Dalam
kepala Agni ada penulis dan penulis itu adalah dirinya sendiri. Pujian dan
pengakuan guru dan teman-temannya di masa SMP soal kemampuannya menulis, jadi
modalnya meyakini bahwa dalam kepalanya
ada penulis dan penulis itu adalah dirinya sendiri.
“Kamu
punya diksi-diksi yang melebihi seharusnya sebayamu, Agni…” ucap bu Ningsih,
guru bahasa Indonesianya di masa SMP dulu.
“Tulisan
kamu ngena hati banget. Kenapa kamu engak coba kirim ke majalah sih?” ucap beberapa
teman SMP yang mentasbihkan diri sebagai penggemar tulisan Agni.
Di
masa SMP, Agni menulis tulisan-tulisannya menggunakan bolpoin dan buku tulis.
Pada masa itu, Agni dan teman-teman seangkatannya baru saja mengenal google. Warung internet baru saja
menjamur dan tugas-tugas di sekolah masih jarang sekali bersinggungan dengan
internet atau mencetak tulisan dengan komputer. Hanya beberapa teman Agni yang
masuk kalangan menengah ke atas yang memiliki komputer PC.
Agni
terus menulis hingga masuk SMA. Teman-teman barunya di SMA tetap menggemari
tulisannya. Facebook mulai populer
dan Agni rajin pergi ke warung internet untuk membuat tulisan di catatan,
kemudian membagikan pada teman-temannya. Beberapa dari teman-temannya meminta
ijin buat mengutip tulisan Agni buat dijadikan status facebook. Sebagian lainnya mengutip tanpa ijin buat dijadikan
status facebook. Pujian demi pujian
terus dipanen Agni. Agni makin yakin, penulis dalam kepalanya itu adalah
dirinya sendiri.
Pernah
juga Agni mengikuti lomba yang diadakan salah satu komunitas di Malang. Lomba
itu ditujukan bagi anak-anak SMA se-Malang raya. Dia percaya bahwa meski tidak
membawa kememangan, setidaknya dia bakal masuk nominasi. Semua pasti selaras
dengan pujian banyak orang soal tulisannya.
Pada
nyatanya, tulisan Agni tidak masuk nominasi apalagi membawa kemenangan. Agni
terus bertanya-tanya, apa yang salah dengan tulisannya? Sedangkan pujian selalu
banyak dia dapat.
Facebook
makin populer dan Agni mulai masuk pada grup-grup menulis. Salah satunya, Grup
Penulis Masa Depan Indonesia. Di sana, dia menemukan banyak tulisan tidak
berisi yang jauh kualitas dari miliknya mendapat banyak respon dari sesama
anggota grup. Respon itu berupa pujian dan ajakan mampir pada tulisan si
pemberi komentar.
Ada
yang Agni cari, lebih dari pujian dan pujian. Agni ingin tahu di mana letak
kesalahan tulisannya. Agni akhirnya mencoba bergabung dalam komentar
tulisan-tulisan yang ada di grup. Dia mencoba mengomentari kelebihan dan
kekurangan tulisan yang ada dalam grup. Agni mendadak tenar, banyak komentar
balasan lain juga chat pribadi pada
akun facebooknya. Komentar dan chat pribadi itu melulu berisi,”Mampir
tulisanku mbak Agni (sambil menyebutkan link). Mohon kritik dan sarannya.”
Agni
kemudian mampir pada link-link tulisan yang sudah disodorkan padanya. Dia tetap
semaksimal mungkin memberi komentar soal kelebihan dan kekurangan tulisan yang
ada di hadapannya. Banyak ucapan terimakasih dia dapat, dirinya pun makin tenar
dalam grup.
Hingga
satu waktu, dia memutuskan untuk membagikan tulisannya dalam grup. Agni mulai
senyum-senyum sendiri ketika likes mulai
memenuhi notifikasi faceboknya. Pujian
demi pujian juga mulai memenuhi notifikasi akun milik Agni.
“Bagus,
Kak. Mampir ke tulisanku juga (sambil menyebutkan link).” Komentar-komentar
serupa muncul pada tulisan Agni.
Tidak
ada komentar yang bisa membuat Agni tahu di mana letak baik dan buruk
tulisannya. Agni kemudian meninggalkan grup. Chat terus berdatangan penuh dengan pertanyaan mengapa dia meninggalkan
grup tidak lupa dengan permintaan agar Agni mengunjungi link tulisannya.
Agni
terus bertanya-tanya, apa tulisannya memang sebagus itu? Atau memang tulisannya
buruk tapi dia tidak mengerti di mana letak keburukannya?
Kemudian,
Agni berpindah grup. Grup Revolusi Penulis, nama grup itu. Di sana, Agni
melihat postingan-postingan kompetisi menulis. Semua kompetisi memiliki tema
tertentu. Pikir Agni, kompetisi akan membuktikan tulisannya baik atau buruk.
Agni
tidak memliki stok tulisan menurut tema-tema itu. Dia mencoba menulis sesuai
tema lomba, kemudian dia coba mengirimkannya. Dia tidak masuk nominasi apalagi
membawa kemenangan. Namun Agni mengerti, semua itu memang akibat dari dirinya
yang kurang matang dalam menulis tema yang tidak ingin dia tulis. Agni mulai
mengenali dirinya yang tidak bisa menulis dipatok tema yang bukan dari
keinginannya. Dia pun beralih mencoba mencari kompetisi bertema bebas.
Dirinya
pun mengikuti sebuah lomba dengan iming-iming antologi bagi nominator. Tentu
saja lomba tersebut bertema bebas. Agni ternyata masuk nominasi, namun
kesenangannya mumur ketika pihak penyelenggara malah menyuruh dirinya membeli
buku antologi. Padahal dirinya mulai percaya bahwa penulis yang ada dalam
kepalanya itu memanglah dirinya. Dia juga percaya bahwa tulisannya tidak buruk
hingga bisa masuk nominasi. Agni menolak membeli antologi itu dan hanya
mendapat e-sertifikat kosong tanpa namanya. Antologi yang memuat karyanya,
dijual secara umum melalui pasar online
dengan alasan semua peserta telah setuju dengan persyaratan kompetisi,”…seluruh
naskah yang masuk menjadi hak milik penyelenggara.”.
Agni
memutuskan keluar dari grup tersebut. Namun dirinya tetap mendapat tag berisi
info lomba dari para penghuni grup. Agni sendiri terus berpikir-pikir, mengapa
dia menulis? Apa benar tulisannya buruk? Jika ternyata tulisannya baik, di mana
letak baik tulisannya?
Kemudian
Agni masuk dalam Grup Mari Menulis Untuk Indonesia. Dalam grup tersebut banyak postingan foto-foto tulisan para anggota
grup yang dimuat di majalah, koran dan media massa lainnya. Banyak pula yang
mengirim cukilan-cukilan tulisan masing-masing di grup. Agni mencoba mengirim
cukilan tulisannya dalam grup. Sebagai anggota baru, dia hanya mendapat
beberapa likes. Namun sebuah chat
masuk dalam akunnya.
“Tulisan
kamu bagus, kenapa tidak kirim ke majalah atau koran?” tulis orang asing yang
mengiriminya chat.
Agni
mulai mencari informasi cara mengirim tulisan di media massa. Tidak ada tema
khusus seperti kompetisi di sana. Kemudian, Agni coba mengirim cerita pendeknya
yang bercerita soal pembunuhan ke sebuah koran yang biasa menerima tulisan
berbau religi. Tentu saja dalam persyaratan yang Agni baca, tidak tercantum
bahwa koran tersebut hanya menerima tema religi. Agni baru mengetahuinya ketika
karya yang dia kirim tidak kunjung mendapat respon dari redaktur. Dan dia mulai
membaca karya-karya anggota grup yang sudah dimuat di koran tersebut dan
kebetulan dapat diakses via online.
Gadis
berambut ikal sebahu itu kembali bingung. Dia beralih mengirim tulisannya soal
perempaun ke majalah Wadon. Majalah tersebut dari cerpen-cerpen yang biasa Agni
baca, memang memuat soal perempuan, seperti tulisan yang hendak dia kirim. Agni
nekat mengirim tulisannya yang 10.000 karakter meski syarat tulisan dapat
dimuat pada majalah itu 8.000 karakter. Tulisan Agni menghilang tanpa kabar
setelah dikirim.
Pada
titik itu, Agni memutuskan untuk berhenti menulis dan membaca buku-buku di luar
pelajaran di sekolahnya. Dia berhasil menjadi juara kelas dan lancar masuk
universitas.
***
Satu
siang, di akhir masa kuliahnya, Agni memandangi beranda facebooknya. Banyak teman membagikan link tulisan dari hayukkitanulis.com.
Website tersebut akhir-akhir ini
menjadi viral di sosial media karena sudut pandang unik soal isu-isu terkini. Dia
mencoba membaca tulisan-tulisan yang ada di website
tersebut. Esai-esai berat yang penuh dengan kutipan hingga tulisan-tulisan
pendek sederhana yang entah masuk kaidah cerpen atau puisi atau lainnya, memenuhi
website tersebut. Agni tidak
menangkap pakem yang jelas terkait tema dalam website tersebut. Tidak ada tema khusus, gaya menulis khusus
apalagi permintaan tulisan yang mesti sekian-sekian karakter. Iklan juga tidak
ditemukan dalam website yang agaknya
nonprofit tersebut. Dia hanya menangkap tulisan-tulisan dari berbagai kalangan
dengan konten unik dan isu-isu terkini.
Agni
iseng mengirim tulisan pada website
tersebut. Salah satu cerpen lawas miliknya, yang dulunya gagal masuk media
massa dan juga kompetisi. Dia mengerti bahwa menulis di sana tidak mendapat
bayaran seperti deskripsi website
yang sudah dia baca.
Tulisan
Agni kemudian dimuat dan dirinya mendapat surel khusus dari tim editor website,”Hai, Mbak Agni. Kami nunggu tulisan-tulisan unik mbak
selanjutnya. Kapan-kapan mari mampir ke basecamp.
Salam.”
Tulisan
Agni mendapat banyak respon dari pembaca. Bahkan juga dibagikan teman-teman di
beranda facebooknya.
Agni
menelan ludahnya. Dia sudah begitu lama tidak menulis pun membaca. Hanya ada
kopian makalah ekonomi management dalam
kepalanya hasil selama empat tahun kuliah. Dirinya kemudian kembali melihat ada
penulis dalam kepalanya, dan penulis itu bukan dirinya…