Saya akui memang saya punya konsep
aneh soal pernikahan, sidang skripsi dan kematian. Dua bab yang katanya
kebahagiaan dan satu bab yang katanya kiamat kecil.
Bab Pernikahan
Saya pernah sangat semangat mendatangi
pernikahan seorang teman sekolah. Di masa sekolah, dia bukan termasuk siswi
populer. Di bidang akademis maupun non akademis, dia tidak pernah terlalu
menonjol.
Namun, saya malah semarak menulis
surat berisi ucapan selamat buatnya. Saya juga memaksa ibu buat membantu saya
membungkus kado untuk teman saya itu. Bahkan saya dengan girang, masih sempat
mengoordinir teman-teman yang juga diundang untuk datang berbarengan, meski
akhirnya kami semua tersesat juga berbarengan waktu menuju lokasi. Omong-omong,
kalau tidak salah, saya memang ada di barisan motor paling depan, sok mempimpin
jalan yang pada akhirnya juga memimpin ketersesatan kami berbarengan eheheh…
Jika dirunut saat ini, ada kesan
yang disemat teman saya itu pada hati saya semasa sekolah. Dia berteman dengan
saya dengan lugu. Sekadar karena kami mengobrol di selasar atau ketika saya
terkekeh dalam batin melihat dia merengek minta diantar ke kamar mandi pada
teman saya yang lain.
Bahkan setelah pernikahannya, saya
dan beberapa teman masih jalan bersama dia dan suaminya waktu berkunjung ke
Kampung Cempluk.
Pada pernikahan lain, saya malah
mendatangi seorang teman yang sesungguhnya mengganjal di hati saya. Saya bilang
begitu, karena dia lain dari teman-teman sekelas yang lain.
Di masa SMK, yang mengeratkan
persaudaraan antara kami sekelas justru dengan saling contek. Dan bayaran
berbagi contekan dengan saya itu mahal sekali, kamu mesti berteman dengan saya,
itu mutlak.
Jika teman-teman yang lain bisa
berteman dengan saya, beda hal dengan teman perempuan saya yang satu itu. Dia
ingin bebagi contekan tanpa berteman. Wah… sayang sekali saya terlalu
tendensius bila berbagi contekan tidak dibalas dengan pertemanan. Jadilah saya
yang suka pura-pura budeg, saat si teman ini sedang ‘butuh’.
Menariknya, saya sangat bersemangat
datang pada pernikahan si teman ini. Bahkan saya menyusahkan teman yang saya
bonceng, dengan menyuruhnya membawa kado yang secara nominal tidak terlalu
mahal, namun ukurannya cukup menyusahkan bila dibawa menggunakan motor.
Garis lurus kedatangan saya pada
pernikahan teman yang satu ini, kebahagiaan. Saya tidak bisa jelaskan saya
bahagia saat datang pada pernikahannya. Bahkan, saat bertatap muka, kami saling
berpelukan, saling cium kemudian foto bersama. Saya tidak pernah melihat dia sedemikian
bahagianya melihat saya hari itu. Diri saya sendiri juga kaget, mengapa bisa
saya sedemikian bahagianya saat melihat dia yang berkebaya dengan kepala
dililit kembang pada hari itu.
Lain lagi saat saya mendatangi
pernikahan teman yang lebih lawas. Pernikahannya dihelat sangat sederhana,
tanpa pengeras suara, juga tanpa tenda. Saya tersesat sekitar satu jam saat
mendatangi pernikahannya yang dihelat di rumah suaminya.
Sebelumnya, saya berkeliling pasar
buat mencari kado yang pikir saya tidak masuk prioritas daftar belanjanya meski
dia sedang memiliki uang.
Soal kedatangan saya pada penikahan
teman yang satu ini, kami punya kenangan panjang di masa sekolah. Kami
menyeberang jalan raya depan SD bersama, demi membeli es Wawan yang saat itu
populer. Kami juga berbagi bakso yang isinya cuma tiga potong gorengan hampir
tiap jam istirahat kedua.
Bahkan, saat datang bulan pertama
kali saat hampir kelulusan di SD, teman saya ini yang mengantar saya ke rumah
nenek dan mengatasi kebingungan saya. Padahal, saya bukan siswi yang menonjol
di sekolah. Jika dirunut lagi, dia tidak pernah punya keuntungan berteman
dengan saya. Dia bahkan cuma satu dari sangat sedikit teman di SD yang saya
punyai.
Selebihnya, saya melewatkan cukup
banyak undangan pernikahan…
Bab Sidang Skripsi
Kali pertama saya datang pada
sidang skripsi, akibat paksaan seorang teman. Soal teman saya ini, kamu tidak
bakal bisa mendeteksi hubungan kami dari sosial media. Kami tidak pernah foto
bersama, bahkan beberapa kali malah saling umpat di sosial media karena beda
pendapat.
Dia sosok yang kasar,
terang-terangan lagi jujur. Bahkan, dia berani meminjam sepatu kulit milik ayah
saya saat hendak penelitian dan sidang skripsi. Dia juga menolak habis-habisan
saat ayah memutuskan memberikan sepatu itu padanya. Dalam janjinya, dia pasti
membayar sepatu itu suatu saat nanti. (Baca juga: Wayan)
Sidang lain yang saya hadiri,
justru pada sidang seorang teman yang tidak meminta saya hadir secara langsung.
Selama masa kuliah, saya mengenal dia sangat aktif di bidang seni dan
organisasi politik.
Sosoknya lembut, santai namun
praktis dan persuasif. Sayang, matanya tidak pernah tersenyum seperti bibirnya
yang mengulas senyum sepanjang hari. Padahal, dia bisa jadi pohon yang
menanungi banyak orang bila saja matanya bisa tersenyum.
Tidak
seperti sidang lain yang saya hadiri, kali itu saya membawa sebuah bingkisan.
Isi bingkisan itu sebuah buku yang punya cerita soal pemimpin-pemimpin di
dunia. Pikir saya, buku itu paling cocok buatnya. Dan lagi, saya yang tidak
jago pekerjaan halus, berusaha keras membungkus kado buat dia dengan tangan
saya sendiri.
Saat dia keluar dari ruang sidang,
kami banyak berfoto bersama. Saya juga menunggui dia sampai benar-benar keluar
dari gedung dengan membawa bingkisannya yang segitu banyak.
Lain lagi dengan kehadiran saya
pada sidang seorang teman, yang sepanjang kami saling mengenal, saya juluki dia
si oportunis. Dia sangat tahu, jika si oportunis jadi simpulan saya soal
pribadinya.
Kami tidak foto bersama lepas dia
keluar dari ruang sidang. Saya juga gagal mencari kado yang tepat buat dia
hingga memutuskan datang dengan tangan kosong.
Namun, dia menghampiri saya yang
berdiri dekat pintu gedung tempatnya sidang saat banyak orang riuh mengajaknya
berfoto. Dia berdiri sangat dekat dengan saya dan berkata,”Kamu sehat-sehat…
jangan sakit lagi.” Sebentar kemudian, dia pergi menuju kerumunan yang riuh
mengajaknya berfoto.
Memang, si oportunis ini, menurut
mama saya, menunjukkan mata paling pias saat saya sakit. Padahal, saya selalu
mengeluarkan kata-kata yang menohok dirinya, seperti soal cara hidupnya yang
oportunis dan banyak hal lain.
Saya juga menangkap matanya yang
tersenyum saat kami lama tidak bertemu. Dengan matanya yang tersenyum dan
ejekan soal saya yang makin gendut, dia justru merentangkan tangan buat memeluk
saya.
Sidang skripsi terakhir yang saya
hadiri, saat sidang teman sekolah saya. Dia termasuk siswi yang menonjol di
bidang akademis saat sekolah. Kamu pasti nyambung mengobrol apa saja
dengan dia. Ada banyak infromasi dalam kepalanya.
Namun, hingga kuliah, teman saya
yang satu ini tidak bisa menghilangkan rasa mindernya. Di masa sekolah, dia
bahkan mendapat bullying dari sebagian teman yang barangkali otaknya
kelas melati.
Untuk teman saya yang pendengar
setia ini, saya menemukan buku yang kebetulan sesuai dengan bidangnya dan
menyoal juga kepercayaan diri. Saya menunggu dia di depan ruang sidang dan dia
mendadak menangis lepas dari ruang sidang, menangis yang bahagia.
Selebihnya, saya melewatkan banyak
ajakan menghadiri sidang…
Bab Kematian
Saya hadir pada tiap kematian yang
saya dengar. Tidak ada sekat untuk hati saya memilah, mana kematian yang bakal
saya hadiri atau tidak, layaknya saya meghadiri pernikahan atau sidang skripsi.
Kematian adalah satu napas yang sama...