Mas
Kakak sering berlaku sok manis di hadapanku. Aku suka curiga, jangan- jangan
dia bagian marketing dari satu
perusahaan asuransi. Jangan- jangan dia bersikap sok manis karena berharap aku
jadi kliennya. Jangan- jangan… jangan- jangan…
Sayang,
intelegensiku tidak terlalu tinggi untuk bisa mendeteksi latar belakang Mas
Kakak berlaku sok manis pada aku. Jadilah Mas Kakak tetap begitu, sok manis di
hadapanku. Sampai sekarang…
Semalam,
Mas Kakak telepon aku. Dia menyebut namaku berkali- kali,” Sehila Ki Jawani… Sheila Ki Jawani…”
Aku
tanya pada Mas Kakak, kenapa dia sebut namaku berulang macam begitu? Di kuping
empunya nama pula.
“Biar
namamu menyatu dengan badanku,” aku merasa, jawaban Mas Kakak yang satu ini
memang sudah di persiapkan. Berapa kali napasnya dia hembus waktu menjawab
pertanyaan ini pun, rasanya memang sudah di persiapkan.
“Menyatu?
Buat apa?”
“Kamu
pernah dengar orang sebut nama orang lain secara nggak sadar?”
Aku
mengangguk. Eh, aku mengangguk? Memang iya. Aku terbiasa berekspresi, bahkan
dalam komunikasi via telepon pun aku bisa mengangguk atau cemberut. Tekanan
suaraku bakal selalu selalu sesuai dengan ekspresi yang aku lakukan di balik
telepon.
“Pernah.
Aku begitu. Waktu demam tinggi, aku sebut- sebut Ayahku. Aku dekat sama Ayah, jadi waktu nggak sadar, aku bisa sebut- sebut
Ayah,”
“Nah…”
“Kenapa
namaku?”
“Aku
maunya nama kamu,”
“Kenapa
maunya namaku?”
“Biar
nanti, kalau aku tiba- tiba ditemukan hampir mati, aku bisa sebut nama kamu,”
“Oh
iya. Aku ngerti. Orang- orang yang
ada di tempat itu bakal dengar kamu sebut namaku. Terus mereka cari ponsel kamu
dan cari nomorku, nomor Sheila Ki Jawani.
Mereka hubungi aku untuk kabari kalau kamu hampir mati,”
Mas
Kakak tertawa tipis. Barangkali ponselnya dijauhkan dari bibirnya. Atau… dia
memang benar tertawa setipis itu. Intelegensiku tidak pernah terlalu tinggi,
untuk paham latar belakang apa yang dilakukan oleh Mas Kakak.
Aku
dan Mas Kakak diam beberapa detik berikutnya.
“Halo?”
aku membuka suara lagi.
“Iya
aku dengar. Aku lagi mikir,”
“Mikir apa?”
“Gimana cara kamu memiliki kamu buat
diriku sendiri,”
“Eh?”
“Aku
mau culik kamu. Aku ikat kamu. Kamu aku larang komunikasi sama orang lain,”
“Mustahil.
Banyak orang bakal cari aku. Where is
Sheila Ki Jawani?”
Mas
Kakak diam.
“Mereka
cinta sama aku. Mereka bakal cari aku
ketika aku hilang,” aku melanjut ucapanku. Mengisi jatah bicara Mas Kakak yang
malah dipakai untuk diam.
“Kalau
begitu, aku mau bikin kamu kecelakaan. Tapi, kecelakaan itu kelihatan tidak
sengaja. Biar kamu buta…”
Aku
memotong ucapan Mas Kakak,”Akan ada banyak orang yang datang mengunjungi aku.
Mencari aku,”
“Itu
bakal terjadi cuma sebulan . Setelahnya, mereka bakal lupa dengan kamu. Mereka
akan sibuk dengan aktivitas masing- masing. Mereka akan jengah waktu tahu kamu
tidak akan bisa sembuh, kamu akan terus begitu-
begitu saja, mereka akan bosan dengan kamu. Setelah itu, aku bisa memiliki
kamu buat diriku sendiri.
Aku
diam. Tidak menelan ludah. Tidak kaget. Tidak sedih. Tidak senang.
Mas
Kakak pernah baca cerpenku yang kebetulan genrenya triller. Cerpen yang dia baca memang memuat adegan kematian karena
konsleting listrik yang tidak di sengaja. Ada yang bilang, tulisan seseorang
adalah cerminan dirinya.
Barangkali,
Mas Kakak juga berpikir begitu. Tulisanku dia anggap adalah bagian diriku. Jadi,
dia nyepik aku dengan racikan yang
mirip dengan tulisanku. Tulisan bau triller…
Aku
menelan ludah dua kali.
“Aku
sepertinya ingin ganti genre romance
saja setelah ini,” aku berbisik dalam hati tanpa pernah bisa dia dengar.
4 comments:
Ini serius kah? Siapa mas kakak? Dia ada di dunia nyatanya... eh aku pertamax :3
sudah aku jawab di wasap. semoga dy tersinggung baca ini. hobinya bercanda mulu sama aku kwkwkwkw
Wah, menarik... :D
Huwaaa... mbak Ajjah komeeen >_< masternya ngelola bahan beginian nih... *kabuuuuur*
Post a Comment