Cerpen jaman SMK..
Dibikin tahun 2011..
Yang tersisa dari berantakannya data- data lama..
Aku sendiri ingat- ingat lupa apa ceritanya..
Dan lagi..
Ini tanpa editing alias asli ketikan pada tahun tersebut..
Saya dan debat kusir manusia..
Saya
lebih suka diam daripada bicara didepan tatapan penuh khalayak ramai yang
masing- masing dari mereka alisnya mengernyit tanda siap menantang siapa yang
paling lantang bicara.
Saya
lebih suka memejamkan mata kemudian beranjak dari atas kursi dan pergi keluar
ruangan daripada terlibat adu mulut dalam suatu forum diskusi yang isinya hanya
ada orang- orang aneh dengan mata melotot juga gigi runcing yang berkilat kilat
seolah siap menerjang siapapun penghadang jalan mereka.
Hmm..
Tapi tak
seorang pun akan menggoyahkan idealisme saya..
Tak
seorang pun kecuali orang yang memang benar saya jadikan panutan.
“Tahukan
kamu??dada ku bergemuruh tiap berada diantara alunan sebuah perdebatan tempat
perang argumentasi antara manusia- manusia teori yang di ujungnya aku sudah
tahu bahwa takkan terjadi perubahan apa- apa kecuali mata yang tadinya putih
dengan kornea hitam menjadi merah dengan kornea mengkerut kecil”
Nyatanya,
saat saya bicara, semua mata terpana. Mata- mata yang awalnya menganggap saya
anjing rendahan tiba- tiba berubah menjadi mata- mata yang memandang saya
sebagai malaikat langit yang membawa serpihan cahaya kecil kedunia..
Saya..
Hebat !
***
Today..arghhhh...aku..
Kubuka
tudung saji diatas meja makan. Hanya ada periuk nasi yang telah berkurang
sepertiga isinya,semangkuk sayur lodeh dan sepiring tempe goreng tepung
favoritku khas bikinan Ibu. Rangkaian menu seperti ini biasanya menggugah
selera makan ku tapi tidak hari ini.
“Buuuuuu…aku
butuh pelukan,” teriakku sembari meletakkan kepala diatas meja makan.
Ibu datang
dari arah belakang kemudian membelai kepala dan wajahku dengan tangan paruh
bayanya yang kasar akibat terlalu banyak mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi
sejujurnya itu tak menjadi masalah buatku karena Ibu…sang penyejuk!
“Presentasinya
gagal total?,” Tanya ibu.
“Sepertiganya
berhasil Bu selebihnya gagal..,” jawabku.
“Mr.
Arogant..,”panggil Ibu. Mr. Arogant adalah panggilan akrab ibu semenjak aku
jadi penggila teori dan suka terlibat dalam perdebatan meski hanya diam dan
kemudian menjadi dewa pengkoreksi atas orang- orang yang berdebat.
“Ya,
bu..,” sahutku sembari mengangat kepala dan memandang ibu.
“Tole..tole..”
ibu mengambil wadah telur dalam kulkas.
Aku
melongo, aku tidak paham dengan apa yang ibu lakukan saat ini dan tidak bisa
menebak apa yang akan ibu lakukan selanjutnya.
“Ini
berisi 10 butir telur, anggap saja ini sebuah presentase,” ibu mulai menjeaskan
dan aku hanya mangut- mangut sejujurnya aku sama sekali tidak mengerti apa yang
dimaksudkan Ibu.
Ibu selanjutnya
memvahkan tujuh telur diatas lantai dengan sangat berhati- hati hingga kuning
telur tidak sampai hancur. Aku semakin melongo sekaligus tertarik dengan
lanjutan dari keterangan ibu.
“Apa yang
kamu lihat?,” Tanya ibu.
“Ibu
siakan telur- telur itu,’ jawabku ngasal.
“Asal-
asalan, pikir dulu..,”
“Nyerah
ma’am..,” ejekku genit.
“Dasar
males,” sahut ibu sabar.
“Apa
maksud ini semua Bu?,” tanyaku dengan raut penasaran.
“Langsung
saja ya?demi anak ibu yang paling males ini??,” ibu balik mengejek.
“Bu…,”rengekku.
“Saat
kamu melihat telur, kamu tidak akan tahu seberapa besar volume kuning telur
yang ada didalamnya kecuali kamu membuka kulitnya dan mengeluarkan isinya,”
jelas Ibu.
“lalu..,”
desakku semakin penasaran.
“Itulah
rahasia, seperti rahasia Tuhan. Telur yang ibu pecahkan ini sama dengan
kegagalanmu yang sudah ketahuan dan lihat tiga telur yang belum ibu
pecahkan..kamu maupun Ibu tidak akan tahu isinya kecuali kita berdua membuka
dan mengeluarkan isinya,” lanjut ibu.
“Aku
tidak paham,” ketusku.
“Kita
tidak akan pernah tahu kenapa Tuhan memberimu keberhasilan hanya sepertiga dari
keseluruhan. Tapi karena Tuhan saying padamu, Tuhan pasti menyiapkan hadiah
yang gurih buatmu segurih tiga telur yang masih utuh ini apalagi kalau ibu
memasukkannya kedalam mangkuk kemudian memberinya sedikit garam kemudian
menggorengnya,” Ibu mengelus lembut kepalaku sembari meraih mangkuk kaca yang
kemudian digunakannya untuk mengocok tiga telur yang tadinya utuh dan masih
berada diatas meja. Setelah ditaburi sedikit garam, ibu menggoreng adonan telur
tersebut dan segera menyajikannya buatku.
Aku
melahapnya dengan rakus. Ibu beranjak pergi dari tempatku duduk. Aku memandang
ibu dengan senyum terkembang.
“Emak..you
are the best!makasih Bu..,” ucapku sepenuh hati.
“Bu..,” kalimatku
ternyata berlanjut sebelum Ibu beranjak.
“Apa
tole?,” sahut Ibu.
“kenapa
hanya untuk hal sesederhana ini ibu menjelaskannya dengan panjang dan rumit?,”
tanyaku.
“kamu kan
mr. arrogant Ibu tersayang, kamu yang sejak kecil hingga sekarang gandrung teori-
teori rumit tapi malah tidak paham dengan hal- hal sederhana. Makanya Ibu pakai
enjelasan macam tadi,” jawab ibu.
Ibu kemudian
hanya tersenyum kemudian benar- benar beranjak pergi.
Beberapa
saat kemudian aku memandangi lantai ruang makan yang berlendir terkena telur-
telur yang tadinya dipecahkan ibu secara ngawur.
“Ma’am
sapaaaa yang mau bersihin ini,” tunjukku jijik melihat kearah lantai.
“Itu
tanggung jawabmu tole…,” ejek Ibu dari arah ruang depan.
“Bu..
Aku memang masih membutuhkan
pelukanmu..
Terimakasih..” bisikku.
Aku terseyum lebar..