Sumber: Gugel |
Lebih dari setahun lalu, saya mengikuti sebuah seleksi yang diganjar workshop menulis gratis, dapat uang saku pula. Acaranya berlangsung di kota Batu selama dua hari. Semua pesertanya perempuan dan ada satu orang yang lebih muda barangkali tiga tahun dari saya, agak membuat hilang feeling. Sebut saja dia Rinjani begitu ya. Si Rinjani ini berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Timur. Matanya tajam dan terasa sekali hawa ambisius dalam dirinya. Hawa ambisius ini pula, yang meluber sekali sampai membikin saya pusing.
Selama acara berlangsung, saya tidak pernah minat dekat-dekat dengan Rinjani. Bagaimana dia selalu berusaha berpendapat ketika forum berlangsung, caranya menata kalimat sampai gesture badannya, semua saya tuduh ambisius. Meski pemateri tidak pernah menganggap pendapatnya istimewa-istimewa amat, Rinjani terus bersuara. Tipe-tipe demikian biasanya cocok ikut kompetisi dan benar saja, ketika para peserta saling mengikuti di akun sosial media masing-masing usai acara, Rinjani isi sosial medianya dipenuhi publikasi memenangkan lomba ini dan itu, foto membawa piala, sertifikat juga bukti-bukti kemenangannya yang lain.
Meski tidak begitu nyaman dengan gaya ambisiusnya yang terbuka dan bikin badan ngilu-ngilu merinding itu. Ketika Rinjani kembali mengunjungi Malang, kami bertemu kembali dan hanya berdua. Dia rencananya saya tawari menginap di rumah karena di salah satu pulau kecil di Madura, tempatnya hendak jadi sukarelawan terjadi badai. Jadilah ia dan rombongan terlunta-lunta di Sidoarjo. Namun akhirnya, Rinjani justru mendapat tawaran menginap di bascamp komunitas kenalannya di tengah kota Malang. Jadilah kami bertemu hanya untuk mengobrol.
Dan ketika kami mengobrol kesana dan kemari, sebuah telepon masuk ke ponselnya Rinjani. Saya tahu suara itu dari laki-laki paruh baya dan terasa mengintimidasi. Tapi entah bagaimana Rinjani malah menanggapi dengan tenang dan sopan hingga telepon itu selesai. Dan ternyata, telepon itu dari bapak kandungnya yang minta transfer uang. Rinjani kemudian bercerita, bagaimana ia mendapat uang dari tulisan yang dikirimkan ke media masa dan lomba-lomba. Soal kuliah, dia sendiri dibiayai orang tua angkat, sedang bapak kandungnya menikah lagi dan hanya menelepon ketika butuh uang.
Sebelum percakapan berakhir, saya dengar Rinjani mohon maaf karena hanya punya uang sekian dari sekian-sekian yang diminta bapaknya. Sudah diminta uang dan masih dia juga yang minta maaf. Saya sempat kaget dengan kesabaran perempuan berkerudung itu. Dan tentu saja, uang darinya dipergunakan bapaknya itu bersama keluarganya yang baru. Masih menurut cerita yang dituturkannya kepada saya, semenjak ibunya meninggal dan sebelum bertemu orang tua asuhnya, Rinjani mencari biaya kuliah sendiri sampai kesulitan makan di kos. Dan lagi, ia anak tunggal. Bisa bayangkan di usia belasan yang semestinya masih butuh pegangan, seorang Rinjani malah harus hidup sendirian di luar rumah tanpa bapaknya, keluarganya satu-satunya yang justru malah sibuk dengan keluarga barunya.
Dari semua cerita lengkapnya, saya baru memahami bagaimana Rinjani begitu berambisi menjadi pemenang kompetisi ini dan itu, sebenarnya adalah pelampiasan. Ada ruang sepi di dadanya. Dan ruang sepi itu baru terisi ketika tepuk tangan riuh menyambut kemenangannya dan orang-orang mengakui keberadaannya. Ruang sepi itu banyak pula dialami teman-teman lain dengan kondisi keluarga sama tidak lengkap. Bedanya, sebagian dari teman-teman ini ada yang dimanfaatkan lawan jenis demi kebutuhan fisik semata. Masih sebagian teman ini, menyamakan kasih sayang dan pemenuhan ruang kosong itu dengan kontak fisik yang pada akhirnya, membuat mereka ditinggalkan saat sudah tercapai tujuan dan sisanya hanya tangisan.
Langsung saja saya merasa bersalah dengan tuduhan Rinjani yang terlalu ambisius dan membuat minat berteman lenyap. Ambisi-ambisi itu justru adalah mekanisme bertahan hidupnya gadis berkacamata itu. Yang dengan itu, ia justru selamat dari hubungan bersama lawan jenis beracun dan bertujuan kebutuhan fisik tanpa pertanggungjawaban. Dalam hati saya menangis melihatnya berkaca-kaca, menahan sedih dan marah. Namun ya, saya hanya bisa menyentuh tangannya.
Lain lagi soal Fariskia. Gadis itu sebaya saya dan punya ambisi soal relasi dengan lawan jenis. Jadi si Fariskia ini mengalami penolakan dari orang tua kandungnya. Ia tinggal bersama kakak angkat perempuan yang usianya dua kali lipat lebih tua darinya. Ketiadaan teman bicara dan anggota keluarga yang bisa memahaminya membuat pertemuan dengan Fendi, seorang lelaki yang lebih tua darinya dua tahun itu menjadi seolah berkah.
Kakak Fariskia tidak pernah setuju dengan hubungannya bersama Fendi. Pula saya yang entah bagaimana merasa ada yang tidak beres dengan lelaki berkulit kuning itu. Tapi ketika saya mengungkap apa yang saya rasakan, justru Fariskia menjauh dan menyembunyikan hubungannya dengan Fendi sampai musim skripsi. Dan selama berkuliah, gadis pintar dan keren itu justru mata dan gerak tubuhnya terlihat tidak turut senang ketika saya dekat dengan lawan jenis hingga ia mengatakan, kok bisa ya? Cowok sekitarmu pada good looking gitu? Kok bisa ya, cowok sekitarmu pas baik-baik gitu?
Hingga kejadian demikian berulang dan saya memberi cap Fariskia teman yang beracun. Dalam pikiran saya, bagaimana bisa dia tidak senang melihat temannya dikelilingi lawan jenis berkualitas? Dan jelang kelulusan, Fariskia yang dikabarkan hampir menikah dengan Fendi, ternyata pilih memutuskan hubungan. Dia menangis dan depresi sambil menceritakan rencana membeli tanah bersama Fendi demi mimpi hidup bersama yang gagal terlaksana. Ternyata selama menahun, Fariskia menyembunyikan hubungan dari saya, kakak perempuannyanya dan siapapun yang tidak menyetujui hubungan mereka. Diam-diam dia pula telah memersiapkan sebuah pernikahan untuk membuktikan ucapan kami yang tidak setuju sepenuhnya salah.
Nyatanya, selama menahun berpacaran, Fendi hanya memanfaatkan Fariskia termasuk saoal ekonomi. Tidak terhitung kebohongan yang dilakukan Fendi, termasuk pura-pura rajin bekerja dan punya jenjang karir yang baik. Namun demi membuktikan para penentangnya keliru, Fariskia bertahan pada hubungan yang begitu menyiksa. Selama berpacaran pun, Fendi selalu menampilkan citra lelaki progresif yang punya mimpi ya semacam… punya mimpi pendidikan begini dan pekerjaan begitu. Perempuan yang punya bakat jadi atlet itu pun menyerah, tidak lagi memaksakan segala rencana manis untuk hidup bersama seterusnya.
Lepas dari Fendi, sayangnya Fariskia tetap pada lajurnya yang merasa tidak terima ketika teman sesama perempuan dekat atau mendapat pasangan baik. Hal ini tidak terjadi hanya pada saya ternyata. Ketika mengetahui seorang teman lama kami menikah dengan pria yang saya ceritakan kalem, tegas dan berwibawa, ada luka di mata Fariskia. Matanya nampak marah dan tidak terima. Tapi bagaimana bisa? Sedang teman lama kami itu hidupnya semua orang tahu begitu sulit. Salah satu pihak dari orang tua si teman ini pula, pernah nyaris menjualnya menjadi tenaga kerja ilegal. Tidakkah satu kebahagiaan, yaitu memiliki pasangan yang bekualitas, layak sekali buatnya kemudian? Apalagi teman kami itu super setia kawan.
Namun pada titik itu, saya sudah berhenti menganggap Fariskia beracun. Rasa sakitnya ketika melihat temannya berhasil dalam relasi sesungguhnya adalah kemarahan pada dirinya sendiri. Seperti semasa saya dekat dengan lawan jenis yang baik, di masa itu ia pula masih dalam hubungan beracun dengan Fendi. Di masa itu juga, Fariskia sesungguhnya tersiksa dengan hubungannya. Lepas dari Fendi dan melihat teman-temannya yang lain menikahi lelaki baik, rasa marah dan kecewa itu masih juga ada ternyata.
Baik Rinjani maupun Fariskia, telah luka dalam rasa sepinya masing-masing. Ruang sepi itu mereka beri nama kekalahan. Hingga terbentuk seorang Rinjani yang terobsesi menang berbagai kompetisi dan Fariskia yang terobsesi berhasil dalam relasi…
Catatan: seluruh nama telah disamarkan