|
Sumber: dokumentasi pribadi. Saya dan Luvi di lokasi penjebakan. Luvi sekarang tidak pernah lagi unggah foto dengan wajahnya yang nampak dan saya coba ikutan di sini. |
Beberapa
bulan yang lalu, saya dihubungi mas M melalui blog yang saya kelola ini. Mas M
mulanya saya berikan akun Instagram saya yang memang sering online, agar dapat bercakap-cakap. Sejak
semula menghubungi saya melalui blog, mas M mengatakan bahwa dirinya
membutuhkan jasa content writer.
Setelah
berkomunikasi via instagram, mas M mengaku berasal dari perusahaan asuransi dan
meminta lagi kontak saya, nomor WA. Kemudian saya berikan nomor WA saya padanya
dan kami kembali berkomunikasi.
Saya
merasakan kecurigaan ketika mas M agaknya kurang menguasai terkait content writer. Saya tipe orang yang
menulis penuh tendensi. Saya tidak perlu sok-sokan menulis dengan hati dan
ikhlas. Jika tulisan saya dipergunakan untuk bisnis, sepenuhnya saya akan
berbisnis dan jika tulisan saya dipergunakan untuk sosial, sepenuhnya saya akan
kerja sosial. Tidak ada posisi di tengah bagi saya soal yang satu ini dan saya
rasa banyak orang pun demikian.
Berhubung
sejak semula mas M mengajak saya berbisnis tulisan, maka saya langsung tembak
soal tarif. Apalagi ketika mas M pada waktu itu mengiyatakan bahwa tidak bisa
dirinya jelaskan apa pekerjaan saya via WA. Kami harus jumpa tapi syaratnya,
saya harus bawa sebanyak-banyaknya teman yang juga menulis. Domisili mas M di
Surabaya, katanya waktu itu. Ketika saya tembak soal tarif, mas M anehnya
mengatakan tarifnya sama dengan biasanya saya memberi jasa sejenis alias
terserah saya. Intinya apapun deh, pokoknya saya mau bertemu dulu.
Dalam
keraguan, saya masih sempat mengajak tiga teman saya; Windy, Dinda dan Nilam.
Saat itu posisi kampus kami masih liburan dan saya tidak hendak memaksa mereka
balik Malang untuk sesuatu yang tidak pasti. Apapun yang kami dapati ketika
bertemu mas M, saya inginnya sih waktu itu menunggu teman-teman saya yang
sedang pulang kampung ini selesai liburan dahulu. Windy, teman saya yang
biasanya kritisnya itu langsung tembak, langsung menyatakan keraguannya atas
tawaran mas M. Pun saya juga menyatakan keraguan pada Windy.
Hingga
beberapa lama mas M terus menanti kepastian kapan bisa bertemu dan di akhir
januari, mas M akhirnya mau berjumpa dengan saya meski saya bilang tidak bisa
membawa teman. Ya… saya akhirnya memutuskan untuk jumpa mas M sendiri saja, toh
semua belum pasti.
Tapi
kemudian, teman saya Luvia Irmadiana mengabari jika dirinya ada di Malang, maka
sekalian saja saya mengajaknya jalan dan bertemu mas M. Toh, lokasinya juga di
salah satu mall besar di Malang, sekalian saja barangkali kami bisa bertemu
baju-baju lucu dan murah.
Saya
menduga-duga jangan-jangan mas M ini sesungguhnya hanya mengajak ber-Multi Level
Marketing-ria, tapi toh semua belum terbukti dan saya juga tidak menceritakan
apapun pada Luvi. Insting saya berkata, setidaknya kami bakal dapat jajan
gratis dan kalau ya, ini rejekinya Luvi yang sudah dua hari mengirit, tidak
makan nasi di kos.
Benar
saja, saya dan Luvi diajak ke salah satu restoran Jepang dalam mall tersebut. Insting saya makin terasa
tidak enak sih. Pekerjaan mana yang berani beri fasilitas sebelum kita bekerja?
Kecuali ya… ini pancingan untuk sesuatu yang lebih besar.
Kami
pun menerima pesanan masing-masing; teh hijau, nasi dan ikan berbumbu, serta
belakangan ada tambahan semacam ayam krispi, mayones dan irisan wortel yang
apapun itu namanya. Obrolan basa-basi pun dimulai, seputar letak rumah, jurusan
di kampus dan lain-lain. Luvi selama obrolan saya dengan mas M berlangsung,
berkonsentrasi pada makanan dan ponselnya, tapi saya tahu dirinya pun
sesungguhnya turut mendengarkan.
Saya
sama sekali tidak tertarik mendebat, ketika mas M pada intinya mengajak saya membuat
blog yang isinya mengenai asuransi. Nah, blog ini hanya dapat dibuat ketika
saya memiliki surat ijin. Ya… kata mas M, tidak semua orang bisa menawarkan
jasa asuransi, harus ada surat ijin resmi dan saya harus mengikuti ujian
berbayar untuk mendapatkan surat ijin tersebut. Blog yang saya buat pun, tidak
perlu bercampur dengan blog pribadi.
“Jadi,
mbak nanti dapat dua keuntungan. Pertama, mbak dapat uang dari iklan google di blog dan kedua, mbak dapat
komisi jika ada orang beli produk ke mbak lewat blog tersebut.”
Dengan
penjelasannya yang berkali-kali soal dua keuntungan tersebut, saya akhirnya
tidak tega. Saya kemudian menjelaskan padanya bahwa memasang iklan di blog,
kemudian mendapatkan penghasilan tidak semudah itu. Saya pernah mencobanya dan
gagal. Pikiran bahwa main blog dapat duwit mudah bukan hanya pada diri mas M.
Beberapa
teman saya pun punya pikiran mendapat uang dari blog itu mudah. Bahkan ada yang
dengan lugas menyatakan
ketidakpercayaannya bahwa saya tidak dapat uang dari blog. Barangkali,
dipikirnya orang gila mana yang mau gratisan ngeblog hampir lima tahun pula.
Tapi sungguhan, banyak teman-teman saya yang bahkan jauh lebih lama ngeblog
karena hobi. Orang-orang macam teman-teman yang tidak percaya ini, sudah barang
tentu tidak pernah mampir sungguhan di blog saya yang di sudut mana saja bersih
dari iklan. Jadi, mau dapat uang dari mana coba?
Dengan
cara tidak mendebat tadi dan menyetujui semua ucapan mas M, saya akhirnya
mendapat kejelasan darinya begini,”Jadi, ini bukan mbak nulis untuk saya lalu
saya bayar mbak…”
Batin
saya,”Ini sih jelas bukan content writer,
Mas. Mas hanya peduli saya masuk training dan bayar. Tidak lulus ujian masih
disuruh bayar separuh harga lagi pula. Mas tidak peduli saya survive setelah ikut training atau
tidak. Ini semua fokusnya; mendapatkan orang sebanyak mungkin. Jika saya berhasil
dapat klien, mas untung dapat komisi dan jika saya tidak dapat klien, mas masih
dapat tulisan gratis di google soal
produk yang mas jual.”
Dalam
usaha tidak mendebat sama sekali, saya bahkan mau mengisi formulir surat ijin.
Hanya saja, saya menyatakan tidak membawa KTP saat itu. Mas M matanya nampak
curiga dan agak sebal, ketika saya katakan tidak bawa KTP. Padahal, sejak
semula dia kelihatan hanya mengajak ber-MLM-ria, saya sesungguhnya juga sangat
sebal padanya, hanya saja muka saya yang bego dan polos dan datar ini tidak menunjukkannya.
Saya
bukannya alergi MLM. Saya hanya alergi pada mereka yang menyakiti diri sendiri
dan orang lain demi tujuan. Saya tidak mau dilukai, jadi saya berusaha tidak
melukai orang terlebih dahulu. Saya bukannya baik, sehingga tidak mau melukai
orang terlebih dahulu, tapi saya sangat percaya timbal balik sehingga sungguh
takut melakukan itu.
Yakin
saya, tidak semua pelaku MLM semacam mas M yang menghalalkan segala cara,
sampai menawarkan pekerjaan semu. Banyak juga teman-teman saya yang berbisnis
MLM kosmetik atau lainnya yang terang-terangan dalam bisnisnya.
Luvi
bahkan nyaris percaya jika saya mau bekerja dengan mas M. Hingga saya beri dia
kode. Sekeluarnya dari restoran, Luvi malah bilang,”Kok mas e tadi nggak ngajak
ke ***** (tempat yang lebih mahal) aja, ya?”
|
Sumber: dokumentasi pribadi. Lokasi di mana kami ditraktir makanan oleh si oknum. |
Jika
teringat mangkuk-mangkuk kosong makanan yang ada di hadapan saya itu, saya
menyesal tidak jadi mengajak Dinda, Windy dan Nilam. Bagi anak kos, makanan
bergizi lagi enak begitu kan rejeki luar biasa. Tentu sebanding dengan satu jam
dianggap bodoh.
Kepada
mas M, yang kelak pasti membaca tulisan ini, Anda berhak ‘berbisnis’ dan saya
pun berhak menolak. Kita sama punya hak dan mohon jangan saling langgar hak.
Semoga dengan membaca tulisan ini, mas akan lebih halus lagi jika kelak
memergunakan modus serupa; content writer
tanda kutip.