saya berpikir bahwa
lulusan Universitas dengan IPK tinggi pasti sudah kelewat banyak. Saya harus
memiliki nilai plus. Nilai plus yang jadi pembeda itu sudah saya miliki, tapi
saya tinggalkan sangat lama karena dulu saya menganggap hal tersebut tidak
punya dayaguna.
Ibu mulai
khawatir. Saya mulai dikira ragu dengan jurusan PLS yang saya ambil. Saya juga
dikiran malas mendalami dunia PLS. Ibu saya lagi- lagi belum sadar bahwa
anak
usia 18 tahun yang ada di hadapannya itu, memiliki kecerdasan Intrapersonal dan
Visual. Kecerdasan yang tidak di sadari dan diarahkan secara serius selama 18
tahun. Saya pun sama, belum sadar mengenai keberadaan dua kecerdasan dominan
tersebut.
Semester
6. Saya mantap mengambil peminatan Management PAUD (MPAUD) di jurusan PLS. Saya
tertarik dengan kejiwaan, sosial ditambah anak- anak saat itu. Saya menyadari
banyak sekali pengalaman langsung yang saya alami selama proses menjadi dewasa.
Ada luka- luka di masa kecil yang membuat saya tertarik mendalami dunia anak-
anak dan mendekati anak- anak.
Kali ini,
Ibu saya cuma mengatakan bahwa saya harus bertanggung jawab dengan pilihan
saya. Tidak ada perdebatan berarti kali ini. Bukan berarti saya maupun Ibu
sudah menyadari bahwa saya memiliki kecerdasan Intrapersonal dimana saya mampu
memhami kelebihan dan kekurangan diri. Ini semua karena Ibu berusahan
menyembunyikan kekhawatirannya ketika saya lagi- lagi ngeyel menentukan masa depan sendiri. Hingga hari ini, saya makin
menikmati ilmu- ilmu mengenai parenting dan anak usia dini dalam peminatan
MPAUD.
Saya barangkali
hanya satu dari banyak anak- anak yang berproses tidak cukup terarah terkait
kecerdasan yang sebenarnya sudah nampak waktu kecil. Saya masih cukup beruntung
karena bisa membangkitkan potensi yang sebenarnya bisa saya kembangkan. Banyak
sekali teman- teman saya yang sebenarnya memiliki potensi kecerdasan masing-
masing. Tapi, semuanya hilang seiring usia karena tidak ada pengenalan diri
baik dari lingkungan maupun diri sendiri.
Setiap
anak memang istimewa…
SELESAI
Fyi, waktu tes lagi 2018, saya ternyata dominan musikal dan eksistensial juga. Tes 2018 ini aspek kecerdasannya lebih banyak dan bisa diakses lewat playstore. Kredibelitasnya serupa tes dari teman saya.