Sumber: Gugel
Tuan Sudjono dengar harga satu botolnya enam puluh tujuh
ribu. Masih juga dia heran kenapa tidak dibuat genap saja jadi tujuh puluh ribu
sebagai misal.
Kalaupun semua uang dalam sakunya digabungkan, totalnya
bahkan masih kurang tujuh ribu untuk menebus satu botolnya. Jadi dia diam-diam
saja melihat satu rombongan lelaki berbaju batik itu dari seberang meja.
“Dua botol ya, Mbak. Aroma cinta kalau ada.”
“Perutnya singset gini, masih gadis atau sudah janda?”
Tawa para lelaki itu bersusulan setelahnya. Perempuan itu
cepat-cepat mengeluarkan dua botol acak saja sambil turut tertawa-tawa.
Sesegera mungkin dia bilang dua botol itu punya aroma cinta.
Dia juga bilang, statusnya janda satu anak.
Selanjutnya kata cinta dan janda seperti dilempar ke atas
meja. Salah satu dari mereka mengetuk-ngetuk dompet tanpa terlihat berniat
mengambil seratus tiga puluh empat ribu.
Perempuan itu terus tertawa-tawa, menyantap sajian kata
cinta dan janda di atas meja dengan lahap. Seratus tiga puluh empat ribu pada
akhirnya disorongkan padanya. Dan ketika ia hendak pergi, salah seorang dari
mereka menepuk bokongnya.
Kecuali tuan Sudjono, meja-meja di seberang turut
tertawa-tawa. Perempuan itu pun tersenyum saja, melipat uang, menyerahkan dua
botol wewangian lalu pergi bersama sepatu setinggi tiga sentinya.
Pesan singkat masuk dalam ponsel tuan Sudjono. Istrinya yang
kena tipus mengeluh belum juga mendapat kamar karena tunggakan BPJS. Lelaki itu
memandangi gerombolan lelaki di seberang meja, juga jejak sepatu si perempuan
yang bercampur hujan dan tanah.
Agaknya, menjadi benar ternyata susah juga ketika kita semiskin tuan Sudjono ya?
Catatan:
Kok pas dibaca lagi kayak pernah baca cerita serupa yes? Teman-teman yang merasa serupa, janlup jawil atau tegur aku ea. Tencuuu.
No comments:
Post a Comment