Monday, February 6, 2017

Desi Nilamsari, Si 8 Tahun: Saat Ditanya Soal Maling dan Warga yang Main Hakim Sendiri


Guru saya, bu Nurul Aula suatu hari melempar pertanyaan di depan kelas,”Menurut kalian, bagaimana jika ada maling yang dihakimi warga?”
Pertanyaan bu Nurul tentu sangat berkaitan dengan pelajaran Kewarganegaraan yang diajarnya. Kami semua waktu itu kelas tiga, era internet belum sungguhan masuk. Ponsel pun masih sangat mahal pada tahun tersebut. Bagi kami, pertanyaan bu Nurul begitu asing dan perlu waktu cukup lama untuk kami berpikir.
Dalam pikiran saya, main hakin sendiri tidak saya benarkan. Bukankah ada polisi? Setidaknya, ayah saya tinggal di daerah merah (rawan kriminalitas) semasa kecilnya di Malang. Ayah berkali bercerita betapa mengerikannya warga yang main hakim sendiri.
Beberapa teman mulai berani mengawali mengangkat tangan. Bu Nurul memersilahkan mereka semua bicara satu persatu. Jawaban yang serupa bermunculan,”Tidak apa-apa… dia kan sudah mencuri.”
Bu Nurul hanya tersenyum dan terus memersilahkan semua yang mengangkat tangan bicara. Beliau sepertinya sedang mencari sesuatu. Saya bukan seorang anak yang punya rasa percaya diri yang baik. Dada saya betul-betul berdebar saat hendak mengangkat tangan. Saya tahu, jawaban teman-teman lain tidak memuaskan. Semua jawaban seragam.
Sebentar kemudian, saya betul-betul mengangkat tangan. Bu Nurul memersilahkan saya bicara dan dari wajahnya, terlihat mata beliau mengharap jawaban yang berbeda dari saya.
“Saya… saya… tidak setuju, Bu. Karena kadang orang mencuri untuk anaknya.” Begitu ucap saya.
Oh, tidak… saya tidak mengerti mengapa jawaban yang saya keluarkan justru keluar dari hati dan begitu kedengaran rapuh. Padahal, saya ingin menjawab apa yang kali pertama keluar dalam kepala saya, bahwa main hakim sendiri itu salah, mestinya kirim saja ke polisi.
Desi Nilamsary, pemiliki brand sepatu Remora.
Dengan cepat, wajah bu Nurul kembali berubah. Ada sedkit kelegaan telah menemukan jawaban yang berbeda. Namun, beliau nampak belum juga puas. Sebentar kemudian, teman saya Desi Nilamsary mengangkat tangan. Desi adalah murid pindahan berwajah manis. Dia pindah saat kelas tiga dan berasal dari keluarga kaya. Saat kelas tiga, kami langsung dekat. Saya saat itu sangat menyukai Desi. Dirinya bersikap biasa saja, saat terlibat dengan saya, yang berasal dari keluarga biasa dan juga teman-teman sekelas dari panti asuhan yang sering tidak percaya diri. Desi belum menonjol dalam bidang akademis waktu itu, tapi sungguh saya menyukainya sejak hari pertama dia pindah ke sekolah.
“Main hakim sendiri itu tidak baik, Bu. Maling itu harus diserahkan ke polisi.” Jawab Desi, setelah bu Nurul memersilahkannya bicara.
Ada kelegaan dalam wajah bu Nurul. Teman-teman saling toleh, mungkin merasa ganjil dengan jawaban Desi yang jauh berbeda dari jawaban sebagian besar anak di kelas. Jawaban seperti Desi, bahkan tidak keluar dari teman kami yang langganan juara satu di kelas.
Saya makin menyukai Desi sejak saat itu. Saya berusaha terus mengajaknya bergabung, bersama teman-teman panti asuhan favorit saya ketika bermain. Desi si anak baru, memang belum begitu banyak bergaul dengan teman perempuan selain saya, teman-teman dari panti asuhan dan satu lagi anak perempuan dari keluarga menengah yang juga pindah saat kelas tiga.
Bu Nurul membahas jawaban Desi pada akhirnya. Seluruh kelas tidak lagi saling pandang dengan ganjil. Mereka mengetahui, jawaban dari Desi yang paling benar. Jawaban yang memang terlalu matang untuk anak usia delapan tahun.

No comments: