Coreted by: @fastadnb |
“Saya ini… anak hasil kawin di luar nikah. Bapak dan ibu saya, masing-masing sudah menikah lagi…” katamu enteng sambil menggoyangkan kaki.
Saya ingat bagaimana dada saya rasanya seperti dicubiti dan wajah saya yang entah meredup seperti apa hingga kamu bilang,”Nggak usah sedih begitu. Saya yang menjalaninya biasa saja kok. Orang luar sukanya sih begitu, kita yang menjalani biasa saja tapi merekanya yang sedih.”
Maka kita pun tergelak. Kita lupa kapan mesti pulang dan turun dari dahan besar di pinggiran kali itu. Adzan magrib di musholla dekat kali berkumandang dan mestinya ibu sudah meneriaki saya untuk segera sholat jika saja ia ada di dekat kita waktu itu.
Kamu menggenggam tangan saya lekat-lekat, setelah sebelumnya lebih dahulu turun dari atas dahan. Saya berkali bilang, bisa turun sendiri dan kamu meremehkan saya sebagai seorang perempuan. Tapi selalu kamu menyahut,”Persetan dengan kesetaraan. Saya hanya nggak mau kamu luka…”
Dan pada obrolan-obrolan kita berikutnya di atas dahan, saya selalu nyaman lebih dahulu memintamu menggenggam tangan saya ketika turun. Ada sembur merah lagi hangat di kedua pipi saya selagi tangan kita saling lekat...
“Persetan dengan kesetaraan. Terimakasih untuk nggak rela membiarkan saya luka…” bisik saya selalu, segera setelah saya berhasil turun dari dahan dengan bantuan genggaman tanganmu. Dan entah bagaimana, ucapan saya yang satu itu selalu membuatmu kelihatan gemas dan mengecupi bibir saya lama sekali.
Saya betul-betul sudah lupa cara turun dari dahan pohon tanpa genggaman tanganmu, pada berikutnya…