“Tidak
ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan.” tulis Rossie O’Donnel dalam buku
nonfiksinya, Find Me.
Aku
baru memahami tulisan ini, setelah lembaran terakhir, tamat aku baca. Lama ya? Memang.
Buku ini, mesti di pahami dengan hati dan logika yang seimbang.
Ada
Sheila, sosok dalam diriku yang cenderung bergerak menggunakan hati. Dan, ada
Anomali, sosok dalam diriku yang cenderung bergerak menggunakan logika. Mereka
setiap hari bertengkar. Susah sekali mereka untuk berdamai.
Buku
yang cuma berjumlah 196 lembar seperti Find Me, mesti aku selesaikan pelan-pelan dalam
dua minggu. Aku tidak bisa membaca cepat. Aku selalu kelelahan setiap membaca
dua sampai tiga halaman.
Find
Me, bercerita soal Rossie O’Donnel, komedian pembawa acara bincang-bincang The Rosie O`Donnel Show. Dia kocak, kaya raya
dan terkenal. Di masa lalu, Rossie menyimpan trauma soal kematian ibunya dan
soal rumahnya yang makin berantakan setelah ibunya pergi. Rossie bertahan
hidup, dengan kenangan-kenangan baiknya, sekalipun kenangan-kenangan itu
sebenarnya hadir berbarengan dengan luka-luka yang dia alami di masalalu.
Rossie selalu mengingat bagaimana dia dan ibunya berburu barang belanjaan di
pasar loak. Rossie selalu ingat, bagaimana kakaknya mencari dia yang kabur dari
sekolah. Rossie selalu ingat, bagaimana ayahnya mengajarkan kejujuran,dengan
mengembalikan kelebihan gajinya ke bank. Ya, Rossie bertahan dengan semua itu.
|
Rossie O'Donnel. Penulis buku Find Me dan pembawa acara The Rossie O'Donnel Show. |
Rossie
melewati luka-luka masa lalunya dengan cukup gemilnag. Makna gemilang adalah,
tidak terbunuh hingga saat ini.
Dia,
Rossie. Aku rasa mirip seperti aku. Aku punya luka-luka di masalalu. Aku
menarik diri, dianggap aneh sejak kecil, di remehkan, dijauhi, tidak punya
prestasi yang gemilang, tidak di perhitungkan, di bully sesama teman, merasa
tidak pantas untuk hidup, ingin mati. Aku bertahan hidup, juga dengan
kenangan-kenangan baik di masalalu. Kenangan dimana ibuku begitu terluka ketika
aku di hina oleh orang lain. Kenangan ketika ayahku menganggap semua gambar-gambar
karyaku begitu imajinatif dan berharga, lantas berusaha menyimpannya meski
semua tidak berhasil. Rumah kami kecil,
kami harus berpindah rumah beberapa kali, dan ibuku hobi mengurangi muatan
barang dirumah. Semua gambar-gambar bikinanku hilang, membuat aku ingin
berjanji, semua ini tidak akan terjadi pada anak-anakku di hari depan.
Ibu
selalu bisa menunjukkan bahwa kehidupan kami normal dan baik-baik saja pada
aku.Aku tidak pernah ingat, bahwa aku pernah tersedak gara-gara menelan beras
india yang di masak menjadi nasi. Beras itu, satu-satunya beras yang bisa di
dapat dengan sejumlah uang milik kami. Beras
yang disebut ‘india’ itu, memiliki tekstur keras yang mudah membuat orang
tersedak ketika menelannya.
Ayah
selalu memberikan benda-benda dan kue-kue yang aku impikan, tanpa aku
memintanya. Sosis, barang mewah ketika usiaku delapan. Ayah membawakannya
untukku satu atau dua batang. Aku selalu memakan sosis-sosis itu pelan-pelan.
Aku selalu puas dengan satu atau dua batang sosis, meski di dalam hati, aku
selalu bermimpi untuk bisa makan sekaleng penuh sosis.
Ada
almarhumah bu Nurul. Guruku di Sekolah Dasar. Beliau memerhatikan
perubahan-perubahan yang dalam diriku. Bahkan, beliau mengajak ibuku bicara
soal aku. Beliau menghargai gambar buatanku ketika kelas dua. Bahkan, beliau
merekomendasikan gambar karyaku itu sebagai referensi anak kelas lima!
Mbak
Zizi, guru mengajiku. Mbak Zizi tidak memarahi aku ketika aku membandel. Aku
sedikit beda dengan teman-temanku yang lain. Ketika teman-temanku yang lain
sibuk mengerjakan tugas dari mbak Zizi, menurut dengan tugas yang di berikan
oleh mbak Zizi, aku malah sibuk menggambar,aku tidak peduli dengan perintah
atau tugas. Mbak Zizi tidak mengecap aku sebagai pembangkang atau aneh. Pelan-pelan,
mbak Zizi mulai meraih hatiku. Dia melibatkan aku dalam games kelompok bersama
teman-teman yang lain. Games itu salahsatunya membutuhkan keahlian menggambar,
aku ada disana dan timku selalu menang. Semua tim akan senang ketika aku berada
dalam tim tersebut ketika games berlangsung. Aku merasa punya harga. Aku mulai
menurut ketika mbak Zizi memberikan tugas, semua berlangsung tanpa mesti aku
berhenti menggambar.
Gambar-gambar
itu, tempat aku lari. Aku merasa tenang atas segala yang aku alami, dengan
menggambar. Diantara gambar-gambar itu, aku memiliki beberapateman bayangan.
Teman-teman yang aku namai sendiri, teman-teman yang aku pakaikan kostum
sesukaku, teman-teman yang setiapsaat bisa aku ajak bicara. Belakangan, aku
baru mengerti, memiliki teman bayangan bagi anak seusiaku waktu itu, bukan
sesuatu yang aneh. Teman bayangan terbentuk, ketika seoarang anak merasa tidak di
pahami atau memahami lingkungannya. Dan anak itu, adalah aku.
Rossie
bertemu Stacy. Gadis yang tiba-tiba bercerita pada dia soal sex karena
keterpaksaan, rasa terhina, tertekan dan kehamilan. Sama seperti aku, aku
bertemu Nadira. Gadis yang tiba-tiba bercerita, hal yang sama dengan apa yang
di alami Stacy, tapi tanpa kehamilan melainkan dengan kematian.
Stacy
melarutkan Rossie, hampir seperti aku dilarutkan oleh Nadira. Kami berdua,
adalah dua orang yang berhasil bertahan hidup meski pernah mengalami luka-luka.
Terlibat masalah orang lain adalah sesuatu yang patut kami lakukan. Kami merasa
keren bila bisa membantu. Kami gila, barangkali memang iya. Kami merasa puas
ketika seseorang bisa percaya pada kami.
Ibuku,
Hanif dan Bu Ellyn. Semua ragu atas apa yang di alami Nadira. Kadang, aku juga
begitu, tapi semua aku tepis, aku tidak boleh mengotori empatiku.
“Jangan
terlibat terlalu jauh.” kata ibuku.
“Konselor
punya wewenang hukum. Kalau memang masalahnya serius, kenapa konselor tidak
langsung pergi ke jalur hukum?” Hanif, mahasiswa psikologi. Dia tidak sedang
bicara dengan common sense atau
intuisi seperti ibuku.
Aku
tetap tidak mau mengotori empatiku.
“Sejak
samean cerita awal-awal dulu, saya
sudah curiga dengan cerita itu (Nadira, meski aku tidak menyebut jati dirinya
di depan bu Ellyn). Sepertinya, dia (Nadira) belum bisa membedakan antara yang
nyata dan tidak nyata. Jangan terlalu jauh terlibat.” kata bu Ellyn. Salah satu
dosen di jurusanku sepulang kuliah.
Aku
dan Rossie, sama-sama buta. Aku buat dengan Nadira dan Rossie buta dengan
Stacy. Kami sama-sama tidak mau mengotori empati kami, meskiorang-orang di
sekitar dengan jelas mampu melihat segalanya yang nampak tidak beres.
“Tidak
ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan.” Aku mehaminya. Seperti pertemuanku
dengan Find Me tulisan Rossie O’Donnel. Kami bertemu, melalui buku. Padahal,
benua tempat kami tinggal begitu jauhnya.
Rossie
menemukan kebenaran soal Stacy. Stacy adalah perempuan tiga puluh delapan tahun,
dengan kepribadian ganda. Aku belum menemukan kebenaran soal Nadira, empatiku
tidak akan kotor dengan prasangka, tapi aku tidak mau terlibat lebih jauh lagi…