|
Sumber: Instagram @fitratisna. Lokasi: Griya Buku Pelangi |
Yeay!
Akhirnya saya ikutan juga Lemah Tanjung bareng Pelangi Sastra Malang. Ya… meski
pas saya ikut, bahasannya sudah sampai di pertengahan bab 7 dan lanjut ke bab 8
sih. Nah, novel karya Ratna Indraswari Ibrahim ini sudah sekian-sekian kali pertemuan
dibahas di Pelangi Sastra. Saya pribadi, awal mula tahu nama Ratna Indraswari
Ibrahim ini, dari ayah saya yang rajin baca koran, itu sekitar tahun 2010,
semasa saya SMK. Ya… Mbak Ratna memang bukan cuma dua atau tiga kali masuk
koran lokal maupun nasional.
Banyak
dari kita tentu mengetahui, bahwa mbak Ratna ini kema-mana pakai kursi roda,
karena radang tulang dan Lemah Tanjung adalah salah satu karya fenomenalnya.
Dan ternyata, guru mengaji saya semasa SD, Mbak Zizi Hefni, dulunya berproses
di pergerakan sastra Malang seangkatan dengan mas Denny dan dirinya juga bukan
dua atau tiga jadi asistennya Mbak Ratna. Sayangnya, garis pertemuan saya
dengan sastra di Malang dan juga mbak Ratna itu sendiri baru ketika saya mulai
kuliah dan Mbak Ratna sudah wafat. Ya… setidaknya, karya beliau memang masih
bisa jadi benang merah antar generasi teman-teman yang bergerak di dunia
sastra.
Hari
itu (15/09/2018), pembacaan dihadiri 6 orang. Orang terakhir yang saya lupa
namanya, teman baru di Pelangi Sastra Malang. Ya… maklum, saya lama juga nggak
hadir acara. Jadinya ya, banyak belum kenal teman-teman yang baru masuk. Jadi
waktu itu ada saya, Mas Denny (koordinator abadinya Pelangi Sastra), Mbak Fitrahayunitisna (Dosen
Brawijaya), Mbak Istifari Hasan (penulis kumpulan cerpen Parodia) dan Firdausya
Lana (aktif juga di Lingkar Studi Filsafat Discourse alias LSFD).
Sebelum
acara mulai, dibagi foto kopian Lemah Tanjung bab 7 dan 8 oleh Mas Denny dan
tentu saya cepat-cepat nyolong baca sebelum acaranya mulai hehe. Jadi, dalam
bab tersebut Gita jadi penutur utama. Ia tetap pada masalah pelik menghadapi
suaminya, si Paul itu yang berselingkuh dan ketercengannya pada Bonet, putrinya
sendiri yang masih Sekolah Dasar dan dirasanya jauh lebih dewasa ketimbang
umurnya.
Gita
sendiri bersahabat dengan mbak Syarifah, temannya sesama aktivis yang
berkebutuhan khusus dan memutuskan untuk tidak menikah. Latar tempat dalam bab
tersebut adalah kota Malang di era 90an, dimana kegelisahan soal ninja pembunuh
yang bertebaran di dalam kota dan juga heboh pembunuhan massal di Banyuwangi
merebak panas.
Di
era itu, tentu saja saya masih balita dan tidak merekam kegentingan di masa
itu. baru ketika saya mulai sekolah, ayah saya kerap menceritakan kegentingan
di masa itu, apalagi ayah bekerja dua shift di sebuah apotek di kotamadya,
sedang rumah kami ada di kabupaten Malang. Jadi di masa itu, ayah setiap malam
di perjalanan pulang kerjanya, melihat bagaimana orang-orang berjaga di tiap
kampung.
Benar-benar
deh… latar tempat dan waktu dalam novel satu ini terasa sekali. Betul-betul
tengang-tegangnya politik di masa itu dan lagi, Mbak Fitra juga cerita,
beberapa tokoh dalam novel itu ada di dunia nyata. Mbak Fitra sendiri pernah
terlibat demonstrasi perkara Lemah Tanjung, di tahun 2000an dan itu semasa
dirinya masih mahasiswa baru.
Di
forum ini, peserta yang hadir semuanya diberikan kesempatan membaca dengan
keras isi novel. Baru setelahnya ada pembahasan. Disini saya mau rangkum
bahasan dari Mbak Fitra. Kalau Mbak Fitra bilang Mbak Ratna ini ternyata
feminis banget, ya memang.
Pembahasan
soal perselingkungan menghadirkan tokoh Gita yang kebingungan menghadapi
suaminya yang berselingkuh. Tokoh perempuan sekitarnya pun ada pula yang mengalami
hal serupa, akan tetapi tokoh tersebut memilih menerima dan menuntut Gita
melakukan penerimaan serupa dengan berbagai dalih. Namun, pada bab yang kami
bahas hari itu, muncul juga tokoh Heriah. Heriah ini akrab juga dengan Mbak
Syarifah dan suaminya berselingkuh serupa suaminya Gita. Bedanya, Heriah
membalas perselingkuhan itu juga dengan perselingkuhan.
Menjadikan
tulisan Mbak Ratna berbeda dengan Ayu Utami dan Djenar Maesa Ayu, menurut Mbak
Fitra, adalah bingkai moral yang diusung di dalamnya. Perselingkuhan yang menjadi
pembalasan tokoh perempuan atas luka perselingkuhan serupa, tidak begitu saja
dihalalkan dalam tulisan Mbak Ratna. Bahkan Mbak Ratna ternyata pernah juga
mengritik Ayu Utami, kata Mas Denny.
Selanjutnya,
Mbak Fitra juga mengritisi keberadaan cerita para princess yang baginya, mendidik para perempuan sejak dini agar
menanti pangeran berkuda putih yang menyelamatkan hidup mereka tanpa perjuangan
hidup. Padahal bagi Mbak Fitra, lelaki dan perempuan sama saja, tentu bisa
lemah juga. Bagaimana bisa lelaki dituntut terus menerus kuat? Kemudian saya
ingat Aurora yang
diselamatkan ciuman pangeran tidak dikenal, hingga Cinderella yang juga
diselamatkan pangeran dari kehidupan keluarganya yang buruk. Ah, saya tapinya
semenjak kecil lebih suka Mulan. Saya kenal Mulan pun, gara-gara punya tetangga baik hati yang
senang menyewakan saya CD film animasi. Mulan pada akhirnya memang berpasangan
juga, tapi proses ia bertemu pasangannya itu karena berjuang bersama dalam kondisi
perang kerajaan, bukan ‘hadiah’ yang tiba-tiba.
Eh,
ini sungguhan ya, Rek. Kamu yang sedang baca tulisan saya ini kalau mau gabung
acaranya Pelangi Sastra Malang hayuk mari. Gratis semuanya dan jangan ragu
mampir, pasti dapat teman baru.
|
Sumber: Instagram @pelangisastra |