Friday, April 29, 2022

Seandainya yang Bertemu Kakek Suhud Itu Saya

 

Sumber: Gugel

Hari itu, seorang laki-laki tua mengikuti Baim Wong dengan menaiki motor sampai ke rumahnya. Berikutnya, berita-berita di internet mengatakan Baim membentak pria itu. Video-video menunjukkan sang kakek terluka dan menangis setelah Baim membentaknya sebagai pengemis.

Kakek Suhud nama laki-laki tua itu. Berikutnya, perdebatan menyertai dengan terbagi jadi dua kubu. Kubu pertama menganggap cara kakek Suhud mengikuti Baim menakutkan, sedang kubu kedua menganggap cara Baim menanggapi sang kakek tidak manusiawi.

Saya pun tidak mendapat gambaran mesti memilih kubu mana. Abu-abu saja begitu rasanya. Sedang 2017 lalu, pernah saya diikuti dan direkam diam-diam waktu melawan pelaku pelecehan. Video itu lantas dibingkai sedemikian rupa hingga saya seolah marah tanpa sebab.

Di kolom komentar, orang-orang merisak (membully atau melakukan bullying) terhadap tubuh saya, mengomentari sikap sebagai perempuan yang dianggap kasar, hingga ancaman kekerasan fisik dan usaha mencari identitas.

Ya. Saya adalah penyintas KBGO.

Pelaku hingga hari ini tetap melenggang, tanpa regulasi apapun menjeratnya. Ia tetap membuat konten di media sosial, mengumpulkan lebih banyak pengikut.

Sedang saya, bertahun-tahun mesti berusaha sembuh. Sempat pula menghilang sama sekali dari media sosial dan hingga kini lebih merasa aman diet digital.

Akun Instagram utama saya @trisnayantip bahkan direncanakan deaktif permanen dan digantikan akun lain khusus DM, tanpa pengikut. Tujuannya pun hanya mempermudah orang menghubungi apabila punya keperluan.

Jadi ketika perdebatan mengenai kakek Suhud beredar, saya langsung memposisikan diri sebagai orang yang diikuti sampai rumah. Apa yang saya rasakan seandainya diikuti orang asing sampai ke rumah?

Takut. Hanya itu jawabannya. Sekalipun saya sudah pulih, kenangan diikuti, direkam diam-diam, dikonfrontasi orang asing dan dirisak sedemikian rupa di dunia siber tentu masih ada.

Bisa jadi reaksi saya terhadap kakek Suhud tidak sesuai standar kemanusiaan seperti yang jadi ekspektasi banyak orang. Barangkali saya akan meminta sang kakek berhenti, jika tetap diikuti bisa juga saya lari, jika ternyata masih juga diikuti, batu barangkali bisa saya ambil dan lempar.

Atau minimal berteriak dan mengumpat? Dengan berbagai latar belakang, sayangnya saya ternyata bukan orang yang pintar mempergunakan senjata satu ini buat membela diri.

Apalagi 2018 lalu saya mesti mengalami serangan panik. Teman-teman Gusdurian Malang waktu itu harus repot menenangkan saya yang menangis dan gemetar di tengah Alun-alun kota Batu. Keberadaan orang-orang yang lalu lalang dan ramai ternyata membuat serangan panik itu muncul. Lokasinya pun memang mirip dengan pelecehan 2017 lalu.

Meski nampak tenang, di tahun 2019 perasaan defensif jadi berlipat ganda. Satu waktu seorang teman perempuan nyaris menutup mata saya dari belakang serupa film India. Kami ada di acara bedah buku waktu itu dan saya menarik pergelangan tangannya ke depan, nyaris membanting dia. Dengan cengengesan teman saya itu berkata, kok kamu ternyata defensif.

Mata saya yang mulanya cemas dan marah mendadak cair. Saya sadar sikap tenang palsu bubar malam itu. Buru-buru tangan si teman tadi saya lepaskan, pembicaraan pun tidak membahas sikap defensif yang baru saja.

Sapaan serupa film India sebetulnya saya alami juga dari teman yang lain semasa mahasiswa baru. Namun di masa itu, belum ada hal yang membuat saya mesti merasa waspada di ruang publik. Jadilah bersama si teman tadi kami tertawa bersama.

Sayangnya, kita kerap kali menilai reaksi seseorang hanya berdasar kejadian hari itu. Padahal reaksi seseorang sebetulnya juga kumulasi atas hal-hal yang sebelumnya dia alami.

Apakah orang yang tiba-tiba menunduk atau menolak waktu ada perempuan paruh baya menawarkan barang di pinggir jalan itu jahat dan tidak peduli? Bagaimana jika orang tersebut di masa kecil, ternyata pernah mendapat kata-kata kasar dari pengasuhnya yang juga perempuan paruh baya? Jadi ketika ada yang sosoknya mirip, spontan ia menghindar.

Ini seperti 2017 lalu, saya melawan pelecehan dengan tindakan fisik karena pelaku tidak kunjung berhenti dengan kata-kata saja. Jadi bagaimana bisa saya melawan dengan tindakan fisik? Ternyata dalam proses penyembuhan, saya mendapati tumpukan ketidakberdayaan di tahun-tahun sebelumnya ketika nyaris jadi korban soft rape juga dilecehkan dalam bentuk disentuh secara fisik.

Tumpukan ketidakberdayaan itu ternyata harus saya bayar dengan berjumpa pelaku pelecehan lain di tahun 2017 tadi. Yang ketika keberanian melawan itu muncul, ternyata oleh para pelaku justru dibingkai sedemikian rupa hingga mendatangkan penonton dan uang.

Hingga hari ini pun, saya cenderung kebingungan ketika mendapati orang asing mendatangi meja di ruang publik. Entah itu pengamen, penjual kartu perdana, penjual kue, mahasiswa yang sedang praktik, rasanya buru-buru saya ingin menunduk atau pura-pura tidak melihat mereka ada.

Ya. Rasa takut itu belum pulih sepenuhnya ternyata.

Saya jadi ingat kejadian pengguna motor yang terseret arus air setelah banjir 2021 lalu. Seorang laki-laki dewasa dirisak karena dalam video ia terlihat diam saja, tidak terlihat ada inisiatif menolong. Belakangan laki-laki itu dinyatakan berkebutuhan khusus.

Jadi apakah Baim Wong punya latar belakang kejadian di masa lalu sehingga membentak kakek Suhud?

Jadi apakah kakek Suhud punya latar belakang kejadian di masa lalu sehingga minta bantuan dengan cara mengikuti ke rumah?

Apakah suatu saat reaksi saya yang tidak ideal atas suatu hal di ruang publik, kelak akan ada yang merekam lagi?

Dan apakah di saat itu perisakan serupa bakal saya alami?

Semoga teman-teman yang sedang membaca tulisan ini tidak akan pernah mengalaminya.


Catatan:

Selasa, 4 Oktober 2022

Nama-nama yang disebutkan dalam tulisan ini ternyata ada yang menjadikan KDRT sebagai candaan, konten penghasil uang.

Monday, April 25, 2022

Kerumunan

Sumber: Dokumentasi pribadi. Ngepas lagi ditraktir Wiwin Januaris.

C punya naskah novel. Berkali dia tawarkan pada penerbit mana saja dan gagal. Kemudian ia bikin media sosial, dilihatnya isu kesehatan mental sedang tren, lalu ia pelajari akun-akun yang lebih dulu ada, memperpendek kalimatnya, meletakkan di antara gambar latar warna-warni.

Orang-orang mendatangi akunnya, tulisan-tulisannya begitu ringkas dibaca, menawan ketika dibagikan ulang di Instagram dan mampu menyadarkan pentingnya kesehatan mental. Mereka yakin, kepeduliannya sudah diwakili C.

Tidak lama, akun C memiliki puluhan ribu pengikut. Setelah rombak sana-sini agar ada isu kesehatan mental nyangkut dalam novelnya, ia lantas mengumumkan novelnya akan terbit secara indie. Para pengikutnya membeli dengan senang hati.

Ada keterikatan dalam hati mereka setelah C dianggap selalu mewakili isi hati dan paling memahami. Bersama C, mereka merasa tercerahkan, paling berempati dan memahami isu kesehatan mental.

“Perasaan semua orang valid.” Demikian yang diamini mereka.

Sedang H punya channel Youtube. Ia pernah membahas kesehatan mental yang sedang tren melalui podcastnya, namun sepi. Ia pernah coba mengedit video dengan latar warna-warni dan intonasi khas, tetap sepi. Belakangan ternyata channel sejenis sudah ada dan ramai lebih dulu.

Kemudian H coba menegasikan isu kesehatan mental yang sudah ada. Ia mengajak pendengarnya yakin, isu kesehatan mental hanya milik anak manja yang mudah tersinggung. Bercanda dengan segala tema di sembarang tempat pada semua orang, mereka namakan tidak ribet.

Tidak lama, channel H subscribernya meningkat pesat. Mereka yang tidak merasa terwakili lewat akun-akun kesehatan mental, kini yakin easy goingnya sudah diwakili H. Jadi berapapun iklan yang muncul tidak pernah mereka lewati.

Ada keterikatan di hati mereka karena merasa H yang paling mewakili isi hati dan paling memahami. Bersama H, mereka merasa paling tercerahkan, paling rebel dan bagian dari klub anti ribet.

“Ketersinggunganmu bukan urusanku.” Demikian yang diamini mereka.

Sebuah kutipan yang umum kamu dengar dalam seminar-seminar seperti berkelebat;

Kalau mau buat produk, sama tapi lebih baik atau beda sekalian.

C dan H sekarang sama-sama memiliki 300 ribu pengikut. Orang-orang terus mengikuti mereka dengan keterikatan serupa; merasa diwakili.

Oleh mereka, jumlah kerumunan dianggap validasi kepakaran seseorang. Tidak jarang, antar pengikut memperdebatkan sebuah isu dengan membawa nilai dari apapun yang dibagikan C dan H.

Di balik layar, C dan H bisa bayar listrik dan makan bebek tiga kali sehari. Sedang tetangga kos C yang mestinya didiagnosa depresi terselubung, sedang meringkuk dalam selimut, tidak keluar kos berhari-hari. Ia pula mulai meragukan kesakitannya valid karena komentar-komentar para subscriber H.


Catatan:

Senin, 03 Oktober 2022

September lalu baru selesai baca novel Okky Madasari judulnya Kerumunan Terakhir dan ternyata temanya juga soal media sosial.

Friday, April 22, 2022

Saklar

Saat dia menapaki ruangan itu, cahaya lampu masih menyala. Pijarnya terang sekali sampai menembus kaca dan dinding. Namun ia ternyata pilih memutar saklar sehingga pijar lampu jadi remang-remang.

Dalam diri ia berkata, bukankah remang-remang mengganggu pandangan? Mata kita bisa memaksa melihat sesuatu sampai mendelik dan jadi minus esok dan esoknya. Yang terjadi berikutnya, justru ia mendekat lagi pada saklar lalu betul-betul memutarnya hingga lampu mati.

Dalam dirinya ia berkata, bukankah gelap menutup pandangan? Mata kita mula-mula tidak bisa melihat sesuatu sama sekali, namun lama-lama mata kita bakal terbiasa juga melihat sekitar dengan cahaya seadanya. Yang terjadi pada berikutnya, justru ia mencari-cari saklar itu kembali, berharap setidaknya bisa menemukan pijar yang remang-remang itu setidaknya.

Tapi...

Friday, April 15, 2022

Tutorial Mencintai Kekasih, Pemaknaan Seni Mencintai Erich Fromm -2-

Sumber: Seni Mencintai halaman 68

Waktu kecil, kita dijejali bahwa cinta bentuknya pasti lelaki dan perempuan, berlarian di taman, berciuman, lalu menikah dan bahagia selamanya.

Waktu remaja, kita bilang ciye pada siapapun lelaki dan perempuan yang nampak duduk berdua saja, seolah sudah pasti mereka sepasang kekasih.

Waktu dewasa, kita mengasihani orang-orang yang usianya 25 tahun atau lebih tapi tidak kunjung menikah, seolah mereka tidak buru-buru menjemput yang namanya bahagia.

Erich Fromm bilang, objek cinta ada lima; cinta diri, cinta keibuan, cinta Tuhan, cinta persaudaraan dan cinta erotis.

Tiga paragraf pertama tadi, objek cinta erotis, yang eksklusif antara dua orang saja. Barangkali ada yang menyebutnya pacaran, ada juga yang menyebutnya pernikahan.

Dan ini kisahnya A, dia suka bidang bahasa namun mengiyakan saja ketika keluarga menyuruhnya masuk ekonomi. Bidang bahasa hanya membawanya jadi guru, begitu nasihat yang ia terima.

Ia pilih tidak ngotot masuk bahasa, tidak juga mencari seberapa besar potensinya di sana dan peluang apa yang bisa diciptakan sendiri.

Hari-harinya berat karena jurusan ekonomi membuatnya banyak berhitung. Hitung-hitungan ternyata tidak seringan bahasa dalam kepalanya.

Lalu A masuk english club. Dengan cepat ia didapuk jadi pemateri karena kemampuannya dianggap lebih. Kemudian ia merasa bosan, tidak ada lagi jenjang kemana pun setelah jadi pemateri.

Teman-teman menyarankannya ikut MUN. Tapi ketika ia coba masuk, hal yang dipelajari katanya terlalu luas, jadi dia mundur. Tidak ada english club, tidak ada MUN, lalu ia bertemu kekasih yang tumpuan objek cintanya sama.

Bagi A, bertukar kata cinta tidak serepot memberi argumentasi pada keluarga soal lebih suka bidang bahasa, tidak juga serepot pindah dari english club ke MUN. Hanya ada mereka, tanpa pertanyaan siapa diri, siapa Tuhan. Tanpa keluarga, teman, hobi, komunitas dan tujuan hidup.

Ketika mereka sibuk hanya berdua saja, ada teman-teman kita yang lain, sibuk mencoba satu UKM ke UKM lain di kampus, mencari mana yang paling pas. Ada juga yang belajar membaca kitab, mulai bertanya apa benar ingin menganut agama yang tertera di KTP. Ada juga yang membawa kotak di perempatan, menyanyi dan orasi untuk korban bencana alam.

Kemudian kekasih A pergi, dengan lelaki lain yang punya objek cinta erotis yang ia cari; pernikahan. Pacaran tidak lagi membuatnya aman ternyata.

A seperti dirampas sayapnya. Ia baru sadar tumpuannya hanya si kekasih. Ia tidak kenal siapa dirinya, apa yang ia ingin dalam hidup, hal apa yang bisa dikembangkan dalam karirnya.

Pergi kerja pagi, pulang petang, tanpa ada lagi si kekasih, satu-satunya orang yang bisa diajak mengobrol. Tidur di kostan di akhir pekan, tanpa hobi yang menanti. Ia juga baru sadar, tidak satu pun tetangga kost dikenalnya.

Tuhan bahkan terkekeh melihatnya menangis sesak sambil berkata,”Ngobrol denganku kan sebenarnya bisa...”

Thursday, April 7, 2022

Absen Nyawa, Pemaknaan Seni Mencintai Erich Fromm -1-

Sumber: Dokumentasi Pribadi


“Aman kah?”“

Sehat?”“

Masih hidup?”

“Asu kon...”

Empat kalimat di atas bisa jadi cara menyapa teman. Absen nyawa istilah guyonnya (meski batinmu barangkali bilang, bukannya presensi istilah yang lebih tepat ya?).

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan, 29 orang pasien mengalami gejala ringan dari total 68 kasus baru Covid-19 akibat penularan varian Omicron.” Narasi berita mulai masuk ke trending Twitter, fyp Tiktok dan televisi.

Coba tarik nafas dalam-dalam, hembus pelan dan ketik kalimat semacam yang empat tadi, kirim pada teman.

Barangkali kepada mereka yang bulan lalu bilang, sudah boyong dari pondok jadi tidak akan lagi menginjakkan kaki ke kota tempat kalian satu kampus, kecuali waktu legalisir ijazah.

Barangkali kepada mereka yang bilang, bapaknya jadi sensitif sejak sakit paru-paru.

Barangkali kepada mereka yang tiga bulan lalu melihat cinta pertamanya bertunangan atau mereka yang demam setelah vaksin.

Atau bahkan, pada mereka yang menolak menceritakan kabar terkini dan hanya menjawab dengan,”Pokoknya doakan aku baik-baik aja ya...”

Apa yang kita rasakan setelahnya?

Erich Fromm bilang, dalam cinta ada orang-orang dengan karakter produktif;

“Memberi ialah ungkapan tertinggi potensi. Dalam memberi, aku merasakan kekuatanku, kemakmuranku, kekuasaanku. Perasaan daya hidup dan potensi memuncak ini mengisiku dengan kegembiraan. Kurasakan diriku melimpah, lepas, hidup, karenanya aku gembira. Memberi lebih menggembirakan daripada menerima, bukan karena aku kehilangan, tapi karena dalam tindakan memberi ada ungkapan kehidupanku.”

Bagaimana rasanya mencintai orang lain tanpa ‘karena’? Tanpa merasa perlu mengembalikan sesuatu karena ia pernah memberi? Tanpa merasa harus memberi sesuatu karena pasti diberi balik? Menyapa dan bertanya, lepas apapun tanggapannya. Yang demikian, orang-orang dengan karakter produktif.

Dan barangkali dadamu sedang terasa hangat sekarang.