2010- Pertama
kali berangkat praktek kerja (di SMK disebut PSG). Aku berangkat bukan dengan
hati yang senang. Taman Kanak kanak (TK)! Itu jadi lokasi praktek kerjaku. Aku
merasa sangat dianggap remeh. Apa yang bakal aku lakukan di TK?
Selama kelas
sepuluh. Prestasi akademikku tidak buruk. Materi- materi jurusan Pekerjaan
Sosial (Peksos) seperti, anak kebutuhan khusus (ABK), lansia, gelandangan dan
anak bermasalah, semua aku serap cukup baik. Setidaknya, aku memang merasa
begitu.
Lantas? Bagaimana
dengan di TK? Aku rasa tidak ada hal keren yang bakal aku kerjakan disana. Semua
terasa jauh dari teori- teori yang aku pelajari. Aku terus mengumpat!
Upatan-
umpatanku berhenti tiba- tiba. Pukul tujuh pagi, aku masuk di sebuah kelas. A-3 aku lihat tulisan berhuruf cetak ada
di atas pintu masuk.
Ada
sekitar dua puluhan anak usia 4-5 tahun di dalam ruangan. Semua
memandangi aku.
Mata mereka berbinar- binar. Tidak ada rasa curiga barangkali di batin mereka.
“Nah. Ini
namanya Mbak Poppy. Mulai sekarang Mbak Poppy menemani teman- teman belajar,” guru
yang ada di dalam kelas mulai buka suara.
“Mbak
Poppy,” anak gendut yang duduk paling belakang berusaha mengulang namaku.
Matanya berbinar. Dia terus memandangi aku.
“Mbak
Poppy,” tangan anak perempuan berambut keriting menyentuh lututku. Aku
tersenyum sekenanya. Dia balas nyengir dengan
gigi tengahnya yang menghitam.
“Mbak Poppy,”
“Mbak Poppy,”
"Mbak
Poppy,” ruang kelas mulai gaduh. Semua berebut memanggil dan mendekati aku. Guru
tersenyum. Tamborin mulai di goyangkan.
“Semuanya…”
semua murid berhenti merubung aku. Suara tamborin membuat mereka kembali
melihat arah guru.
“Mbak
Poppy di sekolah kita nanti lamaaaaaaa sekali. Kalian bisa ketemu Mbak Poppy lamaaaaaaa juga. Besok bisa ketemu Mbak Poppy. Besoknya lagi ketemu. Besoknya lagi besoknya lagi ketemu,” guru menerangkan dengan gayanya yang super ekspresif. Beberapa
siswa masih melirik aku seperti berharap bisa mendekat atau memanggil namaku
lagi. Mata mereka kelihatan tidak ikhlas, mereka sadar cara halus guru untuk
mengalihkan perhatian mereka dari aku.
Mata
semua anak disana seperti begitu percaya bahwa aku adalah orang asing yang
baik. Aku orang asing yang bakal merautkan pensil mereka. Aku orang asing yang
bakal membantu mereka membersihkan diri setelah buang air besar (BAB). Aku orang
asing yang bakal membantu mereka membuka bungkus makanan. Aku orang asing yang
bakal mendorongkan ayunan mereka supaya bergerak.
Aku? Ah apa
benar? Apa benar aku bakal semenyenangkan harapan di dalam mata anak- anak itu.
Aku tidak yakin.
***
Abe. Aku
mengenal anak itu karena kami sama-sama penggemar serial Naruto. Animasi yang
sangat meledak masa itu. Abe usianya empat tahun lebih tujuh bulan. Badannya
kurus. Matanya bulat. Kulitnya sawo matang. Dia laki- laki.
Kami jadi
akrab karena Abe nampaknya merasa bahwa aku adalah teman yang cocok bagi dia. Dia
banyak bercerita soal Naruto. Aku menanggapi dan sesekali pamer pengetahuanku
soal Naruto. Abe terpesona. Bola matanya kelihatan heran. Dia seperti tidak
menyangka bahwa ada orang seumuran aku yang bisa mengerti hal- hal yang dia
bahas dengan bersungut- bersungut itu. Hubunganku dan Abe jadi semakin asyik.
Kami dekat. Abe bahkan sering menceritakan sesuatu tanpa perlu aku tanya.
“Abe suka
cerita soal Mbak Poppy. Dia bilang Mbak Poppy meskipun sudah besar
masih suka nonton Naruto,” aku ingat Mama Abe menyapa aku waktu menjemput Abe.
Mama Abe tersenyum simpatik padaku waktu menceritakan semuanya. Abe sendiri
kelihatan malu- malu. Dia sembunyi di balik kaki Mamanya.
Aku
semakin mengenal Abe. Abe pada kenyataannya memiliki tenaga yang kelewat besar
untuk anak seusianya. Jujur saja aku cukup ngeri
waktu Abe saling dorong dengan teman- temannya. Badan Abe terbentur keras di
lantai. Seluruhnya! Kepala, punggung, lengan, kaki.
Abe malah
terbahak keras. Seolah dia mematahkan rasa ngeriku.
Anak lain dengan siku atau lutut yang terbentur pasti menangis keras. Tapi
Abe tidak!
“Nanti
kalau ada yang nakal sama Mamaku, aku
mau berubah jadi Ultraman terus orang yang itu aku pedang,” Abe pernah
berceloteh waktu aku membantu dia membersihkan diri setelah BAB. Aku tersenyum.
Aku tentu masih ingat kalau Ultraman tidak punya pedang. Semasa Sedolah Dasar
(SD) aku juga penggemar serial Ultraman. Tapi, lain dari semua itu. Aku melihat
sisi patriotik Abe yang sangat besar. Matanya berapi- api tiap membayangkan
pembelaan apabila benar ada orang jahat memperlakukan buruk Mamanya.
“Iya.
Mama Abe memang harus di bela,” aku mengamini celoteh Abe yang patriotik.
Selain
sikap patriotiknya. Abe tidak bisa mengendalikan tenaganya yang kelewat besar
itu. Aku tahu, Abe tidak pernah merebut hak teman- temannya yang lain. Seperti
menyerobot, memaksa meminjam barang atau meminta paksa makanan. Sebaliknya. Abe
sering di perlakukan curang semacam itu.
Abe
selalu marah. Wajahnya merah. Dia membentak makin keras bila lawan bicaranya
terus melawan. Aku tahu, dia membela haknya. Terakhir, tangannya pasti meninju
kepala lawan bicaranya. Tidak cukup sekali. Abe seringkali seperti kalap. Dia
bakal memukuli kepala lawan bicaranya itu sampai puas.
Pipi Abe
selalu basah tiap marah. Dia menangis. Hatinya lembut. Dia cuma membela haknya
sunguh! Aku percaya Abe bukan anak nakal.
Guru
sering menyeret paksa Abe waktu pukulannya mulai tidak terkendali.
“Dia tadi
dorong aku!” Abe meronta sambil
menjerit. Jeritannya selalu berupa pembelaan diri.
Guru
berusaha mendamaikan Abe dan ‘lawan tandingnya’ sebijak mungkin. Abe sering di
paksa untuk bersalaman dan saling meminta maaf. Abe mengulur tangan dengan
napas yang di tarik dan di hempas keras. Dia kelihatan terluka. Dia seolah
berkata,” Aku tidak nakal. Kenapa aku harus minta maaf?”
Di lain
waktu. Aku memergoki Abe memukuli salah satu teman sekelasnya. Pipinya basah.
Wajahnya merah. Rona wajahnya selalu sama.
“Mbak! Aku
dipukuli Abe!” teman sekelas Abe berteriak pada aku. Buru- buru aku menarik
Abe. Aku merangkul dia seerat mungkin. Abe lama- lama lemas. Dia menangis tanpa
suara. Menangis tanpa suara bukan hal normal bagi anak seusia Abe. Itu tanda
bahwa dia tidak bisa mengekspresikan apa yang ada dalam batinnya.
Aku
berjongkok. Abe aku rangkul lebih erat. Air matanya makin banyak. Kali ini
dengan mengeluarkan suara. Aku lega. Abe sudah bisa menangis dengan suara. Aku
menunggui Abe sampai dia berhenti menangis.
Setelahnya
aku panggil ‘lawan tanding’ Abe. Aku tanya kenapa Abe bisa memukuli dia seperti
itu. Dia menjelaskan sesuai versinya. Abe tidak terima. Dia juga berusaha
menjelaskan dengan versinya. Keduanya merasa tidak bersalah.
Aku
berusaha menarik tangan Abe dan ‘lawan tandingnya’. Aku sedikit memaksa mereka
bersalaman.
“Aku nggak nakal! Aku nggak mau minta maaf!” Abe ngeyel. Aku tersenyum. Aku bilang kalau
semua kejadian cuma ketidak sengajaan. Abe dan ‘lawan tandingnya’ itu aku suruh
bersalaman sebagai teman bukan untuk meminta maaf karena Abe anak nakal.
Setelahnya.
Aku masih berkali- kali menemukan Abe yang memukul teman yang dia anggap
mengambil haknya. Pukulannya tetap tidak terkendali. Setiap Abe melakukan hal
tersebut, aku selalu manarik dan memeluk Abe seerat mungkin. Jujur saja, tenaga
Abe memang kelewat besar. Badan dan punggungku selalu sakit tiap berusaha
menahan Abe. Aku melakukan semuanya tanpa teori. Aku cuma melihat bahwa Abe
adalah anak yang memiliki ‘luka’. Dia butuh pelukan. Dia ingin di percaya. Aku
tidak pernah memperkirakan bahwa suatu hari pelukanku yang semacam itu bakal
memiliki imbas buat sikap Abe selanjutnya.
Aku
sering mengatakan hal yang sama pada Abe tiap dia selesai marah. Aku bilang
pada dia bahwa dia tidak perlu memukuli teman yang dia anggap mengganggu. Cukup
dia melapor pada guru atau pada aku. Guru dan aku pasti menghukum siapa yang
nakal.
Lama-
lama Abe berani melakukan kontak mata padaku ketika dia mulai marah dan memukul
tidak terkendali. Abe balik memeluk dan berhenti meronta. Dari matanya dia
seperti percaya bahwa aku melindungi dia. Dia bukan anak nakal yang mesti di
paksa minta maaf. Dia memukul karena punya sebab. Meskipun, memukul secara
tidak terkendali semacam itu tidak pernah di benarkan. Abe bakal menerima
akibat fatal apabila pukulannya sampai mengakibatkan luka pada tubuh ‘lawan
tandingnya’. Dia bisa hancur. Semua orang bakal melabel dia sebagai anak nakal yang tidak terkendali.
Abe makin
percaya padaku setiap harinya. Tiap dia merasa haknya di lukai oleh temannya
yang lain, dia segera melapor pada aku atau pada guru. Guru atau aku berusaha
menyelesaikan masalah sebijak mungkin. Abe meski begitu masih tetap seorang
anak yang memiliki tenaga melebihi teman- temannya. Dia masih saja hampir tidak
terkendali waktu meninju. Wajahnya mulai merah, pipinya mulai basah, bedanya,
dia mencari aku. Dia menangis sambil memeluk aku. Semua tenaga yang bakal dia
gunkan untuk meninju sekuat mungkin seperti dia tahan. Dia terus begitu sampai
masa akhir PSG. Bahkan lama- lama Abe yang menahan marah bisa datang memelukku
dengan wajah yang tenang tanpa air mata. Abe seperti senang. Dia di percaya
bukan sebagai anak nakal. Dia cuma membela haknya. Dia juga seperti merasa
bahwa ada orang yang melindungi dia membela haknya, dia tidak perlu lagi
meninju teman yang menurutnya berlaku jahat.
Menjelaskan
pada Abe bahwa dia memiliki tenaga berlebih yang bisa membahayakan temannya
memang terlalu rumit. Aku tidak pernah berminat menejelaskannya. Pelukan
kelihatannya sudah cukup membuat Abe mengendalikan tenaganya yang sangat
berlebih itu ketika marah.
Mama Abe
selalu simpatik waktu melihat aku. Kami hanya bertemu ketika Abe di antar atau
di jemput dari luar gerbang. Aku tidak tahu Abe bercerita apa soal aku pada
Mamanya. Suatu ketika Mama Abe berkata,”
Abe sudah saya larang pakai sabuk
Ultraman kesayangannya. Saya bilang nanti kalau pipis, dia susah pasang
sabuknya lagi. Abe ngeyel. Dia bilang
di sekolah ada Mbak Poppy. Sabuknya bisa di pasang sama Mbak Poppy,” mataku berkaca- kaca. Abe memandang sabuk itu
sebagai hartanya, dan dia memercayakannya juga pada aku.
Hanya
sebuah pelukan. Pelukan yang ajaib. Sama ajaibnya dengan Mbak Zizi, guruku
mengaji yang mentolerir sikapku yang suka mengabaikan tugas dan keterangannya.
Aku selalu sibuk menggambar. Banyak ide berkelebat. Aku susah berbicara pada
orang lain soal ide-ideku. Menggambar seperti temanku bicara. Mbak
Zizi tidak
pernah marah. Aku mulai tertarik mendengarkan Mbak Zizi ketika dia membuat
sebuah permainan yang membutuhkan kebisaanku menggambar. Timku sering menang
apabila aku ada di dalamnya. Aku merasa berharga! Aku percaya mbak Zizi
menganggap kesukaanku menggambar punya harga. Seperti Abe pada aku, dia percaya
aku tidak menggapnya anak nakal.
Semua
anak ingin memiliki harga!
Astaga! Ternyata
praktek di TK bisa sekeren ini!
Nb: Berdasarkan kisah nyata selama PSG di TK.
Abe bukan nama sebenarnya.