Monday, January 16, 2017

Bagaimana Caraku Menikahimu, Agni?

“Kamu selalu sendirian datang ke konser. Agni mana sih?” tanya salah seorang teman padaku malam itu sambil menggamit jari-jari pacarnya.
Aku cuma nyengir sebagai satu-satunya yang tidak membawa pasangan ke konser waktu itu. Selalu seperti itu, saat aku mengajakmu pergi ke sebuah konser musik, di mana band nasional yang banyak digandrungi menggelar bass dan gitar mereka di atas panggung.
“Aku tidak suka sama teman-temanmu. Ahli berpura-pura. Mereka datang ke sebuah acara musik hanya karena banyak teman atau pasangannya yang datang. Bukan karena musik itu sendiri. Mainstream!” Ucapmu selalu, waktu aku mengajakmu ke konser musik.
Meski begitu, aku tidak pernah berhenti mengajakmu. Aku pura-pura lupa soal argumenmu yang sudah pasti bikin pupus mauku. Soal konser, aku belum pernah mendengar gelakmu sebagai pungkasan, jadi aku masih sungguh berharap bisa melanjutkan.
“Menempatkan diri dengan berpura-pura itu beda, Agni…” balasku.
Matamu membelalak. Nampak kamu tidak nyaman atas balasan argumenku.
“Hidupmu terlalu serius…” aku masih melanjutkan.
Agni mulai memasang headset di kupingnya sambil tergelak. Gelak paling panjang dari semua pungkasan yang pernah dia lakukan. Gelak pertamanya soal konser musik.
Maka aku berhenti. Aku mengerti, kamu sekarang sedang sibuk mendengar lagu-lagu kesenanganmu lewat headset itu. Mungkin The Eagels, mungkin juga No Doubt, atau mungkin Gugun Blues Shelter, band produk negeri sendiri yang cuma dikenal kalangan tertentu seperti katamu dulu.
Kali lain, aku mencoba membawakanmu buku. Aku tahu kamu cinta betul dengan buku. Namun, aku tidak pernah ingat buku-buku apa yang biasa kamu sambar dan santap. Maka aku bawakan sebuah buku karya seorang penulis yang produktif mengeluarkan buku selama beberapa tahun berturut-turut, bertema agama dan cinta. Kutipan-kutipan di laman sosial media si penulis itu sering dibagikan oleh banyak teman-temanku yang bukan teman-teman kita.
Aku lega ketika kamu menerima sodoran buku dariku dengan mata berbinar. Namun, binar matamu mendadak mumur ketika tahu isi buku dalam bungkusan itu.
“Terimakasih, Dewa…” hanya itu yang kamu ucap.
“Kamu tidak senang dengan buku itu?”
Kamu diam.
“Agni…” paksaku menuntut jawaban.
“Mau jawaban jujur?”
            “Tentu…”
“Aku pikir, kamu meneliti apa-apa yang biasa aku baca, aku beli, aku sewa. Ternyata tidak ya?” gelakmu terdengar. Maka aku berhenti membahas soal buku. Dan cuma bisa memandangi kamu, menandai salah satu halaman buku yang bertulis Manusia Kamar oleh Mira Sato. Buku yang barangkali bakal kamu bilang sebagai yang bukan buku mainstream.
Menahun bersama kamu ternyata belum berarti aku mengenalimu. Aku ingin mengenalimu, Agni. Kemudian menciummu... kemudian melihat bibir jinggamu saban hari… kemudian mendengar argumen-arguman ajaibmu di atas kasur kita. Tentu tanpa gelak yang selalu jadi pungkasan semuanya… mengakhiri semuanya…

Hanya ada satu cara biar semua jadi nyata, yaitu dengan menikahimu. Tapi bagaimana caranya?

Sebuah cerita, yang tidak bakal selesai.

No comments: