Jepreted by Neny Adamuka |
Raisa, awal tiga puluh, baru ingat pernah menyelesaikan kuliah di salah satu universitas di jawa timur. Pernah didiagnosa OCD dan kali ini pergi ke Malang bersama suami dan anaknya yang berusia dua tahun.
"Nggak apa-apa, apa adanya aja sisa file diupload." Ucap ketua jurusan setelah mendengar cerita pernikahan dan kehilangan file skripsi meski tetap dengan status sudah lulusnya.
Mertuanya memberi saran jadi ASN saja, sedang hari itu anak kedua dan suaminya sedang keliling Malang naik mobil berdua. Pegawai administrasi tersenyum saja mendengar ceritanya yang menjadi ibu beranak dua, sudah lulus dan baru saja mengambil ijazah.
Petugas administrasi memberikan nomornya buat disimpan. Raisa duduk di bangku seberang loket dengan angan-angan baiknya mememberi kenang-kenangan apa untuk pegawai yang dengan telaten sudah memandunya mengambil ijazah itu.
Neny, akhir dua puluhan, membiarkan kereta pertama yang datang terlewat. Tangga arah naik penuh dengan manusia namun ia masih sempat mengeluarkan ponsel dari sakunya, mengetik tips mindfullness bagi pengguna kereta. Tidak perlu buru-buru dan rakus salah satunya. Kereta berikutnya membawanya ke gerbong perempuan.
Seorang petugas berkata naik saja dulu, pada perempuan hamil yang bertanya apa masih ada ruang di gerbong perempuan. Selanjutnya bukan dengan suara lantang, lelaki itu bilang,"Permisi ibu hamil," berharap para perempuan lain dengan kesadaran sendiri berdiri lantas memberi kursi.
Setelah Neny berteriak cukup lantang, langsung tunjuk saja, Pak! merujuk harapan petugas langsung memilih calon pemberi kursi, seorang perempuan muda nyatanya berdiri, tanpa ditunjuk. Kursi ia berikan pada perempuan hamil itu.
Indayu, setengah abad, sedang semangat sekali bicara di meja warung kopi. Empat atau lima teman di meja yang sama memperhatikannya bicara. Tegas, meluap dan penuh pesona. Komentar soal idenya disahut dua orang teman dan di akhir, seorang laki-laki seumurannya berdiri dari meja seberang, menyerahkan sebuah sketsa berisi wajahnya.
"Saya suka cara Mbak bicara." Lelaki itu bilang.
Rekan-rekan semeja turut berkata wah. Salah satu berinisiatif mengambil foto Indayu dan laki-laki yang entah siapa namanya itu. Sebuah novel disorongkan gadis itu pada si lelaki. Novel karyanya yang terbit lewat jalur indie. Yang sayang sekali digarap sekenanya oleh salah satu kru penerbit dengan antar kalimat bergandeng tanpa spasi.
Sekarang di tempat mereka masing-masing berada, sinar matahari sedang serentak tenggelam. Sebagian langit berwarna oranye pudar.
Untuk Raisa Izzhaty, Neny Agustina Adamuka dan Indayu Sri Mulyani.
Separuhnya cerita nyata.
Tanggal dan jam unggah mencatut tanggal dan jam lahirnya Arma.